Menuju konten utama

Protes pun Perlu Modal: Demo Hong Kong Dapat Dana via Crowdfunding

Salah satu alasan protes di Hong Kong bisa berlangsung lama adalah finansial yang mencukupi.

Protes pun Perlu Modal: Demo Hong Kong Dapat Dana via Crowdfunding
Pengunjuk rasa anti pemerintah bereaksi setelah adanya pengumuman bahwa semua operasional bandara akan dihentikan karena demonstrasi di Bandara Hong Kong, China, Selasa (13/8/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato/djo/wsj.

tirto.id - Hong Kong terus memanas. Belum ada tanda-tanda protes bakal berhenti. Para pemrotes, yang jumlahnya ribuan, sudah menginjakkan kakinya di bandara; memperluas jangkauan api perlawanan terhadap pemerintah.

Aksi protes di Hong Kong telah berlangsung selama berminggu-minggu. Butuh modal yang besar—dan kuat—agar aksi massa dapat berjalan sekaligus dipertahankan. Di Hong Kong, salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut ialah dengan penggalangan dana (crowdfunding).

Hingga 12 Agustus kemarin, mengutip pemberitaan South China Morning Post, total dana yang dikumpulkan dari publik mencapai HK$15,4 juta—setara dengan $1,97 juta. Pengumpulan dana dilakukan oleh forum daring bernama LIHKG. Nantinya, uang tersebut bakal dipakai untuk pembuatan iklan di media-media internasional hingga membebaskan para pemrotes yang ditahan polisi.

Semangat Kolektif

Total, selama protes berlangsung, sudah ada tiga kali penggalangan dana. Pada dua kegiatan sebelumnya, dana yang dikumpulkan mencapai HK$10 juta. Dana itu dipakai untuk memasang iklan di sejumlah media internasional macam Financial Times, The New York Times, The Guardian, sampai The Washington Post.

Iklan pertama dipasang bertepatan dengan acara G20 di Osaka, berisikan tuntutan dari pemrotes untuk memasukkan isu RUU Ekstradisi dalam agenda G20.

“Kami, sekarang, membutuhkan dukungan kalian: buat suara kami didengar di pemerintahan dan konsulat kalian; biarkan kebebasan berlaku di KTT G20 mendatang dan seterusnya. Kami bisa diselamatkan, jika kalian bertindak sekarang,” demikian tulis iklan itu, yang kemudian ditutup dengan “Warga Hong Kong, Barisan Depan Kebebasan.”

Selain ditujukan untuk meminta dukungan, crowdfunding juga dipakai untuk memperlihatkan aksi represif aparat kepolisian Hong Kong terhadap para pemrotes. Dalam keterangan resminya, LIHKG menyebut bahwa tindakan polisi setara dengan “kejahatan perang.”

“Sejak 9 Juni, perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga Hong Kong sudah melampui apa yang bisa diterima masyarakat beradab,” terang mereka.

“Kampanye crowdfunding ini adalah eskalasi lain untuk mengungkapkan kepada dunia bagaimana pemerintah Hong Kong menggunakan langkah-langkah ekstrem untuk menindak para pembangkang, menggunakan ‘senjata kimia’ tanpa pandang bulu, dan menembak warga dalam jarak dekat.”

Di luar yang dilakukan LIHKG, ada bermacam inisiatif serupa di gerakan akar rumput Hong Kong. Tujuannya sama: mendukung aksi protes sekalipun caranya berbeda-beda.

HKProtect, misalnya, merupakan situs yang mengumpulkan alat-alat pelindung yang bisa dipakai para pemrotes saat di lapangan. Situs ini didirikan oleh L—nama samaran—beserta empat orang kawannya. Pendirian situs berangkat setelah L, tulis Quartz, menyaksikan para pemrotes jadi target gas air mata, pukulan pentungan, hingga tembakan peluru karet.

