Menuju konten utama

Pro Kontra Rencana Amandemen UUD 1945 & Hidupkan Kembali GBHN

Refly Harun menilai GBHN sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam pemerintahan masa kini lantaran sudah tak lagi menganut supremasi MPR.

Pro Kontra Rencana Amandemen UUD 1945 & Hidupkan Kembali GBHN
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Rencana amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945 dan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menuai pro dan kontra. GBHN yang digagas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dinilai berpotensi mengunci presiden dalam menjalankan pemerintahan.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai ruang gerak presiden bakal terbatas lantaran GBHN hanya disusun oleh MPR. Padahal, presiden terpilih tentu memiliki agenda politik, sosial, dan ekonomi berdasakran visi misi yang telah dikampenyakan.

"Kalau produk GBHN cuma ditentukan dua lembaga, DPR dan DPD yang ada di dalam MPR,” kata Refly kepada wartawan, Kamis (8/8/2019).

Dengan skema seperti itu, Refly khawatir arah kebijakan pembangunan yang disusun dalam GBHN tidak bisa dilaksanakan dengan baik lantaran pemerintah selaku eksekutor tak dilibatkan dalam penyusunannya.

"Paradigmanya itu sudah berubah, karena paradigma bernegara kita tidak lagi menganut supremasi MPR, tapi sudah menganut supremasi konstitusi,” jelasnya

Atas dasar itu, Refly menilai GBHN sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam pemerintahan masa kini. Ia mengatakan poin-poin dalam GBHN masih bisa diakomodir lewat Undang-undang.

“Menurut saya tidak relevan dan tidak penting, karena yang ditetapkan di GBHN itu sebenarnya bisa ditetapkan di UU,” tegas dia.

Pendapat berbeda disampaikan pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo. Dia menilai GBHN diperlukan agar pembangunan nasional lebih terarah.

"GBHN itu perlu difungsikan kembali, dihidupkan kembali sebagai guidance atau pedoman bagi pembangunan,” kata Karyono kepada reporter Tirto, Rabu (7/8/2019).

Karyono menjelaskan, GBHN merupakan panduan rencana pembangunan nasional dalam jangka waktu tertentu yang perlu dijalankan secara konsisten meski struktur pemerintahan berganti.

Dia mengatakan GBHN berbeda dengan rencana strategis nasional (renstra) yang saat ini jadi panduan pembangunan nasional. Penyusunan renstra lebih mengacu pada kepentingan presiden terpilih dan cenderung berubah-ubah setiap periode pemerintah.

“Sejak hilangnya GBHN program kebijakan pembangunan itu berangkat hanya dari visi misi calon presiden dan wakil presiden terpilih lalu kemudian itu dirumuskan jadi rencana pembangunan jangka panjang nasional,” jelasnya.

Pendapat Fraksi di Parleman

Fraksi Partai Nasdem sepakat jika GBHN dihidupkan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sekretaris Jenderal Partai Nasdem, Johnny G Plate mengatakan GBHN diperlukan agar pembangunan dilakukan secara berkesinambungan.

Lewat GBHN, kata Plate, pemerintah tidak bisa semena-mena mengubah arah kebijakan sesuai selera lantaran harus mengikuti arah kebijakan jangka panjang yang telah disusun. Dengan begitu, pembangunan tidak hanya mencapai tujuan penguasa yang masa jabatannya hanya terbatas lima tahunan.

“Namanya juga GBHN, masa mau diubah sesuai selera sesaat atau momental? GBHN harus dengan perspektif jangka panjang siklus 25 tahunan," imbuhnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani. Ia mengatakan presiden terpilih tak perlu khawatir kebijakannya akan terbelenggu. Ia memastikan GBHN akan diarahkan sesuai dinamika nasional dan global.

Menurut Arsul, GBHN disusun bukan untuk membelenggu pemerintah, melainkan lebih pada penyelarasan kebijakan. Tanpa GBHN, lanjut dia, presiden terpilih di masing-masing periode melakukan pembangunan hanya mengacu program jangka pendek yang terkesan hanya untuk memenuhi janji kampanye.

"Masing-masing punya fokus yang berbeda-beda. Nah, kalau ada GBHN, saya kira itu ada connecting tool bagi alat yang menghubungkan," kata Arsul di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (7/8/2019).

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini juga menilai GBHN urgen untuk dihidupkan kembali. Jazuli beralasan pembangunan ekonomimi di Indonesia pasca Orde Baru belum merata dan hanya dinikmati sebagian pihak.

"Pertama, angka pertumbuhan ekonomi relatif tinggi di atas 5 persen, tapi angka kemiskinan tidak berkurang signifikan. Kondisi rasio itu menandakan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin sengsara," kata Jazuli.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan perlu ada kajian mendalam apabila MPR ingin amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945 dan menghidupkan kembali GBHN.

"Itu [GBHN] masih harus dilakukan pengkajian yang mendalam. Karena dalam formatnya masih berbeda. Saya masih melihat GBHN itu tidak menjadi program, tapi arah kebijakan yang bersifat regulasi," kata Agun di Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).

Baca juga artikel terkait GBHN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Politik
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Gilang Ramadhan