Menuju konten utama

Protes Perempuan Jepang Tolak Kewajiban Sepatu Hak Tinggi di Kantor

Kewajiban memakai sepatu hak tinggi bagi perempuan hanyalah satu dari sekian banyak praktik diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja.

Protes Perempuan Jepang Tolak Kewajiban Sepatu Hak Tinggi di Kantor
Sepatu hak tinggi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Model asal Jepang Yumi Ishikawa, sudah kebal dengan ejekan yang menyebut dirinya perempuan tidak bermoral dan tidak tahu diri. Ucapan itu biasa dilontarkan para pria yang menganggap protes Yumi soal aturan penggunaan sepatu hak tinggi saat bekerja tidak masuk akal.

Dilansir dari South china Morning Post, awal tahun ini Yumi tercatat sebagai pekerja lepas di sebuah rumah duka di Jepang. Ia bekerja selama delapan jam sehari dan bertugas menyambut para tamu yang hadir di rumah duka. Perempuan ini tadinya tidak pernah bermaksud mengeluhkan pekerjaannya. Tapi kewajiban mengenakan sepatu hak setinggi 5-7cm selama bekerja membuat kakinya sakit sampai-sampai ia tak tahan untuk tidak protes.

Protes dilayangkan lewat media sosial Twitter. Tak disangka, keluhan Yumi ramai diperbincangkan di jagat maya karena ada banyak perempuan Jepang yang bernasib serupa.

Perbincangan berujung ke usulan membuat petisi #KuToo movement yang menuntut pemerintah Jepang membikin larangan perusahaan mewajibkan pekerja perempuan mengenakan sepatu hak tinggi kala bekerja.

Petisi ditandatangani lebih dari 20.000 orang dan didukung oleh aksi kampanye bertajuk ”Bisakah melamar pekerjaan dengan sepatu sneakers?". Dalam aksi tersebut, panitia akan meminta para pria mencoba berjalan menggunakan sepatu hak tinggi.

“Sepatu ini bikin jalanku tidak stabil dan telapak kakiku berkeringat. Aku merasa sangat terganggu kalau ada yang menyuruhku terus-terusan mengenakan sepatu ini,” kata Jun Ito yang sempat terlibat dalam aksi kampanye.

“Aku hanya berharap supaya suatu hari perempuan tidak mesti bekerja dengan memakai sepatu hak. Kenapa kita harus rela menyiksa diri sementara para pria bisa melakukan pekerjaannya dengan nyaman karena menggunakan sepatu datar?” kata Yumi kepada Japan Times.

Infografik Kutoo

Infografik Kutoo. tirto.id/Quita

Sampai hari ini Menteri Kesehatan Jepang Takumi Nemoto belum memberi keterangan lebih lanjut terkait aturan penggunaan sepatu hak tinggi bagi perempuan. Ia hanya berkata bahwa peraturan tersebut termasuk penting dan masih pantas diterapkan.

Peraturan tentang kondisi kenyamanan kerja bagi para perempuan ini bukan perkara sepele di Jepang. Yumi dan para perempuan Jepang lain menilai setiap aturan diskriminatif di dunia kerja membuktikan pemerintah belum serius dalam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara.

Laporan Global Gender Gap 2018 yang dirilis World Economic Forum 2018 menempatkan Jepang di peringkat ke 110 dari 149 negara dalam hal kesetaraan gender.

Berbagai kisah menyesakkan soal perempuan yang berupaya mati-matian agar memiliki karier yang baik masih saja terdengar.

Guru perempuan, Mariko Yanagisawa, 53 tahun, telah bekerja selama 24 tahun dengan gaji di bawah rata-rata, timpang dengan pendapatan para guru pria yang bekerja di sekolah yang sama. Meski demikian, ia tetap memilih bekerja karena menyukai profesi guru. Seiring waktu, Mariko menyaksikan rekan kerja perempuannya mundur teratur. Mereka memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaannya karena gaji yang terlalu kecil.

Politikus perempuan pun mengalami kesulitan menjalankan pekerjaannya. Yuka Ogata, satu dari sedikit politikus perempuan di Jepang, bercerita kepada New York Times bahwa ia sempat mengusulkan kepada anggota dewan kota agar membuat aturan yang mengizinkan politisi perempuan untuk menyusui di ruang kerja. Ia pun sempat mengusulkan didirikannya fasilitas penitipan anak di kawasan gedung kantor pemerintah. Sayangnya, kedua usul tersebut ditolak mentah-mentah.

Walhasil Yuka terpaksa menggendong bayinya saat di kantor dan hal tersebut membuatnya dimarahi oleh rekan kerja pria. Cerita seperti itu sudah jadi kisah lumrah di Jepang.

Di ranah swasta, perempuan kerap kali dipaksa untuk menunda punya anak. Pernah ada kasus seorang perempuan muda yang bekerja di tempat penitipan anak dipaksa meminta maaf kepada rekan kerja senior karena hamil di luar rencana. Perusahaan menerapkan kebijakan bahwa pekerja yang diperbolehkan hamil lebih dulu adalah pekerja yang lebih senior.

Presiden Reitsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Haruaki Deguchi mengatakan bahwa perempuan yang memutuskan kembali bekerja setelah melahirkan biasanya ditempatkan dalam posisi lebih rendah dari sebelumnya dan tidak diberi kesempatan naik jabatan.

“Di negara ini harapan tertinggi para perempuan adalah terbebas dari pilihan tidak menikah demi karier atau jadi ibu dan meninggalkan karier,” tulis Brook Larmer dalam "Why Does Japan Make It So Hard for Working Women to Succeed?" di New York Times Oktober 2018.

Enam tahun lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe membentuk Womenomics, sebuah program yang bertujuan untuk menjamin agar perempuan Jepang bisa memiliki karier yang baik dan meraih jabatan penting dalam dunia kerja baik di sektor swasta maupun pemerintahan.

"Jepang di mana perempuan bisa bersinar", demikian moto program yang menargetkan 30% jabatan tinggi di perusahaan swasta atau pemerintah diisi oleh perempuan pada 2020.

Maret lalu, International Labour Organization merilis laporan yang menyebut bahwa pada 2018 jabatan tinggi yang diisi oleh perempuan baru 12%.

Jepang juga masih jadi negara anggota G7 yang tidak menerapkan prinsip kesetaraan gender. Hasil riset Women Political Leaders dan Kantar Public tentang tingkat kepercayaan publik terhadap pemimpin perempuan di Jepang menyebut bahwa hanya 28% responden yang merasa nyaman bila memiliki atasan perempuan di perusahaan besar.

“Womenomics tidak pernah ditujukan untuk kesejahteraan perempuan. Program itu hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi dan perempuan dijadikan alat untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Kaori Katada, Associate Professor in Social Policy, Tokyo Hosei University kepada Larmer.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf