Menuju konten utama

Proses Kasus Paniai di Tengah Keraguan Penyelesaian HAM Berat

Dalam kasus Paniai, konstruksi perkara Kejagung hanya fokus pada pelaku tunggal berinisial IS. Padahal kasus itu tidak melibatkan satu orang saja.

Proses Kasus Paniai di Tengah Keraguan Penyelesaian HAM Berat
Pegiat HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Provinsi Papua akan memasuki situasi penting. Kejaksaan Agung lewat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyatakan berkas perkara Paniai atas nama tersangka IS Nomor: 01/BERKAS-PEL.HAM.BERAT/04/2022 tanggal 6 April 2022 dinyatakan lengkap.

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf b, Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 139 KUHP, jaksa penyidik diminta untuk menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum guna menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, via keterangan tertulis, Jumat, 20 Mei 2022.

IS dijerat Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Kedua Pasal 40 juncto Pasal 9 huruf h juncto Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kejaksaan pun akan melakukan pelimpahan perkara tahap II terhadap tersangka yang diduga berprofesi sebagai perwira TNI ini dalam tenggat waktu paling lambat Mei 2022.

“Akan dilakukan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (tahap II) oleh penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat kepada tim penuntut umum sebelum akhir Mei 2022," sambung Ketut.

Pengungkapan kasus Paniai ini penting. Kasus Paniai merupakan satu dari dua belas kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai diproses pemerintah. Ke-12 kasus ini, antara lain: Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998 di DKI Jakarta; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Wasior 2001-2001 dan Wamena 2003 di Papua-Papua Barat; Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997/1998 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung; Peristiwa 1965-1966 terjadi di lintas provinsi. Peristiwa penembakan misterius 1982-1985 terjadi di lintas provinsi; Peristiwa Simpang KKA di Aceh; Peristiwa Jambo Keupok di Aceh; Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 di Jawa Barat/Jawa Timur; Peristiwa Rumoh Geudong 1989 di Aceh; dan Peristiwa Paniai 2014 di Papua.

Kasus Paniai sendiri berawal dari kejadian tiga pemuda menegur TNI di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua pada 7 Desember 2014. Mereka menegur TNI yang mengendarai motor dari Enarotali menuju ke Madi, tanpa menyalakan lampu. Aksi peneguran tersebut berujung bentrok antara TNI dan warga karena anggota TNI tersebut tidak terima ditegur warga dan membawa teman-temannya dan menganiaya pemuda hingga pingsan.

Aksi penganiayaan direspons masyarakat setempat dengan upaya meminta klarifikasi kepada Polsek Paniai dan Koramil 1705-02/Enarotali. Selain meminta klarifikasi, mereka berdemonstrasi sambil menari dan bernyanyi. Masyarakat bukan mendapat kejelasan, tetapi malah mendapatkan perlawanan hingga terjadi bentrokan. Empat orang berusia 17-18 tahun tewas akibat luka tembak dan luka tusuk. 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.

Langkah Maju & Harus Transparan

Komnas HAM merespons positif langkah Kejaksaan Agung yang akan membawa berkas tersebut ke ranah penuntutan. Komisioner Komnas HAM Chairul Anam menilai, penetapan berkas ke tahap penuntutan adalah sebuah perkembangan yang signifikan.

Akan tetapi, Komnas HAM meminta agar persidangan juga mengungkapkan fakta-fakta dan mengembangkan kasus tersebut lewat fakta-fakta baru. Dengan demikian, publik bisa mengetahui dan bisa memahami secara langsung pihak yang bertanggung jawab.

“Kita berharap dengan perkembangan nanti di pengadilan atau juga ada perkembangan fakta-fakta yang baru, ada dan melihat konstruksi peristiwanya itu juga bisa melihat secara langsung siapa yang bertanggung jawab, sehingga memang pertanyaan yang masuk ke Komnas HAM oleh publik khususnya di Papua bisa terjawab, kenapa kok hanya IS misalnya begitu dan kenapa nggak ada tersangka yang lain? Dan IS ini siapa?" kata Anam kepada reporter Tirto, Jumat (20/5/2022)

Anam meminta agar konstruksi perkara Paniai dibuka secara terang sekaligus menuntut adanya pertanggungjawaban dari para pelaku kejahatan kasus Paniai.

“Oleh karenanya, walaupun kami mengapresiasi tetap meminta membuka peluang dengan konstruksi peristiwa, nantinya bisa kita lihat sebenarnya siapa yang bertanggung jawab secara penuh, siapa yang level tanggung jawab di bawahnya karena kasus hak asasi manusia itu khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu dalam konteks-konteks tertentu itu, menuntut adanya sebuah konstruksi pertanggung jawaban sesuai rantai tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masing pelaku,” tegas Anam.

Anam menambahkan, “Jadi level apa melakukan apa, level apa melakukan apa dan itu semuanya bisa menjadikan status, apakah mereka tersangka atau tidak?" tutur Anam.

Sementara itu, Manajer Advokasi Elsam, Muhammad Busyrol Fuad meminta, agar kasus Paniai tidak seperti kasus HAM masa lalu yang sudah selesai, tetapi tidak memberikan keadilan. Ia melihat indikasi kasus Paniai akan seperti tiga kasus HAM yang sudah diproses hukum.

Sebagai catatan, pemerintah lewat penegak hukum berupaya menyelesaikan 3 kasus pelanggaran HAM berat lewat peradilan HAM, yakni kasus Abepura, Tanjung Priok, dan Timor Timur. Akan tetapi para tersangka dalam perkara tersebut tidak berhasil dijerat hukum dan bebas.

