Menuju konten utama

Produsen Telur Ayam Terjepit Harga Murah dan Biaya Pakan Mahal

Produsen telur sedang sulit. Harga jual mereka semakin rendah, tapi pada saat yang sama harga pakan terus meningkat.

Produsen Telur Ayam Terjepit Harga Murah dan Biaya Pakan Mahal
Pedagang menunjukkan telur ayam ras di salah satu stan, di Pasar Pabean, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/12/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.

tirto.id - “Daripada ditawar murah, saya buang sekalian.”

Pernyataan itu diucapkan oleh Suparni alias Pitut, peternak telur Kabupaten Magetan dalam video yang diunggah akun Twitter @kxwibisono. Pitut viral di media sosial usai dia dan sejumlah orang memutuskan membuang telur ke sawah. Ia kecewa lantaran harga telur peternak terus turun dan di saat yang sama harga pakan naik. Dua kombinasi ini membuat beban peternak semakin berat.

Kekesalan Pitut dapat dimengerti dan bisa dibilang ia mewakili apa yang dialami para peternak telur saat ini.

Ketua Umum Asosiasi Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi mengatakan saat ini harga jual berada di kisaran Rp17 ribu-18 ribu per kilogram, padahal acuan harga minimum yang ditetapkan dalam Permendag Nomor 7 Tahun 2020 Rp19 ribu-21 ribu per kg. Di Blitar, yang merupakan sentra produksi telur, harganya bahkan sudah menyentuh Rp16.400 per kg.

Dengan posisi harga itu, peternak diperkirakan merugi hingga hampir Rp38,4 miliar per hari. Perhitungannya, kerugian ditaksir Rp3.000 per kg/hari akibat selisih harga jual dari yang seharusnya, sementara produksi telur ayam mencapai 12.800 ton/hari atau setara 12.800.000 kg/hari. Jika dihitung dari pertama kali harga telur anjlok dalam 25 hari terakhir, maka peternak diperkirakan merugi hampir Rp960 miliar.

Anjloknya harga telur disebabkan karena serapan turun hingga 30 persen termasuk di wilayah Jabodetabek sampai Bandung yang menyerap 60 persen telur nasional. Wilayah ini yang menjadi sasaran pembatasan aktivitas oleh pemerintah dalam rangka menekan penyebaran COVID-19.

Telur ayam sebenarnya bisa bertahan rata-rata 10 hari jika disimpan dalam suhu kamar 20-25 derajat celcius bahkan bisa bertahan 3-4 minggu di freezer. Sayangnya peternak tidak memiliki gudang penyimpanan. Telur biasanya langsung dikemas dan dikirim ke daerah tujuan esok hari.

“Peternak kebingungan mau dikemanakan ini telur. Akhirnya ada yang frustrasi sampai membuang telurnya ke sawah,” ucap Musbar kepada reporter Tirto, Selasa (26/1/2021).

Kondisi menjadi semakin runyam lantaran harga pakan terus naik. Per Desember 2020, total kenaikan harga pakan mencapai Rp250-500/kg. Per akhir Januari 2021, kenaikannya sudah dua kali lipat, yaitu rata-rata Rp500-1.000/kg.

Kenaikan harga pakan mengikuti tren harga kedelai dunia golongan soybean meal yang terus naik. Setahu Musbar, selama 2-3 hari terakhir, harganya sudah menyentuh 575 dolar AS per metrik ton dari sebelumnya 275 dolar AS per metrik ton.

Musbar yakin perusahaan pakan juga sama sulitnya seperti para peternak. Mereka harus menyediakan dana 2-3 kali lipat dari biasanya untuk memperoleh kedelai dengan kebutuhan normal. Belum lagi perusahaan pakan juga dihantui kelangkaan kontainer yang menyebabkan peningkatan ongkos angkut bahan baku.

Oleh karena keuangan perusahaan pakan juga sedang seret-seretnya, ia pun mafhum bila akhir-akhir ini tidak ada lagi kebijakan penundaan bayar pakan yang biasa dinikmati peternak selama satu bulan.

Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan peternak telur saat ini memang berada di titik terendah. Jauh sebelum terjepit harga telur dan pakan, Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor peternak sudah terpuruk selama satu tahun terakhir. NTP peternak per Desember 2020 mencapai 98,72 alias yang menjadi yang terendah dari empat subsektor lain. Angka ini turun jauh dibanding NTP peternak Desember 2019 yang mencapai 108,11.

Sebagai gambaran, untuk menunjukkan jumlah uang yang diterima dari hasil produksi melampaui biaya yang dibutuhkan untuk produksi dan kebutuhan sehari-hari, NTP akan berada di atas 100.

“Jadi memang kasihan peternak kecil,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Selasa.

Menurut Dwi, masalah harga telur disebabkan karena tata kelola peternakan yang buruk. Pertama tata kelola impor terutama komoditas pertanian seperti kedelai. Dwi mengatakan hampir 100 persen kedelai, yang saat ini menyumbang komposisi utama bahan baku pakan, diperoleh dari impor.

Kedua terkait tata kelola usaha peternakan yang sangat mudah dimasuki oleh siapa pun. Alhasil, setiap terjadi suplai berlebih (oversupply), dampak penurunan harga sangat terasa pada peternak. Belum lagi saat ini diperburuk dengan penurunan permintaan telur akibat dampak COVID-19.

Menurut Dwi, untuk mengatasi masalah ini pemerintah selevel menteri perlu membuat regulasi yang mengatur jumlah ayam layer yang beredar sampai kapasitas produksinya. “Di kita, kan, enggak ada aturan. Kalau begini mudah sekali pasokan melimpah,” katanya.

Jika tidak dilakukan, ia khawatir masalah peternak harus melulu diselesaikan dengan mekanisme pasar yang menyakitkan.

Baca juga artikel terkait HARGA TELUR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino