Menuju konten utama

Propaganda anti-Sains dan Pentingnya Kita Bela Akal

Pseudosains ada di mana-mana, termasuk sebagian orang percaya bumi itu datar dan pemerintahan Trump yang menyangkal perubahan iklim.

Propaganda anti-Sains dan Pentingnya Kita Bela Akal
Avatar windu jusuf

tirto.id - Zakir Naik tidak seorang diri dalam pengerdilan akal budi. Sains abal-abal Naik, yang dihasilkan dari oplosan kasar antara propaganda agama dan pemahaman setengah matang atas apa yang menurutnya sains, merupakan fenomena lintas agama, ideologi, dan politik.

Sebelum Naik, masyarakat Indonesia mengenal Harun Yahya alias Adnan Oktar, eks-seniman Turki yang mendaku ilmuwan dan berpretensi mempreteli teori evolusi Darwin dengan retorika utak-atik gathuk dan teori konspirasi. Naik melakukan hal sama, dengan cara yang lebih canggih ketimbang Oktar: ia mengklaim seluruh perkembangan disiplin biologi berpihak pada dirinya; bahwa hari ini semua biolog terkemuka telah membuang Darwin ke tong sampah sejarah.

Bagi orang awam, Naik kelihatan memiliki otoritas keilmuan adiluhung. Di luar kecacatan nalar di sana-sini, kemampuan bersilat lidah dai asal India itu memberikannya kualitas sesosok manusia unggul yang sukses menggabungkan iptek dan imtak. Sementara bagi para ilmuwan tulen, Naik tak ubahnya penjual minyak ular kalengan di pasar.

Fakta bahwa Zakir Naik dirayakan adalah gejala permukaan dari sesuatu yang lebih besar. Secara umum, jualan buronan kepolisian India untuk membenar-benarkan tafsirannya atas Islam itu dikenal sebagai pseudosains (pseudoscience). Pseudosains, menurut Kamus Merriam-Webster, adalah "sistem teori, asumsi, dan metode yang secara keliru dianggap ilmiah." Definisi ini bisa diperluas menjadi keyakinan atau praktik yang diklaim mengandung kebenaran ilmiah tetapi kenyataannya tidak.

Beberapa contoh pseudosains yang terkenal adalah ide bumi datar, numerologi, Indonesia adalah jelmaan Atlantis, Kreasionisme, hingga astrologi. Gagasan dan praktik-praktik ini berseliweran sehari-hari dalam pembicaraan publik dan diyakini tidak sedikit orang sebagai kebenaran.

Pseudosains tentu berbeda dari ilmu pengetahuan, satu-satunya sumber yang paling bisa diandalkan sebagai pijakan penyusunan kebijakan publik. Pemisahan antara sains dan pseudosains menjadi penting karenanya. Cara mengambil kesimpulan yang salah, dengan asumsi dan bukti-bukti yang tidak bisa dipertanggungwabkan, bisa mengancam keselamatan orang banyak.

Selain para penggiat pseudosains, yang termasuk dalam rombongan penggusur akal budi dari ranah publik adalah kaum anti-sains.

Anda pasti sudah akrab dengan slogan "memilih gubernur seiman" yang didukung dalih "menjalankan perintah agama", bukan? Seandainya argumen seperti ini ditarik sampai ke titik paling ekstrem, seorang bos perusahaan yang kebetulan berbintang Aquarius berhak memecat tiap karyawan berzodiak Virgo dan Taurus lantaran yakin apabila orang-orang yang lahir pada Mei dan September adalah pemalas. Seorang presiden pun sah-sah saja memberlakukan travel ban khusus kepada turis yang lahir pada Sabtu pahing. Jika para pekerja dan pelancong protes, si empunya aturan tinggal jawab: “Apa salahnya? Kami kan hanya menjalankan keyakinan kami.”

Argumen “menjalankan keyakinan” tidak semata milik Indonesia. Kelompok religius ultra-kanan Amerika, misalnya, sudah sejak lama menggunakan dalih berbasis hak yang sama untuk mencampur-adukkan kurikulum sains dengan agama. Ya, persis kurikulum 2013 yang dibatalkan itu.

Bagaimana jika orang-orang seperti ini memegang jabatan publik?

Anda akan mendapatkan pemerintahan Donald Trump yang menunjuk Betsy DeVos—seorang juru bicara privatisasi pendidikan dan Kristen fundamentalis—sebagai menteri pendidikan. Tapi di luar pengangkatan DeVos—yang tidak bisa membedakam mana urusan publik dan bisnis—pos-pos lain di pemerintahan Trump adalah resep kiamat sempurna yang lahir dari bencana akal budi.

Bela Sains, Bela Akal

Namun yang dihadapi para ilmuwan bukan saja Trump serta para fundamentalis bebal di sekelilingnya.

Jauh sebelum tren guru sekolah umum di Indonesia menolak teori evolusi, dua belas tahun silam di Amerika, para pendukung ‘teori’ Intelligent Design hampir saja sukses memasukkan doktrin pseudosains tentang asal-usul kehidupan di bumi ke kurikulum sekolah dasar.

Menurut para penyokong Intelligent Design, kompleksitas pada masing-masing organisme adalah bukti bahwa proses evolusi ditentukan oleh sesosok figur supranatural alih-alih berlangsung menurut seleksi alam. Imajinasi ini merupakan pencanggihan lebih lanjut dari pusparagam gagasan Kreasionisme yang kira-kira mengatakan asal-muasal tiap makhluk hidup di dunia didesain secara khusus berikut fungsinya masing-masing sebagaimana diwahyukan kitab suci.

Pada 2005, para pendukung ID nyaris memenangkan pertarungan di pengadilan yang memutuskan apakah ID berhak diajarkan di sekolah-sekolah, bersanding dengan teori evolusi Darwin. Para anti-Darwin mendapat angin dari Presiden AS saat itu, George W. Bush, yang kendati malu-malu menyatakan dukungan, mengatakan bahwa di samping teori tentang asal-usul kehidupan di alam semesta, Intelligent Design perlu diajarkan.

Toh, para penghayat ID tetap lestari. Para propagandis anti-Darwin berjuang merebut dewan-dewan sekolah dan mengintervensi setiap proses legislasi yang berkaitan dengan materi ajar pendidikan dasar di tingkat pemerintahan negara bagian.

Dan segala pergulatan itu terjadi di seputar Sabuk Injil (Bible Belt), sebuah kawasan yang menempati posisi teratas dalam hal religiusitas, pertumbuhan populasi, angka penderita HIV/AIDS dan penyakit penular seksual, akses ke situs porno, serta kehamilan di luar nikah—sekaligus terendah dalam ketersediaan fasilitas kesehatan, angka melek kesehatan reproduksi, dan penggunaan kondom.

Negara-negara bagian yang termasuk dalam Bible Belt adalah lumbung suara pemilih tradisional Partai Republikan yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok Kristen Evangelis garis keras. Apabila Anda ganti Texas, Kansas, dan Missouri dengan Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat dan menggeser fundamentalis Kristen dengan, katakanlah, Hizbut Tahrir Indonesia, pasti terdengar akrab, kan?

Jika Paman Sam hari ini dipiloti oleh seorang penyangkal perubahan iklim, Indonesia pun—sebelum Zakir Naik digilai anak-anak jurusan MIPA—sempat dipimpin Doktor lulusan IPB yang terbuai dengan kibul-kibul Joko Suprapto, ilmuwan gadungan yang mengaku bisa mengubah air jadi bahan bakar. Sebagian masyarakat kita—salah satunya akibat tingginya biaya kesehatan—juga pernah percaya bahwa batu Ponari mampu menyembuhkan segala macam penyakit.

Di negeri yang sama, jutaan orang percaya bahwa homoseksualitas bisa disembuhkan dengan terapi, DPRD Bengkulu memilih imajinasi ketimbang kenyataan ketika menyatakan penjualan kondom perlu dibatasi untuk mengatasi HIV, dan anggaran sejumlah lembaga riset nasional terkemuka seperti LIPI dan BATAN, dari tahun ke tahun, terus disunat.

Setelah diributkan oleh mitos tolol kebangkitan PKI, demo-demo bernomor cantik, tagar-tagar #BelaAgama, #BelaUlama, dst, bukankah semestinya Aksi #BelaSains dan tagar #TolakKriminalisasiAkal jadi kebutuhan yang makin mendesak tiap tanggal 2 Mei?

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.