Menuju konten utama

Prostitusi di Media

Ketika jurnalisme larut dalam melanggengkan blaming dan shaming perempuan ini, ada masalah besar di media kita: pelanggaran kode etik dan hak asasi manusia.

Prostitusi di Media
Ilustrasi Arfi Bambani Amri. tirto.id/Sabit

tirto.id - Belakangan ini, sebuah kasus prostitusi yang melibatkan seorang artis menghiasi halaman-halaman depan media. Banyak media mengumbar nama artis yang tersangkut kasus ini secara jelas dan terang. Bahkan bukan hanya itu, media juga mengeksploitasi semua hal yang terkait dengan artis yang bersangkutan, termasuk akun media sosialnya. Jika kita cari nama artis yang bersangkutan di mesin pencari, dengan mudah kita mendapatkan berita-berita yang terkait kehormatan dan martabat sang artis.

Di sisi lain, media tak pernah membuka nama orang yang diduga menyewa sang artis atau muncikari yang menghubungkannya dengan pria hidung belang. Nama si penyewa pun tak pernah dibuka. Jika berlaku pendekatan berimbang sebagai sebuah asas, maka media sudah lalai melakukan keberimbangan. Namun, persoalan di sini jauh lebih besar daripada sekadar asas keberimbangan.

Pada 2019 lalu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menempatkan fenomena semacam ini sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai subjek yang dipersalahkan dan dipermalukan (blaming and shaming). Perempuan dieksploitasi tubuhnya dan bahkan menjadi objek seksual. Fenomena ini juga terjadi di ranah online dengan implikasi yang bisa membuat perempuan dipermalukan sehingga muncul misalnya, paksaan untuk bunuh diri.

Dalam kasus prostitusi, perempuan yang menjadi korban mendapatkan tekanan yang lebih besar karena ada stigma yang diperkuat oleh institusi sosial seperti agama dan hukum. Dan lebih buruk lagi ketika media yang seharusnya bisa memihak pada korban justru juga melanggengkan stigma. Alih-alih melindungi korban, media malah ikut mengeksploitasi korban dengan mengumbar tubuhnya dan menstigma korban dengan membuka nama dan menggunakan istilah-istilah yang negatif.

Ketika jurnalisme larut dalam melanggengkan blaming dan shaming perempuan ini, ada masalah besar di media kita: pelanggaran kode etik dan hak asasi manusia.

Etik dan HAM

Atas dasar apa media membuka nama artis yang tersangkut kasus prostitusi? Polisi tidak pernah menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah tersangka. Bahkan sang artis disebut sebagai korban dan berstatus sebagai saksi. Polisi menyatakan sedang mencari muncikari yang diduga “menjual” sang artis ke seorang pria hidung belang.

Polisi dalam hal ini paham bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya mengatur muncikari yang bisa dipidana. Pasal 296 Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”

Pasal ini diperkuat lagi oleh Pasal 506 KUHP yang menyatakan, “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Dari konstruksi dua pasal ini, ketika polisi menyimpulkan ada muncikari atau orang yang mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya mata pencaharian, posisi perempuan yang diprostitusikan adalah korban. Bahkan orang yang membeli “jasa” perempuan ini pun tak bisa dipidana berdasarkan dua pasal tersebut sehingga dalam hal ini, posisi media yang hampir tak pernah mengumbar nama pria hidung belang pembeli “jasa” prostitusi bisa dibenarkan.

Namun bagaimana dengan nama perempuan korban prostitusi yang diumbar?

Jelas melanggar Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik. “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila… .” Media juga potensial melanggar Pasal 1 KEJ yang menuntut “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Ada itikad buruk untuk membongkar aib seseorang padahal tidak ada kepentingan publik di sana.

Perilaku tak terpuji media ini potensial melanggar hak asasi korban. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Tindakan media yang mempublikasikan informasi yang mengganggu kehormatan atau martabat seseorang bukan demi kepentingan umum jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Eksploitasi Perempuan

Kecenderungan media mengeksploitasi perempuan yang berhadapan dengan hukum bukanlah fenomena baru. Eksploitasi bukan hanya terjadi terhadap perempuan yang menjadi korban, namun juga terhadap perempuan yang menjadi pelaku. Tidak usah kaget jika kita menemukan judul-judul berita sensasional menggunakan istilah-istilah seperti “Perampok Cantik...” atau “Janda Seksi Korban Pembunuhan”.

Drew Humphries menyinggung fenomena ini dalam buku Women, Violence, and the Media: Reading in Feminist Criminology (2009) bahwa ketika “perempuan terjebak adalah masalah sebagai korban atau pelaku, media membangkitkan serangkaian asumsi yang dimiliki reporter, penulis naskah dan lainnya yang gunakan untuk mensetankan (demonize) perempuan, tergantung pada keadaannya.”

Menurut Humphries, asumsi-asumsi itu berdasarkan, pertama, dikotomi seksual antara perempuan baik dan buruk. Kedua, perbedaan antara dunia sosial perempuan dan laki-laki. Ketiga, mencampuradukkan pengaruh identitas ras, etnik, dan kelas sosial dalam proses stigmatisasi. Keempat, konstruksi gender atas pengetahuan di dalam lapangan studi. “Asumsi-asumsi ini membentuk konstruksi gender perempuan sebagai sekaligus korban dan pelaku,” Humphries menulis.

Eksploitasi perempuan, bagi media, tentu untuk tujuan mendulang trafik pembaca atau peringkat (rating) bagi media televisi. Konstruksi gender yang bias dan menstiga dimanfaatkan oleh media untuk meraih trafik atau rating yang tinggi. Apalagi dalam sebuah kasus prostitusi, artis perempuan yang cantik molek tentu saja menjadi bahan eksploitasi bagi media. Jika begini, siapakah yang sebenarnya sedang melakukan prostitusi, menjual syahwat demi keuntungan ekonomi tertentu seperti trafik?

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.