Menuju konten utama

Profil KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum MUI Pengganti Maruf Amin

KH Miftachul Akhyar terpilih menjadi Ketua Umum MUI periode 2020-2025 menggantikan posisi yang semula dipegang Wapres Maruf Amin.

Profil KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum MUI Pengganti Maruf Amin
KH Miftachul Akhyar. Antara Foto/puspa perwitasari.

tirto.id - Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 yang digelar pada 25-27 November 2020 telah menetapkan KH Miftachul Akhyar sebagai ketua umum menggantikan KH Ma'ruf Amin. Hari ini, Jumat, 27 November 2020, Kiai Miftachul resmi menjadi Ketua MUI Pusat periode 2020-2025.

Miftachul yang saat ini juga menjabat posisi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan memimpin MUI selama lima tahun ke depan, dengan didampingi Dr. Amirsyah Tambunan sebagai Sekretaris Jenderal. Nama terakhir merupakan tokoh intelektual Muhammadiyah yang mengganti Anwar Abbas di posisi Sekjen MUI.

Mengutip keterangan di laman resmi MUI, penetapan Miftachul sebagai Ketua Umum MUI adalah hasil keputusan yang disepakati secara mufakat dalam rapat tertutup Tim Formatur Munas MUI ke-10. Terdapat 17 orang dalam Tim Formatur yang dipimpin Wakil Presiden Ma'ruf Amin tersebut.

Ma'ruf mengatakan proses rapat Tim Formatur pada Jumat dini hari berjalan dengan lancar dalam suasana sangat cair. "Tidak alot, sehingga alhamdulillah pertemuaan menghasilkan keputusan Dewan Pengurus Harian dan Dewan Pertimbangan. Hasilnya tidak boleh diganggu gugat," kata dia.

Ma'ruf pun berharap MUI ke depan tetap bisa menjadi contoh bagi semua organisasi masyarakat (ormas) keislaman yang dinaunginya, dengan tetap menjaga nilai ittifaqat (kesepakatan mufakat).

"MUI harus menjadi kendaraan untuk semua pihak. Itulah yang saya sebut MUI itu ibarat kereta api. Ada relnya, ada tujuannya, ada penumpangnya. Karena itu kita tidak bisa membawa MUI semau kita," terang Ma'ruf seperti dilansir MUI.

Pendapat Miftachul Akhyar soal Tugas MUI

Saat berbicara untuk kali pertama sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dalam Munas MUI X, KH Miftachul Akhyar mengaku dirinya memikul amanah yang besar dan beban berat. Dia pun menegaskan menjadi Ketua Umum MUI bukan berarti lebih baik dari figur lain di organisasi tersebut.

Miftachul juga menyatakan masyarakat kini sedang menanti kiprah kepengurusan baru MUI periode 2020-2025 dalam menghadapi berbagai tantangan keumatan. "Umat sedang menunggu apa langkah kita," kata Miftachul di depan para peserta Munas MUI ke-10, di Jakarta, pada Jumat (27/11/2020), seperti dilansir Antara.

Menurut dia, salah satu tantangan umat Islam yang harus disikapi oleh MUI adalah era kemajuan teknologi yang disertai dengan kemunculan banyak ketidakpastian. Miftachul berpendapat, banyaknya "ketidakpastian" membuat umat berada di tengah kegamangan tujuan hidup.

"Hari itu sudah diramalkan Rasulullah, kiamat belum diselenggarakan sebagai penutup kehidupan dunia, sampai suatu massa seseorang tidak tahu motivasi apa kehidupannya, apa penggeraknya, apa penyebabnya," kata dia.

"Dia hanya ikut dan terpengaruh situasi dan kondisi. [Seperti] Seseorang yang membunuh tetapi dia tidak tahu motivasinya, yang terbunuh juga tidak tahu sebabnya dia dibunuh," Miftachul menambahkan.

Dia lantas menuturkan bahwa Rasulullah SAW telah menyebut di zaman ketidakpastian itu terjadi gonjang-ganjing dengan menipisnya batas kebenaran dan kebatilan, tidak ada upaya masyarakat mengklarifikasi isu, fitnah malah dianggap sunah, berita bohong bertebaran, dan lain sebagainya.

"Maka sangat berat tugas ulama," ujar Miftachul.

Profil Miftachul Akhyar dan Perjalanan Hidupnya

Di kalangan para Nahdliyin, nama Kiai Miftachul tidak asing lagi, terutama bagi masyarakat NU di Jawa Timur. Lahir pada tahun 1953 sebagai anak ke-9 dari 13 bersaudara, putra KH Abdul Ghoni, pendiri Pesantren Tahsinul Akhlak, Rangkah, Surabaya, tersebut lama mengenyam pendidikan di pesantren.

Berdasarkan catatan pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU (LTNNU) Jawa Timur, Ahmad Karomi yang dilansir laman NU Online, Miftachul pernah menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren Sidogiri Pasuruan, dan Pesantren Lasem (Jawa Tengah).

Miftachul pun pernah mengikuti Majelis Ta'lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al-Maliki di Malang, ketika ulama kharismatik asal Mekkah, Arab Saudi tersebut masih mengajar di Indonesia.

Setelah lama mendalami ilmu agama, Miftachul pun mengikuti jejak ayahnya dengan mendirikan Pesantren Miftachus Sunnah di kawasan Tambak Sari, Surabaya pada tahun 1982.

Semula, dia hanya menggelar pengajian di rumahnya untuk masyarakat sekitar. Setelah banyak santri datang dari berbagai daerah, ia kemudian mendirikan Pesantren Miftachus Sunnah, demikian dikutip dari laman PWNU Jatim.

Keputusan Kiai Miftachul untuk mendirikan pesantren di kediaman peninggalan kakeknya itu juga didasari alasan khusus. Tempat pesantren itu berdiri, yakni kampung Kedung Tarukan, sebelumnya lama dikenal sebagai kawasan yang tidak ramah dengan dakwah ulama. Oleh karena itu, ia ingin mengubah pandangan masyarakat di kawasan itu.

Di Nahdlatul Ulama, Miftachul juga menjalani karier organisasi cukup panjang. Ia pun memegang sejumlah posisi penting di Ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut, sejak dari tingkat pengurus cabang.

Miftachul tercatat pernah menduduki posisi Rais Syuriyah PCNU Surabaya (2000-2005), Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur (2007-2013 dan 2013-2018), dan Wakil Rais Aam PBNU (2015-2020).

Posisi yang terakhir hanya ditempatinya sampai September 2018 karena dia ditunjuk menjadi Rais Aam PBNU, juga untuk menggantikan Maruf Amin yang saat itu mundur setelah resmi menjadi kontestan Pilpres 2019 sebagai pasangan Presiden Joko Widodo.

Setahun sebelumnya, nama Miftachul sempat menjadi sorotan dalam pemberitaan media karena ia menjadi salah satu ahli yang bersaksi dalam sidang kasus penistaan agama yang membelit mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Dalam persidangan pada 21 Februari 2017, Miftachul menyatakan Ahok ceroboh saat mengutip isi Al-quran surat Almaidah ayat 51 sehingga menimbulkan polemik yang tidak perlu di masyarakat.

"Jika Ahok tidak menyinggung Surat Al Maidah, situasi ibu kota akan kondusif. Seharusnya beliau tidak berbicara demikian, saya rasa ceroboh," ujar Miftachul di depan majelis hakim.

Di luar kegiatannya sebagai pengurus NU dan pengasuh pesantren, Miftachul pernah menjalani profesi sebagai pedagang batik. Saat masih muda, ia berjualan kain batik dengan berkeliling ke banyak daerah, mulai dari Surabaya, Lasem, Pekalongan, hingga Banyuwangi.

Dalam sebuah wawancara yang disiarkan NU Online, Miftachul mengatakan kegiatannya berjualan batik tak sampai mencapai skala besar. "Hanya jualan batik dengan bungkelan," kata dia.

Bungkelan, yang dimaksud oleh Miftachul adalah buntalan dari kain lebar yang digunakan untuk membawa baju dan kain batik jualannya. Dengan begitu, ia dengan mudah membawa dagangannya ke sejumlah tempat.

Dia mengatakan aktivitas berdagang batik dilakoninya pada tahun 1977 hingga empat tahun kemudian. Berdagang menjadi pilihan Miftachul mencari nafkah karena setelah menikah di usia muda, perekonomian keluarganya belum mapan.

"Saya menikah pada usia sangat muda. Kebetulan suami kakak istri saya adalah saudagar batik dari Pekalongan," kata Miftachul.

Baca juga artikel terkait MUI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH