Menuju konten utama
Misbar

Promising Young Woman Membongkar Stereotip Pelaku Kekerasan Seksual

Promising Young Woman membantah stereotip bahwa pelaku kekerasan seksual identik dengan orang terpinggirkan, pengangguran, dan berpendidikan rendah.

Promising Young Woman Membongkar Stereotip Pelaku Kekerasan Seksual
Promising Young Woman. wikimediacommons/fair use

tirto.id - Dalam wawancara bersama Time, Tanya Selvaratnam, penulis Assume Nothing: A Story of Intimate Violence (2020), menceritakan pengalamannya berada dalam hubungan abusive dengan laki-laki ternama dan terkenal progresif di New York.

Sang laki-laki, Eric Schneiderman, merupakan pengacara dan pembela gerakan #MeToo yang telah secara sengit berjuang di persidangan melawan pelaku kekerasan seksual Harvey Weinstein. Ia membangun citra sebagai orang yang memperjuangkan keadilan bagi korban kekerasan seksual, ia juga adalah pelaku kekerasan seksual.

Penulis di Time menanyakan apakah Tanya telah menonton Promising Young Woman (2021), sebab ia merasa pengalaman Tanya dekat dengan kisah di film. “Alasan aku menyinggung ini karena aku menganggap film ini ada benarnya. Laki-laki yang berpura-pura baik, feminis, nerdy, tidak berbahaya, tetapi adalah predator, lebih menakutkan daripada laki-laki yang terang-terangan brengsek.”

Promising Young Woman yang disutradarai oleh Emerald Fennell, produser dari serial TV Klling Eve, dibuka dengan adegan seorang perempuan duduk sendirian di sebuah klub malam. Ia terlihat lunglai—terlalu mabuk untuk berdiri dan merespons pembicaraan. Seorang pria kemudian mendekatinya dan menawarkan untuk mengantarkannya pulang.

Awalnya, Promising Young Woman memperlihatkan si laki-laki berbeda dengan kawan-kawan laki-lakinya yang lain. Ia terlihat seperti “laki-laki baik-baik” karena ia enggan merespons candaan seksis kawan-kawannya hingga berusaha untuk menolong perempuan yang sedang mabuk. Ketika mereka mengomentari perempuan ini “minta diapa-apakan” karena membiarkan dirinya mabuk sendirian, ia tak menggubris ucapan mereka dan secara empatik bilang “mau menghampirinya untuk mengecek apakah dirinya baik-baik saja”.

Namun, film yang mendapatkan nominasi Best Motion Picture di Golden Globe Awards ke-78 ini juga memperlihatkan bahwa citra baik seseorang bisa jadi memang sekadar citra. Dalam ruang yang lebih privat, ketika keduanya telah keluar dari bar, si laki-laki malah membawa si perempuan ke rumahnya, mencekokinya alkohol, dan mencoba memerkosanya. Konsep “laki-laki baik” inilah yang Promising Young Woman coba bongkar sepanjang film: “yang terlihat baik terkadang malah jadi yang terburuk”.

Pemerkosa Berbulu Domba

Promising Young Woman mengikuti Cassie (Carey Mulligan) yang pergi dari satu klub malam ke klub malam lainnya untuk mencari “mangsa”. Ia kehilangan sahabatnya, Nina, yang bunuh diri setelah ia diperkosa berkali-kali dalam keadaan mabuk, dan mencoba membalaskan dendam itu kepada semua orang yang berusaha memanfaatkan perempuan yang sedang dalam keadaan serupa.

Sebagaimana kebanyakan film bergenre rape-revenge macam I Spit on Your Grave (1978) hingga Sundel Bolong (1981), Promising Young Woman menyadari bahwa sistem yang membiarkan kekerasan seksual terjadi juga adalah sistem yang menggagalkan korban ketika mencari keadilan. Oleh karena itu, Cassie dalam film ini mencari cara-cara di luar hukum untuk mendapatkan keadilan bagi sahabatnya dan dirinya sendiri.

Ada dua misi yang Cassie kejar dalam film ini. Pertama, ada kesadaran bahwa, meski pemerkosa sahabatnya adalah satu orang, tetapi ada budaya patriarki yang membuat kekerasan seksual dapat terjadi kapan pun, di mana saja, oleh siapa saja. Sebab, perkosaan adalah soal penaklukkan dan ketimpangan kuasa—perempuan yang tak sadarkan diri pun jadi sasaran empuk. Cassie di klub malam secara acak menargetkan siapapun yang berusaha memanfaatkan itu. Setelah berpura-pura berada dalam kondisi mabuk, ia kemudian kembali sober di tengah-tengah aksi si pelaku dan mengonfrontasi mereka—memperlihatkan posisi kuasa yang berbalik karena si pelaku merasa tertangkap basah.

Kedua, ia secara spesifik juga mencoba membalas dendam kepada pemerkosa sahabatnya dan para enabler-nya: teman-teman pemerkosa yang membiarkan peristiwa itu terjadi, orang yang melakukan victim blaming ke sahabatnya, pihak kampus yang menyangkal peristiwa itu, hingga pengacara yang membuat si pelaku kekerasan lolos dari jeratan hukum.

Menariknya, dalam misinya untuk membalaskan dendam, Promising Young Woman konsisten menekankan bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali bukanlah orang asing yang tiba-tiba menyerang di jalan yang sepi, atau orang berpendidikan rendah yang dianggap lebih tidak tahu etika.

Di satu sisi, ada stereotip yang melekatkan pelaku kekerasan seksual pada orang yang berpendidikan rendah, memiliki keluarga disfungsional, hingga orang dengan rekam jejak pekerjaan yang berantakan. Peneliti Jamie L. Small memaparkan dalam esainya di The Conversation bahwa penegak hukum (prosecutor dan defense attorney) cenderung menganggap “hanya tipe laki-laki tertentu” yang lebih berpotensi melakukan kekerasan seksual. Para penegak hukum ini mendefinisikan predator seksual sebagai orang-orang yang “berkebalikan dari diri mereka sendiri”.

Persepsi ini juga dilestarikan dalam berbagai film. Dalam I Spit on Your Grave, misalnya, pelaku kekerasan seksualnya terdiri dari seorang pengelola SPBU, dua orang pengangguran, dan orang dengan disabilitas mental. Sementara itu, dalam Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), pemerkosanya ialah sekumpulan penjahat yang memang berniat untuk merampok rumah Marlina.

Pengabaian terhadap konsep kesepakatan (consent), sayangnya, tak mengenal jenjang sosial dan pendidikan—sebagaimana gerakan #MeToo yang dipicu oleh kasus Harvey Weinstein, kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi di Indonesia, hingga aktivis yang diketahui adalah pelaku pemerkosaan. Ini lagi-lagi selaras dengan konsep perkosaan yang berakar dari penyalahgunaan kekuasaan (power abuse); pelaku kekerasan seksual memegang posisi dominan dan lebih berkuasa dibandingkan korbannya.

Infografik Promising Young Woman

Infografik Promising Young Woman. tirto.id/Rangga

Untuk mengurai pandangan itu, Promising Young Woman secara khusus menyorot kalangan masyarakat yang jauh dari stereotip-stereotip itu. Cassie tinggal di rumah mewah dengan furnitur-furnitur berkilauan. Pemerkosa maupun enabler-nya adalah orang-orang kulit putih yang kelas menengah atas dengan pendidikan dan karier cemerlang. Spesifiknya, kekerasan seksual itu terjadi di dalam kampus kedokteran, dilakukan oleh seorang mahasiswa, dirayakan oleh sesama mahasiswa, dan dilindungi oleh institusi kampus yang meremehkan laporan dari korban.

Film ini juga banyak menyorot ruang-ruang akademis dan profesional yang mestinya jadi tempat yang memberikan keamanan. Promising Young Woman memanfaatkan wide shot untuk memperlihatkan kantor dekan, lengkap dengan flyer bertuliskan, “where all your beginnings begin” dan poster “your future starts here”, selagi Cassie hendak mengonfrontasi dekan perempuan yang dahulu mengabaikan laporan dari sahabatnya.

Ada pula sejumlah adegan di rumah sakit yang lagi-lagi dengan wide shot memperlihatkan interaksi dokter, perawat, dan pasien—memberikan kesan aman dan bersih—tetapi dijungkirbalikkan oleh sosok seorang dokter yang belakangan diketahui ikut membiarkan peristiwa pemerkosaan terjadi pada Nina. Ia sendiri adalah orang yang dikencani Cassie, Ryan (Bo Burnham). Cassie tertipu. Ryan masuk checklist stereotip “cowok baik-baik”: berkulit putih, berpostur tinggi, cenderung kikuk, memiliki selera humor baik, bahkan punya kesan nerdy karena memakai kacamata.

Lantas, film yang juga didominasi oleh palet warna-warna cerah—pink dan biru pastel, gemerlap lampu neon, hingga pilihan baju-baju Cassie yang manis dengan motif bunga-bunga—ini menciptakan suasana ganjil: yang berkilau, ceria, dan bersih justru jadi tempat terbaik menyembunyikan jejak-jejak kekerasan.

Sebagai film bertemakan rape-revenge, Promising Young Woman tak mengakhiri kisahnya dengan muluk-muluk. Tak seperti kebanyakan film bergenre serupa, protagonis dalam film ini tak mendapatkan kepuasan dari membalaskan dendam, sebab realitasnya memang tidak semudah itu.

Cassie bisa saja berhasil memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual yang ia temui di klub malamhingga membuat si pemerkosa Nina ditangkap polisi. Tetapi, lagi-lagi karena ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban membuat korban lebih mudah dirugikan, ada ongkos yang harus dibayar untuk itu.

Pada titik itu Promising Young Woman mengambil cara yang tepat untuk mengakhiri cerita. Dunia yang dihadapi Cassie memang tak mengizinkan kita untuk terlena dengan happy ending.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Permata Adinda

tirto.id - Film
Penulis: Permata Adinda
Editor: Windu Jusuf