Menuju konten utama

Proses Pemecatan Jurnalis Top Skor karena Ngetwit Soal Ust. Somad

Pemecatan dilakukan dalam rapat yang dihadiri Pemred, Wakil Pemred, serta seluruh Redaktur Topskor.

Proses Pemecatan Jurnalis Top Skor karena Ngetwit Soal Ust. Somad
Ilustrasi buzzer politik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Zulfikar Akbar, seorang jurnalis Harian Topskor dipecat usai memberikan sejumlah pernyataan di akun Twitter pribadinya. Pernyataan Zulfikar menyoroti penolakan yang dialami Uustaz Abdul Somad saat hendak masuk ke Hong Kong. Zulfikar diberhentikan Selasa, 26 Desember 2017.

Pernyataan terhadap penolakan Ustaz Abdul Somad diberikan Zulfikar melalui akun @zoelfick pada 24 Desember 2017 pukul 7.46. Ia menulis pandangannya mengenai peristiwa yang menimpa Ustaz Abdul Somad pada Sabtu, 23 Desember 2017. (23/12).

"Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih-alih berkaca justru menyalahkan negara orang. Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana-mana bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini mmg baik, penolakan itu takkan terjadi," kata Zulfikar.

Usai menayangkan cuitan tersebut, berbagai reaksi muncul dari para pengguna internet. Tagar berbunyi #BoikotTopSkor pun sempat ramai dibagikan, karena warganet tahu bahwa Zulfikar merupakan jurnalis di media tersebut.

Reaksi warganet itu mendapat tanggapan dari pihak manajemen TopSkor. Pemimpin Redaksi TopSkor Yusuf Kurniawan dalam cuitannya di akun @Yusufk09, 26 Desember 2017 pukul 9.55, berkata perbuatan Zulfikar tak ada hubungannya dengan media tempatnya bekerja. Ia juga berkata, pihak redaksi TopSkor langsung memanggil Zulfikar untuk mempertanggungjawabkan cuitannya di media sosial.

Selang beberapa jam dari cuitan tersebut, Yusuf mengumumkan TopSkor telah memutus hubungan kerja dengan Zulfikar melalui akun Twitter pribadi dan milik TopSkor.

"Terhitung mulai hari ini, Selasa (26/12), manajemen TopSkor telah memutuskan hubungan kerja dengan Zulfikar Akbar @zoelfick. Maka sjk saat ini segala aktivitas yg dilakukan oleh sdr Zulfikar bukan lagi jadi tgg jwb institusi TopSkor. Wassalam," cuitnya di akun @HarianTopSkor pada 26 Desember pukul 20.49.

Pemecatan tersebut telah dikonfirmasi langsung Tirto kepada Zulfikar. Dalam keterangannya melalui pesan singkat, Zulfikar berkata pemecatan dilakukan dalam rapat yang dihadiri Pemred, Wakil Pemred, serta seluruh Redaktur Topskor.

"Saat rapat itu ya dibahas bagaimana teror diarahkan ke TopSkor, sekaligus judge bahwa saya bersalah. Jadi dari sana diambil keputusan mereka cut saya," ujar Zulfikar, Rabu (27/12/2017).

Zulfikar berkata, manajemen TopSkor menilai cuitannya membuat suasana kerja tidak nyaman. Ia juga mengaku tak memohon pengunduran diri, namun perusahaan lantas memecatnya dengan alasan tersebut.

"Keputusan mereka begitu karena alasan untuk menyelamatkan pekerja yang lain," katanya.

Bantahan Redaksi TopSkor

Keterangan berbeda disampaikan Pemred TopSkor. Menurut Yusuf, dirinya tak memecat Zulfikar. Hubungan kerja Zulfikar dengan TopSkor berakhir lantaran wartawan tersebut mengundurkan diri secara sukarela.

"Bukan dipecat, tapi dia mengundurkan diri. Dia memahami secara sadar konsekuensi dan dampak yang akan diterima topskor secara institusi jika dia mempertahankan posisinya saat ini," kata Yusuf dalam pesan singkat kepada Tirto.

Yusuf mengakui bahwa ia dan segenap manajemen TopSkor telah meminta penjelasan lebih dulu kepada Zulfikar di forum dewan redaksi. Di forum itu, kata Yusuf, Zulfikar telah menyadari dampak perbuatannya di Twitter, sehingga memilih mengundurkan diri alih-alih dipecat.

"TopSkor media olahraga yang independen dan tidak berafiliasi dengan pihak manapun. Kami hanya berbicara soal olahraga. Tapi aktivitas Zul di sosmed telah mengundang kegaduhan di ranah publik. Kami tidak ingin hal itu berlarut-larut," katanya.

"Kami sudah kumpulkan jejak ciutannya dan Zul mengakui hal itu merugikan kredibilitas dan netralitas institusi tempatnya bekerja. Soal apakah perbuatan Zul mengancam keselamatan perusahaan, itu bukan fokus kami saat ini," ujar Yusuf mengakhiri penjelasan.

Berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya bisa dilakukan pengusaha setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI). Permohonan PHK harus diajukan secara tertulis kepada lembaga PHI disertai alasan.

Kemudian, Pasal 158 UU Ketenagakerjaan mengatur hal-hal yang memperbolehkan perusahaan menjatuhkan PHK terhadap karyawannya. Dalam beleid itu diatur, PHK bisa dilakukan jika pekerja dianggap melakukan pelanggaran berat.

Jenis pelanggaran berat yang dimaksud diantaranya penipuan, memberi keterangan palsu yang merugikan perusahaan, mabuk dan menggunakan narkoba di lingkungan kerja, serta sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya.

Kecaman atas Pemecatan

Peristiwa yang menimpa Zulfikar lantas mendapat beragam reaksi. Kepala Divisi Riset dan Publikasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin berkata, manajemen TopSkor telah berbuat sewenang-wenang dengan memutus hubungan kerja karena perilaku karyawannya di medsos.

Ade menilai, manajemen TopSkor harusnya tak perlu terlalu responsif menanggapi cuitan Zulfikar. Apa yang dilakukan Zulfikar dianggap merupakan bagian kebebasan individu untuk berekspresi.

"Zul nge-twit itu dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan warga negara yang hak kebebasan berekspresinya dijamin oleh konstitusi, bukan dalam kapasitasnya sebagai jurnalis atau dalam sebuah liputan karya jurnalistik. Seharusnya managemen bisa melihat itu secara jernih. LBH Pers mengecam keras tindakan PHK sewenang-wenang perusahaan media kepada Zul," ujar Ade kepada Tirto.

Tanggapan juga datang dari Forum Pekerja Media. Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, disebutkan forum itu meminta manajemen TopSkor menyelesaikan masalah dengan Zulfikar sesuai koridor hukum. Forum itu juga meminta masyarakat tak terpengaruh provokasi persekusi terhadap Zulfikar.

"Forum Pekerja Media juga menuntut Kementerian Tenaga Kerja turun ke lapangan melindungi para pekerja media yang dilanggar hak-hak pekerjanya karena aktivitas mereka di media sosial. Kami mendengar kasus serupa juga pernah terjadi di beberapa media lain, namun belum terungkap ke publik," bunyi keterangan pers tersebut.

Forum tersebut bahkan menyitir regulasi pemecatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomo 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU itu, pemecatan atau PHK disebutkan dalam Pasal 151 dan 152.

Pasal 151 ayat 2 berbunyi: “Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.”

Sedangkan Pasal 152 ayat 3 berbunyi: “Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.”

Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan. Menurutnya, manajemen TopSkor seharusnya tak terburu-buru mengakhiri hubungan kerja dengan Zulfikar. Keputusan manajemen TopSkor disebutnya bisa menjadi preseden buruk di masa depan.

"Itu akan menjadi contoh buruk bagaimana sebuah kelompok bisa mendesakkan kepentingannya, atau mengintimdasi jurnalisnya, dengan cara yang sama di masa mendatang. AJI akan mendorong perusahaan media untuk tidak mudah menyerah pada tekanan kelompok massa, apalagi jika yang dilakukan pekerjanya masih dalam batas yang wajar dan masih dibenarkan konstitusi," kata Manan kepada Tirto.

Manan menilai gerakan hastag #BoikotTopSkor merupakan hal wajar dan boleh dilakukan. Namun, menurutnya perbuatan tersebut tak lantas diikuti dengan intimidasi terhadap individu yang terkait.

"Tentu saja kami juga mendorong jurnalis dan pekerja media untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Sikap hati-hati harus diterapkan meski jangan sampai membuat kita lantas takut menjalankan profesinya," ujar Manan.

Agar lebih bijaksana dalam bersocmed ria. Socmedmu harimaumu

A post shared by tirto.id (@tirtoid) on

Bukan Kasus Pertama

Insiden semacam ini sebelumnya pernah hampir menimpa Pandu Wijaya, seorang karyawan kontrak PT Adhi Karya. Pandu diberi surat peringatan 3 alias SP3 setelah memberi komentar terhadap Kiai Haji Mustofa Bisri alias Gus Mus pada November 2016, tentang rencana aksi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang akan berunjuk rasa dengan cara menggelar salat Jumat di sepanjang jalan Sudirman hingga MH Thamrin. pada 2 Desember.

Gus Mus menuliskan “Kalau benar, wah dalam sejarah Islam sejak zaman Rasulullah SAW baru kali ini ada BID’AH sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran,” di akun pribadinya. Cuitan Gus Mus dibalas Pandu dengan menulis: "@gusmusgusmu Dulu gk ada aspal Gus di padang pasir, wahyu pertama tentang shalat jumat jga saat Rasullullah hijrah ke Madinah. Bid'ah ndasmu!"

Komentar Pandu membuat sejumlah orang bereaksi dan mengecam Pandu. Melihat kondisi itu, PT Adhi Karya langsung memberinya SP3, dan Komisaris Utamanya Fadjroel Rahman langsung meminta maaf kepada Gus Mus.

Gus Mus kemudian menjawab dan menurutnya tak perlu ada yang dimaafkan karena Pandu merupakan anak muda. Gus Mus juga meminta kepada manajemen Adhi Karya untuk tidak memecat dan memaafkan Pandu.

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih