Menuju konten utama

Profil Shinta Ratri Pendiri Ponpes Waria yang Meninggal Dunia

Profil Shinta Ratri, transpuan pendiri ponpes waria yang meninggal pada usia 60 tahun.

Profil Shinta Ratri Pendiri Ponpes Waria yang Meninggal Dunia
Shinta Ratri adalah pemilik Pesantren Al-Fatah, pesantren khusus buat kelompok transgender untuk belajar agama, di Yogyakarta. Sebagai seorang transpuan dan Muslim, ia percaya bahwa penggunaan ruqyah untuk "menyembuhkan" seksualitas atau identitas gender seseorang adalah sebuah kesalahpahaman. | Emily H.Johnson untuk Round Earth Media/IWMF

tirto.id - Pemimpin Ponpes Waria Shinta Ratri meninggal dunia pada 1 Februari 2023. Shinta akan disemayamkan di Pondok pesantren Al Fatah, pondok yang dia bangun, sekaligus pimpim sejak 2008.

Prosesi pemakanan pada pukul 14.00 WIB di Kota Gede, Yogyakarta. Shinta Ratri meninggal di usia 60 tahun, meninggalkan teman-teman satu perjuangannya di pondok pesantren Al-Fatah.

Banyak yang berduka atas meninggalnya Shinta. Salah satunya adalah, dari Amar Al Fikar seorang transpria dalam akun Twitternya.

“Shinta Ratri, aktivis hak asasi manusia. Sekaligus pelopor waria Muslim di Indonesia di Yogyakarta meninggal dunia hari ini. Semoga jiwanya diberkati, dan perjuangannya dilanjutkan oleh orang lain,” tulisnya.

Profil Shinta Ratri

Shinta Ratri merupakan transpuan lulusan Biologi Universitas Gadjah Mada. Semasa kecil, Shinta sudah merasakan bahwa dirinya bukan laki-laki.

Shinta sudah sering bermain dengan perempuan dan bersikap feminim sejak duduk di bangku SD. Hanya saja, dirinya belum bisa mengidentifikasi bahwa jiwanya adalah perempuan.

Transpuan kelahiran 15 Oktober 1962 itu, saat memasuki SMP, mulai memberanikan diri bertransisi menjadi perempuan.

Mulanya, ia diam-diam merias diri di kamar. Kemudian, di masa remajanya itu, Shinta jatuh hati kepada laki-laki. Teman satu sekolahnya di SMP.

Perubahan dalam diri Shinta mulai diketahui oleh keluarganya. Akhirnya Shinta memberanikan diri untuk menceritakan, bahwa dirinya mengidentifikasi diri sebagai perempuan.

Meski tidak langsung diterima, tapi seiring berjalannya waktu, keluarga Shinta mulai menerima atas pilihan hidupnya.

Shinta yang tumbuh di Yogyakarta, sedari kecil sampai meninggalnya, telah mengabdikan untuk keadilan, kesejahteraan dan hak-hak sesama transpuan.

Hal itu dimulai pada 2006. Shinta yang ingin mendoakan untuk temannya yang meninggal dunia, karena menjadi korban gempa di Jogja.

Adalah Kyai Hamroli yang bersedia untuk mendoakan transpuan yang menjadi korban gempa di Yogyakarta. Dari pertemuan itu, kemudian berlanjut melakukan rutinitas keagamaan: mengaji, mengajarkan sholat dan lain sebagainya.

Pada tahun 2008, Shinta Ratri mendirikan pondok pesantren Al Fatah, berkat dukungan dari Kiai Hamroli dan teman transpuannya Shinta, Mariana.

Aktivitas di pesantren seperti pada umumnya. Mengaji, mengulas tafsir Alquran, juga sholat berjamaah yang diimami oleh berbagai relawan.

Namun, meski aktivitas di pesantren begitu positif. Pada tahun 2016, Pondok Pesantren Al fatah dipersekusi oleh Front Jihad Islam (FJI).

Kelompok FJI menuding, bahwa kegiatan dalam pesantren yang dipimpin oleh Shinta merupakan aliran yang sesat, serta menyuruh untuk bertobat dan kembali menjadi laki-laki.

Persekusi itu membuat berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), aktivis sosial, Komnas Perempuan, Komnas HAM sampai DPR-RI bersolidaritas, membela Shinta dan melawan FJI.

Pondok Pesantren yang diampu oleh Shinta masih aktif sampai hari ini, santrinya berjumlah 42 orang. Pesantren tersebut menjadi ruang aman serta untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan para transpuan.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Sulthoni

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Sulthoni
Penulis: Sulthoni
Editor: Dipna Videlia Putsanra