Menuju konten utama

Proyek Food Estate di Kalteng Disorot karena Banyak Masalah

Proyek food estate Kemhan dan Kementan di Kalteng menyimpan beragam masalah mulai dari gagal panen, dugaan penghamburan anggaran negara hingga deforestasi.

Proyek Food Estate di Kalteng Disorot karena Banyak Masalah
Foto udara jaringan irigasi untuk mengairi kawasan lumbung pangan nasional 'food estate' Dadahup di Kabupaten Kapuas, Desa Bentuk Jaya, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.

tirto.id - Pantau Gambut, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah, dan BBC News Indonesia merilis studi hasil investigasi bersama soal proyek Food Estate singkong di Kalimantan Tengah garapan Kementerian Pertahanan. Studi tersebut berjudul Jilid 2: Kabar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah Setelah 3 Tahun Berlalu.

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto pada Rabu (15/3/2023), Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu A. Perdana menyebut salah satu temuan di lapangan yang bikin proyek tak jalan adalah tenggelamnya ekskavator di atas tanah gambut.

Awalnya, tim melakukan pengecekan melalui citra satelit di Desa Mantai Hulu. Hasilnya lahan hutan seluas ±237 hektare di sekitar titik verifikasi lokasi ekstensifikasi sudah mengalami pembukaan lahan.

“Di lokasi yang sama, tim juga mendapati adanya alat berat ekskavator yang tenggelam ke dalam tanah gambut yang ada di sekitar area ekstensifikasi karena karakteristik tanah gambut yang tidak mampu menopang berat eskavator itu sendiri,” kata Wahyu.

Studi tersebut juga menyoroti soal gagal hasil panen di lahan Food Estate milik Kementerian Pertanian. Kata Wahyu, panen padi idealnya menghasilkan minimal empat ton per hektare.

“Penyataan tersebut kontras dengan klaim Kementerian Pertanian bahwa produktivitas dari kegiatan intensifikasi sawah tidak produktif di Kalimantan Tengah mencapai 3,5 ton gabah kering giling per hektare pada tahun 2021,” katanya.

“Di Desa Tewai Baru, umbi singkong yang dihasilkan berukuran kecil menyerupai wortel, berwarna kuning seperti kunyit, dan rasanya pahit. Menurut sebuah penelitian, rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi,” tambahnya.

Selain itu, Wahyu menyebut studi yang dikerjakan tiga lembaga tersebut menemukan adanya dugaan penghamburan anggaran milik negara. Kata dia, di Desa Henda dan Desa Pilang, bantuan pipa buka-tutup air tidak bisa dimanfaatkan oleh petani lantaran pembuatan pipa tidak diikuti oleh biaya perawatan dan penyuluhan cara penggunaannya, sehingga petani kesulitan menggunakan alat tersebut.

“Padahal, dana APBN sebesar Rp1,5 triliun dialokasikan untuk pelaksanaan Food Estate sepanjang tahun 2020-2021, di mana Rp497,2 milyar di antaranya digunakan untuk perbaikan irigasi termasuk pengadaan pipa air,” katanya.

Tak hanya itu, studi juga menyoroti deforestasi yang masif terjadi di Kalimantan Selatan. Rencana pelaksanaan Food Estate tahap I tahun 2020-2021 di Kalimantan Tengah seluas 31.000 hektar dibagi masing-masing seluas 10.000 hektar di tiga Kabupaten yaitu Pulang Pisau, Kapuas dan Gunung Mas.

Kata Wahyu, hasil pemantauan melalui citra satelit menunjukan adanya deforestasi di mana area seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru menjadi area ekstensifikasi terluas.

“Ditinjau dari sudut pandang bentang lahan, Desa Tewai Baru merupakan bagian dari lanskap ekoregion dataran fluvial kalimantan dengan jenis tanah aluvium yang bertekstur pasir. Karakteristik jenis tanah ini berpotensi tinggi sebagai pengatur tata air karena teksturnya yang mudah menyerap dan mengelurakan air,” kata Wahyu.

“Namun, lapisan tanah yang gembur mudah tererosi dan menyebabkan runoff membawa material tanah yang menyebabkan sedimentasi saluran air, mempersempit bahkan menutup saluran air dan menyebabkan banjir di area sekitarnya,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PROYEK FOOD ESTATE atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri