Menuju konten utama
Kasus Proyek BTS 4G Kominfo

Proyek BTS Rp28 Triliun Kominfo: Defisit Sinyal, Surplus Masalah

Selain keterlambantan pembangunan, soal sinyal bermasalah yang dialami oleh Willi, Foni, dan Kinan juga disorot oleh BPK.

Header Skandal Proyek Sinyal Petinggi Kominfo. tirto.id/Ecun

tirto.id - Mengenakan kaus berwarna dan bawahan kain songke—kain tenun khas masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Elisabet hanya bisa melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya kosong.

Ada raut kecewa di wajahnya jika harus menceritakan ulang soal pembangunan menara base transceiver stastion (BTS) sinyal 4G yang digarap oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), organisasi non-eselon di bawah Kementerian Kominfo, berlokasi di Desa Compang Kantar, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

“Mereka masih utang dengan saya. Total Rp13,5 juta, baru dibayar enam juta rupiah,” kata Elisabet pada 14 Maret lalu kepada kami, Klub Jurnalis Investigasi (KJI)—koalisi sejumlah media terdiri dari Tempo.co, Liputan6 SCTV, Narasi TV, Suara.com, Jaring.id, DetikX, termasuk juga Tirto.

Utang yang dimaksud Elisabet adalah uang sewa kontrakan rumah dari pemilik proyek yang belum dibayar. Kontrakan rumah itu digunakan untuk para pekerja pembangunan menara BTS itu. Rumah Elisabet memang tak jauh dari lokasi rencana pembangunan menara BTS.

Ia melihat banyak kejanggalan dari proyek sedari awal diklaim akan mempermudah jaringan internet di desanya. Selain utangnya yang tak kunjung dibayar, menara BTS yang ada di dekat rumahnya juga tak kunjung rampung alias mangkrak sejak 2021.

“Itu besi-besi tower yang belum dibangun. Buat menara. Sejak awal 2021. Padahal sudah lima kali pengerjaan dari lima perusahaan berbeda, tapi enggak jadi-jadi,” kata Elisabet.

Morat-marit Proyek Sinyal Rp28 Triliun

Lokasi besi-besi menara BTS 4G mangkrak yang diperlihatkan Elisabet kepada kami adalah bagian dari proyek strategis nasional Kementerian Kominfo yang diikhtiarkan untuk memenuhi hak atas informasi di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Targetnya tak main-main: pembangunan 9.583 unit menara BTS 4G hingga 2023. Pada 2020, pembangunannya sudah mencapai 1.679 unit. Belakangan, tersisa 7.904 unit yang akan dibangun sepanjang 2021-2023.

Total angka proyeknya mencapai Rp28,3 triliun, yang berasal dari tiga sumber: universal service obligation (USO), penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan anggaran Kementerian Kominfo. Besaran angka ini diakui sendiri oleh Plate. Rencananya, semua unit BTS yang dibangun tersebut akan disewakan ke dua operator di Indonesia: Telkomsel dan XL.

Untuk membangun itu semua, proyek dibagi menjadi dua tahap: 4.200 unit pada 2021 dan sisanya pada 2022. Dalam dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kami terima, diketahui pembangunan tahap satu itu—yang angkanya mencapai Rp11 triliun—kemudian dipecah menjadi lima paket berbeda sesuai pembagian wilayah, yang dikerjakan oleh tiga konsorsium perusahaan yang berbeda.

Untuk Paket I, rencananya pembangunan unit berada di 725 desa yang tersebar di Sumatera, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Angkanya masih dipecah menjadi dua tahap: 417 desa senilai Rp1,2 triliun untuk tahap satu dan 308 desa senilai Rp874 miliar untuk tahap dua. Desa Mokel Morid dan Kampung Komodo masuk ke dalam paket ini.

Sedangkan Paket II, rencana pembangunan unit berada di 710 desa yang tersebar di Sulawesi dan Maluku. Angkanya masih dipecah menjadi dua tahap: 409 desa senilai Rp983 miliar untuk tahap satu dan 301 desa senilai Rp720 miliar untuk tahap dua.

Kedua paket itu digarap oleh konsorsium tiga perusahaan: PT Fiberhome Technologies Indonesia (PT FTI), PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom Infra), dan PT Multi Trans Data (MTD)—berikutnya akan disebut konsorsium FTM.

Untuk Paket III, rencananya pembangunan unit berada di 954 desa yang tersebar di Papua Barat dan Papua Bagian Tengah-Barat. Angkanya masih dipecah menjadi dua tahap: 549 desa senilai Rp1,4 triliun untuk tahap satu dan 405 desa senilai Rp1,3 triliun untuk tahap dua.

Paket itu juga digarap oleh konsorsium tiga perusahaan: PT Aplikasinusa Lintasarta (PT AL), PT Huawei Tech Investment (PT HWI), dan PT Surya Energi Indotama (PT SEI) —berikutnya akan disebut konsorsium LHS.

Bergeser ke Paket IV, rencananya pembangunan unit berada di 966 desa yang tersebar di Papua Bagian Tengah-Utara. Angkanya masih dipecah menjadi dua tahap: 556 desa senilai Rp1,2 triliun untuk tahap satu dan 410 desa senilai Rp1 triliun untuk tahap dua.

Dan terakhir untuk Paket V, rencana pembangunan unit berada di 845 desa yang tersebar di Papua Bagian Timur Selatan. Angkanya masih dipecah menjadi dua tahap: 486 desa senilai Rp1,1 triliun untuk tahap satu dan 359 desa senilai Rp965 miliar untuk tahap dua.

Agak berbeda dengan dua konsorsium lainnya, konsorsium yang menggarap Paket IV dan Paket V hanya terdiri dari dua perusahaan: PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan PT ZTE Indonesia (PT ZTEI)—berikutnya akan disebut konsorsium IBS-ZTE.

Belakangan, proyek ini dianggap bermasalah secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Ada indikasi korupsi yang besar dilakukan segelintir elite untuk mengambil keuntung pribadi dari proyek ini. Sejak Januari, Kejaksaan Agung sudah menetapkan lima orang tersangka dalam dugaan korupsi proyek ini.

Tiga orang pertama yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti)—sebuah badan layanan umum di bawah Kementerian Kominfo—Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk (PT Moratelindo) Galumbang Menak Simanjuntak, dan tenaga ahli dari Human Development (Hudev) Universitas Indonesia Yohan Suharyanto pada 4 Januari lalu.

Dalam penyidikkan Kejaksaan Agung, Anang diduga mengatur sedemikian rupa—salah satunya dengan meneken aturan teknis—agar vendor tertentu bisa memenangkan proyek pembangunan BTS 4G. Dalam manuver tersebut, Anang mendapat masukan dari Galumbang—pemimpin salah satu perusahaan penyedia perangkat proyek BTS. Sedangkan Yohan, diduga merekayasa kajian teknisnya.

Apa yang mereka lakukan adalah patgulipat menutup kesempatan perusahaan lain untuk bersaing secara sehat.

Pada 25 Januari lalu, orang keempat yang ditetapkan tersangka adalah Direktur Akuntansi PT Huawei Tech Investment (PT HWI) Mukti Ali. Ia diduga berkongkalikong dengan Anang—saat perencanaan hingga penawaran harga—sampai akhirnya PT HWI dinyatakan menang tender. PT HWI adalah salah satu dari konsorsium LHS yang menggarap proyek ini.

Sedangkan tersangka kelima—yang ditetapkan pada 7 Februari—adalah Komisaris PT Solitech Media Sinergy (PT SES) Irwan Herawan, yang diduga juga berkongkalikong dengan Anang untuk mengarahkan ke perusahaan tertentu menjadi pemenang tender di semua paket proyek.

Belakangan, Menteri Kominfo Johnny Gerald Plate juga ikut diperiksa sebagai saksi oleh Kejaksaan Agung. Ia dipanggil sebanyak tiga kali, namun hanya hadir di pemanggilan kedua dan ketiga. Plate mangkir dari pemanggilan pertamanya dengan dalih menemani Presiden ke acara Hari Pers Nasional di Medan.

Keterlambatan pembangunan menara BTS 4G yang terjadi di dekat rumah Elisabet disorot Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam dokumen BPK terbitan Januari 2022 untuk Kementerian Kominfo—salah satunya memeriksa proyek pembangunan menara BTS 4G tahap satu sepanjang 2021—yang kami terima, lembaga itu menemukan ada keterlambatan pembangunan menara BTS 4G dari lima paket tersebut.

Menurut BPK, hingga 31 Oktober 2021, Paket I dan Paket II baru selesai 63 persen dari targetnya sebesar 93 persen. Hal serupa terjadi di Paket III, yang baru rampung 79 persen dari targetnya sebesar 86 persen. Keterlambatan juga ada di Paket IV dan V yang baru selesai 59 persen dari targetnya sebesar 84 persen.

“Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa proyek BTS 4G pada 4.200 desa pada TA 2021 kemungkinan besar akan mengalami keterlambatan dari jadwal yang tertera dalam kontrak,” tulis BPK dalam laporannya.

Infografik Indepth Skandal Proyek Sinyal Bung Johnny REV

Infografik Skandal Proyek Sinyal Bung Johnny. tirto.id/Ecun

Tak Tepat Waktu, Tak Tepat Sasaran

Sembari memantau sinyal gawai di tangan kanannya, tangan kiri Willibrodus mengerek sebuah stoples ke atas pohon menggunakan tali sepanjang belasan meter. Di dalam stoples itu ada gawai lainnya yang digunakan untuk penambatan—atau biasa disebut tethering—untuk membagi sinyal internet ke gawai yang digenggamnya.

“Menurut informasi yang saya dapat, hotspot itu jaraknya bisa sampai 11 meter,” katanya kepada kami, 23 Februari lalu.

Pria 42 tahun itu tinggal di Desa Mokel Morid, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Desanya menjadi salah satu wilayah yang dibangun menara BTS 4G.

Masalahnya, menurut Willi, sinyal internet di desanya malah berantakan sejak adanya menara BTS yang sudah dibangun Bakti itu. Apalagi, profesi Willi sebagai pengusaha kecil sangat membutuhkan internet untuk berjualan.

“Kami merasa dirugikan. Kami seperti dibodohi dengan adanya tower ini,” katanya. “Selama ada tulisan Bakti Telkomsel [di layar gawai], tidak ada internet.”

Tak hanya Willi, kami juga menemui Foni, 29 tahun, di desa yang sama dan mengeluhkan hal yang sama. Padahal menurutnya, sebelum menara BTS milik Bakti dibangun, sinyal internet di desanya lancar. Sinyal itu didapat dari menara Paan Leleng milik Telkomsel di desa selebah—jaraknya sekitar lima kilometer dari Desa Mokel Morid.

Foni menunjukkan kepada kami lokasi menara BTS yang selesai dibangun. Ada tulisan “Bakti” di badan tiang menara tersebut. “Kami juga ada bisnis online, jadinya terhambat karena jaringan tidak bagus,” kata Foni.

Di kabupaten sebelah, Manggarai Barat, kami menemukan masalah serupa tepatnya di Kampung Komodo, Pulau Komodo. Sejak menara BTS di sana diresmikan, sinyal yang digunakan warga mulai terganggu.

“Internet enggak bisa. Telepon pun suara putus-putus. Tidak ada gunanya. Bukannya membantu, malah menyusahkan,” kata Kinan, 28 tahun, salah satu warga Kampung Komodo kepada kami.

Selain soal keterlambantan pembangunan, soal sinyal bermasalah yang dialami oleh Willi, Foni, dan Kinan juga disorot oleh BPK. Dalam dokumen yang sama, BPK juga menyebut bahwa angka total 7.907 desa yang disasar oleh Bakti sejak awal didapat dari Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika (Ditdal PPI) Kementerian Kominfo—yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Masalahnya, BPK menemukan bahwa pelaksanaan survei ke lokasi desa-desa dilakukan justru setelah kontrak pembelian sudah diteken.

“Namun, dalam proses pelaksanaannya, survei baru dilakukan setelah penandatanganan kontrak pembelian/purchase order,” tulis BPK.

Akhirnya, saat survei dilakukan Bakti kerap terjadi perubahan lokasi dan spesifikasi yang akan mengubah nilai kontrak. Oleh karena itu, BPK menemukan Bakti sampai harus mengamandemen kontrakan sebanyak empat kali.

Proses survei yang telat itu akhirnya juga mempengaruhi akurasi data soal desa-desa yang menjadi sasaran pembangunan menara BTS 4G. Dalam laporan BPK, ditemukan banyak desa yang menjadi sasaran justru dibangun hingga dua buah BTS. Padahal konsep awal proyek yang digarap Bakti adalah “Satu Desa Satu BTS”.

Ketika dimintai keterangan soal itu oleh BPK, Bakti berasalan bahwa beberapa desa yang menjadi sasaran awal ternyata telah terjamah oleh sinyal 4G sehingga harus ditentukan lokasi yang baru. Lokasi-lokasi baru tersebut malah membutuhkan dua unit BTS. Akhirnya, ada perubahan angka yang tadinya 7.904 desa menjadi 7.816 desa.

Masalahnya, menurut BPK, dari angka 7.816 tersebut banyak desa yang belum terjamah sinyal 4G, namun tidak tercantum dalam daftar lokasi awal proyek diteken.

“Menggambarkan adanya desa yang belum terlayani sinyal 4G di luar 7.904 desa yang dibangun oleh Bakti,” tulis BPK. “Seharusnya BAKTI lebih mengutamakan desa-desa tersebut dibandingkan dengan membangun dua BTS pada satu desa.”

Kepada kami, Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi menegaskan kembali soal proyek ini. Kata dia, proyek ini tidak direncanakan berdasarkan data empiris di lapangan. Achsanul menilai, Bakti saat merancang ribuan unit hanya berdasarkan data dari atas meja.

“Bahwa di sini, sehingga pada saat pembangunan banyak titik-titik yang mestinya tidak perlu dibangun,” katanya kepada kami, 6 Maret lalu. “Dan enggak bisalah, enggak layak untuk dibangun.”

Kami telah berupaya mengajukan permohonan wawancara ke semua perusahaan yang disebutkan di atas lewat surat, telepon, dan pesan singkat. Dari 11 perusahaan yang kami mintai konfirmasi, hanya empat yang membalas surat, telepon, maupun pesan singkat kami. Fiberhome, Huawei, Solitech dan Multitrans Data mengaku belum bisa menjawab pertanyaan kami karena masih menunggu proses penegakan hukum yang berjalan.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI BTS 4G atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Klub Jurnalis Investigasi
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz
-->