Menuju konten utama

Profil Muhadjir Effendy, Menko PMK yang Pernah Gagal Jadi Guru

Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) 2019-2024 dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju

Profil Muhadjir Effendy, Menko PMK yang Pernah Gagal Jadi Guru
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersiap mengikuti foto bersama seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Muhadjir Effendy resmi ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) 2019-2024 dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju di beranda Istana Merdeka Jakarta, Rabu (23/10/2019).

Ia menjabat sebagai Menko PMK menggantikan Puan Maharani yang kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sejak pertengahan 2016, menggantikan Mendikbud sebelumnya Anies Baswedan.

Isu mengenai Muhadjir Effendy ditunjuk kembali sebagai menteri, sebenarnya sudah beredar sejak Jumat (18/9/2019) sore. Saat itu, Muhadjir Effendy dipanggil oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Beberapa waktu lalu, beredar isu kader Muhammadiyah itu ditunjuk kembali menjadi menteri. Namun, kabar kalau posisinya sebagai Menko PMK baru tersiar pada Sabtu siang, saat konpers media di bilangan Kuningan, Jakarta.

Selama menjabat sebagai Mendikbud, Muhadjir berani mengambil kebijakan yang tidak populer dan menuai kontroversi banyak kalangan.

Meskipun bisa dikatakan, kebijakan yang diambilnya merupakan solusi dari permasalahan pendidikan. Contohnya, sistem zonasi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan. Awalnya, dimulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kemudian merambat ke distribusi guru dan peningkatan kompetensi guru.

Saat itu, meski dihajar habis-habisan oleh banyak pihak terkait PPDB berbasis zonasi, tapi nyatanya Muhadjir tetap lanjut. Ia berhasil menghilangkan stigma sekolah favorit dan nonfavorit.

Sekolah favorit yang selama diisi terkesan eksklusif karena diisi siswa pintar dan siswa kaya, sekarang berubah dan menerima siswa dari golongan manapun asalkan rumahnya dekat dengan sekolah.

Banyak yang terkena imbasnya, termasuk dua keponakannya di Sidoarjo yang gagal masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri. Namun, nyatanya Muhadjir tak bergeming.

Sistem zonasi tersebut kemudian berlanjut hingga digunakan untuk menyelesaikan masalah pendistribusian guru yang tak merata. Selama ini, masalah ini tak pernah bisa selesai karena guru enggan dipindah ke daerah terpencil, walau dengan iming-iming gaji besar sekalipun. Alasannya banyak, salah satunya karena keluarga.

Namun dengan zonasi, mau tidak mau guru pindah dan jaraknya pun tak jauh dari sekolah yang lama, karena masih dalam satu zonasi. Pun untuk kompetensi guru bisa terselesaikan dengan zonasi pula.

Para guru mendapatkan pelatihan secara berkelompok melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran. Para guru tersebut saling berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kompetensinya.

Di mata para wartawan, Muhadjir merupakan sosok yang benar-benar paham akan dunia pendidikan. Permasalahan guru honorer yang terkatung-katung selama beberapa rezim kementerian bisa terselesaikan, dengan menyediakan kuota guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Kesejahteraan guru honorer pun, bisa terselesaikan dengan solusi gaji guru honorer dari Dana Alokasi Umum (DAU). Hal itu bisa terlaksana, jika Kementerian Keuangan menyetujuinya pada tahun ini.

Belum lagi idenya mengenai pendidikan penguatan karakter yang kemudian dikuatkan menjadi Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kemudian Gala Siswa Indonesia, yang berhasil mendeteksi siswa yang memiliki bakat di bidang sepak bola.

Muhadjir Gagal Jadi Guru

Muhadjir Effendy lahir di Madiun pada 29 Juli 1956. Suami dari Suryan Widati itu menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Malang (sekarang Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang).

Lalumeneruskan pendidikan sarjana pendidikan sosial di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Selanjutnya, gelar magister dari pascasarjana di Universitas Gadjah Mada dengan gelar magister administrasi publik. Ia menyelesaikan program doktoral ilmu sosial Universitas Airlangga, Surabaya.

Di beberapa kesempatan, ia mengaku sebagai regenerasi yang gagal, karena tidak menjadi guru seperti ayahnya. Ayahnya merupakan guru SD.

Muhadjir sendiri ingin menjadi guru SMP mengalahkan ayahnya. Ia ikut tes, namun tidak diterima karena yang diterima adalah peserta dengan peringkat kedua, yang dipilih karena pernah magang di sekolah itu. Dikarenakan hal itu, ia sempat merasa kecewa dan tidak terima dengan kenyataan itu.

Usai batal menjadi guru, karier Muhadjir justru meningkat saat menjadi dosen. Ia menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Malang sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya menjadi Mendikbud dan saat ini Menko PMK.

Saat menjabat Mendikbud, sejumlah pernyataannya yang menjadi kontroversial akibat dikutip sepotong-sepotong seperti full day school, guru honorer masuk surga, hingga guru yang kurang berwibawa.

Akibat pernyataan Muhadjir yang kontroversial itu, Presiden Jokowi langsung menegurnya tepat sehari setelah dilantik, karena usulan full day school yang ditentang banyak pihak.

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Politik
Penulis: Maya Saputri
Editor: Abdul Aziz