Menuju konten utama

Protes Sumarsih atas Upaya Jokowi Bikin Unit Kerja HAM Nonyudisial

Aksi Kamisan menolak rencana Presiden Jokowi membuat unit kerja menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lewat jalur non-pengadilan.

Protes Sumarsih atas Upaya Jokowi Bikin Unit Kerja HAM Nonyudisial
Pegiat mengikuti aksi kamisan ke-610 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - Perasaan Maria Catarina Sumarsih lempeng ketika mendengar rencana Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui Mekanisme Nonyudisial. Sumarsih menolak rencana itu dan mendesak pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial sesuai amanat Undang-Undang Pengadilan HAM.

“Pada setiap makan malam, di meja makan, kami sering membicarakan reformasi. Oleh karena itu kami sekeluarga akan melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawan gerakan mahasiswa ’98 yang belum selesai,” ia bercerita kepada reporter Tirto, Kamis malam pekan lalu. “Mewujudkan agenda reformasi ke-13, yaitu tegakkan supremasi hukum,” katanya.

Wawan adalah anaknya, bernama lengkap BR Norma Irmawan, yang tewas ditembak di bagian dada kiri pada 13 November 1998--peristiwa ini dikenal sebagai tragedi Semanggi I.

Tergabung dalam solidaritas keluarga korban pelanggaran HAM, Sumarsih menjadi saksi bagaimana wacana-wacana penyelesaian kasus HAM masa lalu menguap begitu saja.

Dari wacana rekonsiliasi November 1999, penyusunan draf RUU KKR pada 2002, wacana pembentukan tim penyelesaian kasus HAM berat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pembentukan Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2015, pembentukan Dewan Kerukunan Nasional oleh Menko Polhukam Wiranto pada 2016, pembentukan Tim Terpadu oleh Wiranto pada 2018, hingga sekarang Jokowi ingin membentuk unit kerja via mekanisme non-pengadilan.

Dalam rencana terakhir, Sumarsih berkata tidak pernah dilibatkan. “Saya tidak tahu siapa korban yang dilibatkan dalam pembahasan draf perpres. Tetapi kami, tidak dilibatkan.”

Sumarsih adalah seorang ibu yang menolak menyerah dan berdiri melawan. Dalam Aksi Kamisan setiap pekan, sejak 18 Januari 2007, ia setia berdiri di depan Istana, menuntut penguasa menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan negara, yang terus saja diabaikan.

Tahun kemarin, Sumarsih dan keluarga korban Tragedi Semanggi I-II menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim mengabulkan gugatan mereka. Burhanuddin divonis bersalah karena mengatakan Tragedi Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat. Namun, Jaksa Agung mengajukan banding ke PTUN, lalu mengabulkannya pada 8 Maret 2021 sehingga membatalkan vonis sebelumnya.

“Tapi masih ada jalan kebenaran dan keadilan yang bisa kami lewati, kami akan mengajukan kasasi,” ujarnya.

Dalam Aksi Kamisan ke-671 pada 26 Maret 2021, Sumarsih dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menyurati Jokowi. Mereka menolak UKP-PPHB karena dianggap akan memberikan impunitas bagi pelaku. Sumarsih menyebut cara pemerintah selalu mengupayakan mekanisme nonyudisial telah menegasikan hak korban mendapatkan keadilan.

Isi rancangan Perpres ini berupaya menegasikan pelaku. Di dalamnya hanya terdapat definisi tentang korban dan tiada definisi tentang pelaku. Definisi korban, menurut Sumarsih, tidak mencukupi. Korban bagi pemerintah, sebagaimana yang tertulis dalam draf, hanya “yang mengalami penderitaan fisik dan mental,” padahal seharusnya juga “yang meninggal akibat perbuatan pelaku yang melawan hukum.”

Jaringan Solidaritas meminta Jokowi membatalkan rencana pembentukan unit kerja tersebut, dan mendesak seharusnya Jokowi bikin peraturan tentang mekanisme penyelesaian kasus penlanggaran HAM secara yudisial. Jaksa Agung Burhanuddin diminta segera menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM dengan membentuk tim penyidik.

“Duka cita kami bertransformasi pada cinta kepada sesama dan menumbuhkan niat memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan di meja pengadilan,” ujar Sumarsih.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar khawatir jika peraturan ini terealisasi, para purnawirawan yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu bebas dari hukuman.

“Karena di rancangan Perpres tidak mendorong pengungkapan kebenaran,” kata Rivanlee. “Upaya untuk membawa pelaku ke mekanisme pengadilan menjadi hilang.”

Rivanlee menegaskan “upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu baru akan menemukan titik ideal jika negara tidak memberikan jabatan atau mencopot para terduga pelanggar HAM yang berada di kekuasaan.”

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino