Menuju konten utama

Profil Banda Neira; Sejarah, Wisata, Letak dan Keindahan Alamnya

Banda Neira memiliki sejarah panjang sebagai kota perdagangan. Kota dengan keindahan alam ini melahirkan banyak peninggalan wisata sejarah.

Profil Banda Neira; Sejarah, Wisata, Letak dan Keindahan Alamnya
Banda Neira. foto/IStokcphoto

tirto.id - Pulau Banda Neira atau Banda Naira dikenal luas di tanah air sebab pada masa penjajahan Belanda dahulu, lokasi ini menjadi tempat pembuangan para tokoh pejuang kemerdekaan tanah air seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Cipto Mangunkusumo.

Pulau Banda Neira, Pulau Banda Neira adalah satu di antara beberapa pulau yang ada di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Di Kepulauan Banda, ada 3 pulau besar yakni Banda Besar, Neira, dan Pulau Gunung Api. Serta 7 pulau kecil yakni Pulau Ay, Rhun, Hatta, Karaka, Sjahril, Nailaka, dan Pulau Batu Kapal.

Pulau Banda Neira pada masa VOC dahulu paling terkenal karena menjadi pusat dagang rempah-rempah berkualitas tinggi seperti pala dan fuli (bunga pala).

Sumber alam yang melimpah di Kepulauan Banda tersebut menarik minat penjajah untuk datang, hingga menjadikan Banda Neira pusat perdagangan pala sampai pertengahan abad ke-19. VOC pun membangun kota modern di sana, dengan terlebih dulu membunuh penduduk asli sekira tahun 1621.

Selain membantai penduduk Banda pemilik lahan dan kebun pala, VOC juga membawa sebagian besar pria Banda lainnya ke Batavia dan dijadikan sebagai budak pekerja.

Wisata Sejarah Banda Neira

Sejarah perdagangan di masa lalu tersebut membuat Banda Neira kini memiliki banyak objek wisata sejarah dan museum yang ramai dikunjungi turis baik dalam negeri maupun mancanegara. Misalnya benteng peninggalan VOC hingga rumah tempat dibuangnya Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, yang kini menjadi museum.

Peningggalan VOC, yang dibangun tahun 1611 oleh Gubernur Jenderal Pieter Bot, letaknya adalah di atas bukit yang berfungsi mengawasi masuk keluarnya kapal ke Banda Neira.

Lalu Benteng Nassau yang awalnya dibangun Portugis di tepi pantai sebagai pertahanan, kemudian oleh Belanda pada masa JP Coen tahun 1622 diperbesar. Kedua benteng ini pun ramai dengan wisatawan yang ingin menjelajah sejarah perjuangan kemerdekaan di sana.

Tidak hanya objek wisata sejarah, tak kalah menarik adalah Istana Mini Neira yang dibangun pada 1622 silam, berada di Desa Dwiwarna. Bentuk istana ini menyerupai Istana Bogor namun dengan versi mini. Belanda membangun istana itu untuk kantor administrasi dan rumah Gubernur serta residennya.

Ada pula Rumah Budaya Banda Neira yang jadi museum tempat berbagai peninggalan Belanda diletakkan. Terdapat sejumlah senjata perang seperti meriam, senapan kuno, juga beberapa lukisan dan benda bersejarah lainnya.

WISATA BAHARI BANDA NEIRA

Beberapa turis melintas dengan speed boat dekat kapal pinisi wisata MSV Silolona, yang tengah berlabuh di perairan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, (18/10/2017). ANTARA FOTO/Embong Salampessy

Wisata Alam Banda Neira

Objek wisata Cagar Alam Laut (CAL) Banda yang berada di Laut Banda juga sangat terkenal dengan keindahannya. CAL Banda sebelumnya dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya ALam (BKSDA), Kementerian Kehutanan. Namun kini CAL Banda telah dialihkan pengelolaannya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2009 dan namanya diganti menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda.

Untuk menikmati TWP Laut Banda, tersedia sarana menyelam (diving), snorkeling, perahu kayang, juga atraksi melihat lumba-lumba dan paus. Ada pula atraksi budaya Manggurebe Belang (Lomba perahu belang atau balap perahu) yang jadi agenda kegiatan wisata tahunan di Banda Neira.

Yang unik lainnya dari Banda Neira adalah Timba Uli, yaitu pesta laut yang berlangsung dua kali setiap tahun yaitu pada bulan Maret dan April. Kegiatannya adalah menangkap hewan laut sejenis ulat berwarna hijau yang panjang (menyerupai benang) dan berbulu, untuk dimasak dan dikonsumsi bersama.

Baca juga artikel terkait BANDA NEIRA atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Cicik Novita
Editor: Iswara N Raditya