“Ada banyak cara kreatif untuk mendukung gerakan ini,” ungkap L. “Semua orang menggunakan profesi mereka untuk berkontribusi.” Ia menambahkan bahwa situsnya “tidak mendukung kekerasan,” tapi “menyediakan peralatan yang diperlukan pemrotes agar bisa tetap aman.”

Sejak diluncurkan pada pertengahan Juni silam, situs crowdfunding lainnya seperti GoGetFunding sudah mengumpulkan lebih dari HK$1,2 juta. Dana tersebut rencananya bakal dipakai untuk pendampingan hukum, psikologis, serta medis bagi para pemrotes.

Kemudian, ada pula inisiasi dari Asosiasi Jurnalis Hong Kong. Pada 15 Juli kemarin, mereka melakukan aksi pengumpulan dana dan berhasil menarik sekitar HK$2,4 juta hanya dalam kurun waktu dua hari. Kampanye ini dimaksudkan untuk memberikan bantuan keuangan kepada setiap anggota pers di Hong Kong.

Laporan bertajuk “Crowdfuning as A Vehicle for Protest” yang dipublikasikan di Los Angeles Times menyebut crowdfunding telah menjadi cara bagi orang-orang untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan mereka, serta sebagai sarana untuk mendukung aksi sosial-politik tanpa harus turun ke jalan.

“Sangat mudah untuk memberikan 5 dolar secara online karena alasan yang Anda pilih,” tutur Daren Brabham, profesor komunikasi di University Southern of California. “Ini hanya cara sederhana untuk menunjukkan secara simbolis kalau Anda mendukung satu dan lain hal.”

INFOGAFIK TAKTIK DEMONSTRAN HONGKONG

INFOGAFIK TAKTIK DEMONSTRAN HONGKONG. TIRTO.ID/QUITA

Praktik Lazim

Aksi penggalangan dana sedianya berasal dari sektor korporasi. Laporan berjudul “Online Political Crowdfunding Political Party Innovation Primer 2” (PDF) yang disusun International Institute for Democracy and Electoral Assistance menjelaskan crowdfunding bertujuan untuk mengumpulkan dana dan memperkuat ikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Dari yang semula hanya berada di ranah bisnis, crowdfunding menjalar juga hingga politik. Di dunia politik sendiri crowdfunding dipakai sebagai alat promosi partai maupun kandidat politik tertentu. Dengan crowdfunding, pihak-pihak bersangkutan hendak menerapkan prinsip transparansi, terutama dari segi pendanaan.

Karena sifatnya terbuka, crowdfunding dapat berfungsi pula sebagai sarana berpartisipasi dalam politik untuk mereka yang tak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Dengan menyumbang sebagian dana, mereka bisa mendukung realisasi program-program yang ditawarkan partai maupun kandidat politik tertentu.

Contoh kesuksesan crowdfunding bisa dilihat dari kiprah Alexandria Ocasio-Cortez, Rashida Tlaib, Bernie Sanders, hingga Partai Buruh di Inggris. Meski cukup banyak diminati, praktik crowdfunding sendiri nyatanya belum dianggap efektif untuk mempromosikan inklusivitas, keragaman, transparansi, dan akuntabilitas dalam politik.

Tantangan lain yang muncul dari crowdfunding adalah celah berupa sulitnya melacak asal dana sumbangan serta kemungkinan crowdfunding dipakai sebagai taktik tindak pidana pencucian uang (money laundry).

Namun, terlepas dari kekurangannya, dalam konteks protes di Hong Kong, crowdfunding sudah memiliki tempat tersendiri untuk mendukung api perlawanan masyarakat terhadap RUU Ekstradisi. Kekuatan yang kecil dan banyak, ketika dikumpulkan menjadi satu, pada akhirnya akan berubah menjadi besar—dan bisa berdampak.

Baca juga artikel terkait DEMO HONG KONG atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Maulida Sri Handayani