Menuju konten utama

Program Reforma Agraria Dinilai Gagal Atasi Konflik Lahan

Pembangunan yang didasarkan pada paradigma pertumbuhan ekonomi hanya akan melahirkan krisis berkepanjangan. Dan itu yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Jk selama tiga tahun terakhir.

Program Reforma Agraria Dinilai Gagal Atasi Konflik Lahan
Warga membawa poster saat berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi tengah di Palu, Rabu (13/9/2017). ANTARA FOTO/Basri Marzuki

tirto.id - Pembangunan yang didasarkan pada paradigma pertumbuhan ekonomi hanya akan melahirkan krisis berkepanjangan. Sebab paradigma tersebut tidak peduli terhadap hal-hal riil di masyarakat seperti ini tidak mengindahkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).

Demikian kesimpulan Khalisah Kalid, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terhadap kinerja pemerintah di bidang lingkungan dalam diskusi publik dengan tema "Evaluasi Kinerja HAM 3 Tahun Pemerintahan Jokowi" yang diselenggarakan Amnesty International Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2017).

Penilaian tersebut didasarkan pada empat variabel, yaitu politik-ekonomi dan pembangunan, konsistensi kebijakan dan perundang-undangan, penguasaan sumber daya alam, serta penegakan demokrasi dalam penyelesaian kasus lingkungan.

Contoh kasus pembangunan yang berorientasi semata pada pertumbuhan ekonomi adalah Papua. Alam Papua dieksploitasi sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan nasional. Akan tetapi, yang diperoleh masyarakat Papua sangat timpang dengan apa yang diambil dari Bumi Cenderawasih. Kebijakan infrastruktur di sana, juga di tempat-tempat lain dengan dalil pertumbuhan, juga patut dikritisi.

"Pembangunan infrastruktur berskala besar itu buat siapa? Untuk rakyat atau untuk kepentingan industri dan korporasi?" ujar Khalisah kepada Tirto.

Baca juga: Darmin: Tiga Tahun Pemerintah Jokowi, Ekonomi Membaik

Apa yang terjadi di Papua juga terjadi di banyak wilayah lain, misalnya saja Kendeng yang masyarakatnya menolak pendirian pabrik semen. Masyarakat di sana berusaha mempertahankan tanahnya dengan berbagai cara, litigasi (jalur hukum) dan non-litigasi (non-hukum), tapi toh operasi pabrik semen tetap lanjut karena izin operasional telah terbit.

Data yang dihimpun Walhi menunjukkan bahwa sepanjang tahun lalu, selain Kendeng, ada 500an titik konflik lagi yang berkaitan dengan persoalan agraria. Khalisah mengatakan reforma agraria sebagai salah satu program Jokowi gagal mengatasi konflik tersebut.

"Ada yang tidak nyambung dari reforma agraria pemerintahan Jokowi," kata Khalisah.

Implikasi turunan dari belum berhasilnya reforma agraria ini adalah masih timpangnya penguasaan lahan. Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa 71 persen lahan di Indonesia dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen oleh korporasi perkebunan skala besar dan 7 persen konglomerat. Sementara rata-rata petani di pedesaan punya lahan tak lebih dari 0,5 hektar.

Baca juga: KPA: 71% Tanah di lndonesia Dikuasai Korporasi Kehutanan

Khalisah mengatakan, ke depan tidak bisa lagi pembangunan dilihat dari kaca mata pertumbuhan saja. Pembangunan yang ideal, katanya, dilakukan bertahap dan dimulai dari pinggir. "Terpenting ialah landasan serta perspektif pembangunan bukan mengejar pertumbuhan, melainkan pemberdayaan dan pemerataan, yang nantinya dapat mengangkat nilai kehidupan masyarakat," tambahnya.

Jokowi masih punya waktu dua tahun sebelum masa jabatannya habis di 2019. Menurut Walhi, masih ada harapan untuk memperbaiki situasi saat ini. Jokowi dapat kembali ke Nawa Cita yang, menurut Khalisah, sebetulnya punya standing point yang bagus dalam "melihat" pembangunan. Dalam Nawa Cita, misalnya, pembangunan memang seharusnya dari "pinggir".

"Walaupun buram akan pemenuhan HAM, terutama di bidang lingkungan, setidaknya kita harus punya harapan dan terus mendorong Jokowi agar tak abai pada program-programnya," ujar Khalisah.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN PEMERINTAH atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Ekonomi
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: Rio Apinino