“Saya kira proses Pengadilan HAM atas tiga pelanggaran HAM berat sebelumnya (Abepura, Tanjung Priok, Timor Leste) menjadi pembelajaran penting bahwa prosesnya tidak memberikan keadilan bagi korban, salah satunya karena kegagalan dalam menarik pihak-pihak yang bertanggung jawab di rantai komando," tegas Fuad kepada Tirto.

Fuad menambahkan, “Dalam penyidikan kasus Paniai, hal itu juga terjadi, mengingat ada pihak yang lebih bertanggung jawab dalam kasus Paniai dibandingkan tersangka IS. Pasalnya IS hanya merupakan komandan lapangan (Perwira Penghubung di Komando Distrik Militer) dan bukan pemegang komando.”

Fuad mengingatkan, unsur utama dugaan pelanggaran HAM berat adalah unsur terstruktur, sistematis dan masif. Unsur pertanggungjawaban komando harus diungkap hingga ke tingkat komando, tetapi belum terlihat terang dalam kasus Paniai.

“Jadi saya melihat negara gagal dan setengah hati dalam mengusut kasus ini," tutur Fuad.

Selain itu, Fuad juga memandang LPSK perlu memberikan pendampingan keluarga korban HAM berat Paniai. Mereka perlu dilindungi sebagai saksi dan korban dalam persidangan.

“Hal ini untuk memberikan keamanan kepada saksi dan korban, mengingat dalam persidangan sebelumnya isu mengenai keamanan saksi dan korban cukup mengemuka, seperti terjadi bentuk-bentuk intimidasi," kata Fuad.

Terakhir, keseriusan negara dalam pengusutan kasus HAM Papua akan menjadi penentu untuk membuka kotak pandora pelanggaran HAM Papua. Ia pun tidak menutup kemungkinan bahwa komitmen pemerintah untuk memproses perkara HAM berat akan terlihat dari sejauh mana upaya pengembangan perkaranya.

Kejanggalan dalam Pengusutan Kasus Paniai

Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar menilai, konstruksi perkara Kejaksaan Agung hanya fokus pada pelaku tunggal berinisial IS dalam kasus Paniai. Padahal, kasus tersebut tidak melibatkan satu orang saja.

“Kejanggalan pertama dari konstruksi dakwaan Kejaksaan Agung jelas pada penetapan hanya pelaku tunggal dalam kasus Paniai 2014 sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi lewat suatu ‘serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’ di mana pasti melibatkan lebih dari satu pelaku,” kata Rivanlee kepada Tirto, Jumat (20/5/2022).

Rivanlee menuturkan, hukum dan standar internasional yang berlaku dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan jelas menegaskan bahwa baik mereka yang memiliki tanggung jawab komando maupun mereka yang melakukan langsung tindak kejahatan harus dibawa ke muka pengadilan.

Kemudian, kata dia, ketidakseriusan Kejaksaan Agung lebih lanjut dengan penetapan tersangka tunggal IS juga bisa terlihat dari konstruksi dugaan pelaku pada laporan penyelidikan Komnas HAM. Dalam laporan Komnas HAM, membagi kejadian Paniai dalam dua peristiwa (7 dan 8 Desember 2014). Lalu, kejadian tersebut diikuti oleh dugaan pelaku yang dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu menjadi “Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan dan Pelaku Pembiaran.”

“Untuk kejadian 7 Desember 2014 terkait penganiayaan yang dilakukan oleh para anggota Timsus Yonif 753/AVT terhadap 11 anak Papua yang berumur antara 10 dan 16 tahun di Pondok Natal, sekitar KM 4 Jalan Poros Madi–Enarotali, Distrik Paniai Timur,” kata Rivanlee.

Ia menilai, ketidakseriusan memicu tidak hanya upaya pengaburan konstruksi hukum dalam kejahatan kemanusiaan Paniai, penetapan IS sebagai tersangka juga dikhawatirkan sebagai upaya menutup kasus sepihak. Ia khawatir, penetapan IS sebagai tersangka hanya sebagai upaya untuk kambing hitam.

“Koalisi juga meragukan keseriusan Kejaksaan Agung dalam mengungkapkan pertanggungjawaban penuh pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada kasus Paniai 2014 bila melihat pengalaman Kejaksaan Agung yang juga melakukan dakwaan dan penuntutan terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM di kasus lain (Kasus Timor-Timur 1999, Kasus Tanjung Priok 1984-1985, dan Kasus Abepura 2000) yang berbeda dengan konstruksi penyelidikan hukum yang dilakukan oleh Komnas HAM," tutur Rivanlee.

Di sisi lain, persidangan digelar di Makassar, bukan di Papua padahal kejadian berlangsung di Papua. Kemudian, penanganan perkara tidak melibatkan korban dan keluarga korban dalam proses hukum yang berjalan, dimulai dengan memberikan informasi terkini yang rutin dan mulai mendengarkan masukan dari korban.

Oleh karena itu, Rivanlee mendorong, pertama agar pemerintah segera membentuk pengadilan HAM di Papua. Ia mengingatkan, pengadilan HAM bisa dibentuk lewat instrumen Keputusan Presiden seperti pengadilan HAM yang ada saat ini. Kedua, KontraS meminta agar korban dan keluarga korban dilibatkan dalam proses hukum yang berjalan mulai dengan memberikan informasi rutin dalam penanganan perkara.

Ketiga, pemerintah disarankan untuk mempersiapkan skema kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi seluruh para korban dan keluarga korban kasus Paniai 2014 dengan memperhatikan masukan langsung dari para korban.

“Keempat, bekerja sama dengan institusi negara lainnya, seperti LPSK dan Komnas HAM untuk menyediakan pemulihan hak (reparasi) mendesak bagi para korban atau keluarga korban yang membutuhkannya, termasuk dukungan psikososial atau pelayanan medis lainnya,” kata Rivanlee.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI PANIAI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz