Menuju konten utama

Profil Rojava, Wilayah Otonom yang Lahir di Tengah Perang Suriah

Bagaimana wilayah otonom bernama Rojava dan praktik demokrasi konfederalisme bisa lahir di tengah perang Suriah dan dominasi ISIS?

Profil Rojava, Wilayah Otonom yang Lahir di Tengah Perang Suriah
Para perempuan Yazidi yang bergabung dengan pasukan Kurdi Peshmerga berjalan dengan senjata mereka di Shingal, Irak, Rabu (24/8). ANTARA FOTO/REUTERS/Ari Jalal/cfo/16

tirto.id - Ada sebuah “laboratorium demokrasi” di Timur Tengah bernama Rojava. Ia adalah sebuah wilayah di Timur Tengah yang kini menjadi tempat praktik prinsip-prinsip demokrasi konfederalisme. Maka itu, prinsip demokrasi langsung, kesetaraan gender, hingga sustainabilitas menjadi fondasi pemerintahan otonom di wilayah Rojava yang mencakup 3 kanton di bagian utara Suriah (Kanton Afrin, Kanton Jazira, dan Kanton Kobane) serta Region Shahba.

Kemunculan pemerintahan otonom di wilayah Rojava tak lepas dari carut marut konflik bersenjata berkepanjangan di Suriah dan Irak, sekaligus aksi kekerasan yang dilancarkan ISIS kepada orang-orang Kurdi di negara itu.

Kurdi merupakan sebuah bangsa tanpa negara yang masyarakatnya tersebar di empat negara Timur Tengah, yakni Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Terpisah oleh garis-garis perbatasan negara, orang-orang Kurdi memiliki pengalaman sejarah yang berbeda sekalipun mereka masih merasa sebagai bangsa yang senasib.

Rojava dan Pengaruh Abdullah Ocalan

Sebelum ISIS lahir serta menebar teror di wilayah Suriah dan Irak, komunitas Kurdi telah mengalami pengalaman panjang menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Di Turki, sebagai misal, komunitas Kurdi sejak lama menjadi sasaran penindasan dan diskriminasi. Bahkan, kata “Kurdi” dan “Kurdistan” disensor oleh pemerintah Turki.

Kenyataan tersebut menjadi salah satu pendorong terbentuknya Partai Pekerja Kurdistan (PKK) pada tahun 1974, dengan sang ideolog Abdullah Ocalan. Pada awal kemunculannya, PKK bergerak dalam nafas Marxisme-Leninisme, dan mendukung terbentuknya sebuah negara Kurdistan melalui revolusi bersenjata.

PKK merupakan sebuah organisasi yang kecil pada mulanya, tapi ia menjadi sebuah kekuatan politik yang besar di kalangan Kurdi. Pemerintah Turki pun melabeli kelompok ini sebagai teroris—sebagaimana dilakukan oleh negara-negara Barat—dan berhasil menangkap Abdullah Ocalan.

Ocalan lalu divonis dengan hukuman bui seumur hidup oleh pengadilan Turki. Selama mendekam di penjara itulah pandangan ideologi Ocalan bergeser. Dia mulai mempertimbangkan gagasan konfederalisme demokratis. Gagasan Ocalan terinspirasi dari pemikiran seorang sosialis libertarian asal AS, Murray Bookchin.

Konfederalisme demokratis menekankan pada otonomi wilayah-wilayah yang terlepas dari kekuasaan sentralistik negara. Ide ini didasari pada bentuk politik partisipatif yang diwarnai nilai-nilai feminisme dan environmentalisme.

Pemikiran Ocalan menginspirasi para generasi muda Kurdi penerus PKK. Maka, di wilayah utara dan timur Suriah, gagasan Ocalan dipraktikkan melalui pembentukan Autonomous Administration of North and East Syria (AANES) atau yang saat ini dikenal sebagai Rojava.

Demokrasi yang Lahir di Tengah Konflik Suriah

Pada musim panas 2012, Persatuan Demokratik Kurdi (PYD), sebuah partai Kurdi-Suriah yang memiliki kedekatan dengan PKK, secara cepat menguasai tiga wilayah Kurdi di utara Suriah melalui dukungan kekuatan milisinya (Unit Perlindungan Rakyat/YPG).

Kemudian, pada tahun 2014, mereka mengumumkan terbentuknya pemerintahan otonom demokratis di wilayah Jazirah. Leezenberg (2016) berpendapat, transisi kekuasaan secara damai di wilayah-wilayah Rojava kemungkinan bisa terjadi karena ada sebuah kesepakatan antara pemerintah Suriah dan PYD.

Pemerintah Suriah saat itu sedang menghadapi perlawanan bersenjata dari kelompok oposisi pemberontak yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad. Dengan kapasitas bertarung yang efektif, YPG terjun ke dalam konflik bersenjata ini melawan para pemberontak sekaligus bala tentara ISIS.

Keterlibatan YPG ikut memerangi kelompok pemberontak dan ISIS merupakan fakta yang mengejutkan mengingat hubungan Kurdi dengan pemerintah Suriah berada dalam ketegangan pada saat itu.

Selama kurun 2014 hingga 2015, pasukan YPG bersama dengan milisi-milisi PKK dan Tentara Pembebasan Suriah berhasil menggagalkan banyak serangan ISIS. Mereka pun sukses mendesak ISIS di beberapa kawasan.

Keberhasilan tersebut menunjukkan efektivitas tentara Kurdi yang segera menarik perhatian media internasional dan mendorong AS mendekati YPG. Di sisi lain, kenaikan pamor YPG mencemaskan bagi pemerintah Turki.

Sebelumnya, bersama dengan sejumlah kelompok politik lain, PYD membentuk koalisi Gerakan untuk Masyarakat Demokratik (TEV-DEM) yang bersifat inklusif, multietnik, dan multikultural pada tahun 2013.

Koalisi ini kemudian menyusun konstitusi yang menjadi dasar otonomi wilayah Kurdi di Suriah. Setelah referendum dilaksanakan, konstitusi tersebut segera diterima di 3 wilayah TEV-DEM (Afrin, Jazira, dan Efrat) pada 2014.

Konstitusi ini bernama “Charter of the Social Contract.” Selain memuat konsep dasar tata kelola pemerintahan di Rojava, konstitusi tersebut mengatur pemenuhan hak asasi manusia, hingga penerapan kesetaraan gender (pasal 28).

Pasal 8 dari Konstitusi ini berbunyi: “Setiap Wilayah (Kanton) di dalam kawasan otonom didirikan pada prinsip dasar swapemerintah (self-government). Setiap Wilayah dapat memilih perwakilan serta badan perwakilan mereka secara bebas, dan dapat memperjuangkan hak-hak mereka selama tidak bertentangan dengan pasal-pasal Konstitusi.

Sebagai konsekuensinya, wilayah-wilayah yang ada di Rojava terkelola tidak melalui pemerintahan negara (state), melainkan oleh unit-unit politik komunitas.

Model tata kelola masyarakat ini mengikuti jejak pemikiran Ocalan dan Bookchin mengenai bagaimana masyarakat dikelola secara demokratis.

"Rojava bukan sebuah negara Kurdi ataupun administrasi Kurdi," tulis Evangelos Aretaios dalam satu laporannya di laman Open Democracy.

“Ia merupakan pemerintahan Kurdistan Suriah yang terdiri dari berbagai etnis dan agama yang memiliki peran di dalam pelaksanaan demokrasi dan pemerintahan."

Meski telah berhasil menjalankan sebuah tata kelola pemerintahan alternatif dari negara-bangsa selama beberapa tahun terakhir, dan sukses turut melumpuhkan ISIS, Rojava belum bebas dari ancaman serangan. Apalagi, hingga kini, belum ada negara yang mengakui otonomi di Rojava.

Setelah AS—yang menjadi sekutu Rojava dalam memerangi ISIS—menarik diri dari Timur Tengah, Rojava berada dalam bahaya ancaman serbuan militer Turki. Sejarah konflik Turki vs PKK, dan afiliasi PKK dengan Kurdi Rojava, memungkinkan rezim Erdogan menyasar Rojava ketika menyerang wilayah Suriah Utara.

Salah satu kasus paling baru terlihat pada 17 Agustus 2021, saat Turki melakukan pengeboman di wilayah Rojava yang mengakibatkan kematian satu warga sipil dan membuat lima lainnya terluka.

Turki adalah salah satu anggota The North Atlantic Treaty Organization (NATO). Keanggotaan Turki di dalam NATO tentu membuat AS harus berpikir 2 kali jika ingin mencampuri kepentingan Turki atas Rojava. Selama Turki masih memandang kelompok Kurdi sebagai pemberontak, ancaman serbuan militer akan terus mengintai Rojava.

Baca juga artikel terkait SURIAH atau tulisan lainnya dari Stanislaus Axel Paskalis

tirto.id - Politik
Kontributor: Stanislaus Axel Paskalis
Penulis: Stanislaus Axel Paskalis
Editor: Addi M Idhom