Menuju konten utama

Pro Kontra Penyetaraan Tembakau dengan Narkoba di RUU Kesehatan

Nadia sebut risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tak sehat dan buat angka harapan hidup rendah.

Pro Kontra Penyetaraan Tembakau dengan Narkoba di RUU Kesehatan
Petani memetik daun tembakau saat panen di persawahan Dusun Welar, Toroh, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (7/9/2020). Menurut petani, meskipun kualitas tembakau ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.

tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang mengelompokkan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif di dalam kategori yang sama, dinilai akan mematikan para pelaku ekonomi. Ketentuan ini dimasukkan dalam Pasal 154 ayat (3).

Dalam pasal RUU Kesehatan tersebut menyatakan bahwa zat adiktif dapat berupa: a. Narkotika; b. Psikotropika; c. Minuman beralkohol; d. Hasil tembakau; dan e. Hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Kondisi ini dinilai dapat menyebabkan multitafsir yang dapat memicu masalah yang lebih besar.

“Aturan ini akan memberikan dampak negarif terhadap para pelaku ekonomi, mulai dari petani, pedagang dan juga industri terkait tembakau,” kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani saat dihubungi Tirto, Selasa (18/4/2023).

Ajib mengatakan, nilai transaksi rokok mencapai sekitar Rp400 triliun. Di level petani, bahkan mencapai kisaran Rp100 triliun. Angka ini akan memberikan dampak yang cukup serius dan memberikan kontraksi ekonomi jika RUU tersebut mengelompokkan tembakau dengan narkotika.

“Dari penerimaan cukai rokok hampir Rp200 triliun pada 2022, menggambarkan kalau sektor tembakau ini selain efektif menggerakkan ekonomi di grass root, juga menjadi penopang signifikan penerimaan negara," katanya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mematok target penerimaan cukai hasil tembakau atau CHT 2023 senilai Rp232,5 triliun. Ini menyusul ketetapan kenaikan cukai rokok rata-rata 10 persen pada tahun ini dan 2024.

Hal itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023. Beleid itu ditetapkan dan ditandatangani oleh Jokowi pada 30 November 2022.

Dalam dokumen tersebut, tertulis bahwa Jokowi menargetkan pendapatan cukai 2023 senilai Rp245,4 triliun. Dari target itu, mayoritas berasal dari penerimaan CHT atau dikenal sebagai cukai rokok.

Ajib khawatir, jika terjadi kontraksi penerimaan negara dari cukai rokok, maka risikonya negara akan tambah utang lagi. Artinya, kebijakan tersebut akan berdampak untuk dua hal, yaitu: UMKM sektor tembakau dan keamanan fiskal.

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Azizi Hasbullah menyatakan, upaya menyejajarkan tembakau dengan narkoba merupakan tindakan diskriminatif. Dampaknya, justru merugikan masyarakat yang bekerja di sektor tembakau, termasuk petani.

“Pemerintah harus peduli dan mempertimbangkan kerugian petani tembakau dan perokok. Kalau sudah urusannya ekonomi, manusia itu sulit dikendalikan,” ujar Azizi dalam agenda FGD ‘RUU Kesehatan: Nasib Petani dan Industri Tembakau’ baru-baru ini

Menurutnya, memukul rata tembakau dengan narkoba adalah hal yang tidak tepat mengingat kedua produk tersebut menimbulkan dampak yang berbeda. Dia menambahkan pelarangan narkoba dalam pandangan agama Islam adalah karena kandungannya bersifat memabukkan, dapat menghilangkan kesadaran, dan berpotensi menimbulkan permusuhan.

“Selama ini saya tidak pernah melihat kalau ada orang yang mabuk karena rokok, bermusuhan karena rokok, atau saling membenci karena rokok,” kata dia menegaskan.

Disamakannya rokok dengan narkoba, menurut Azizi, justru akan mengganggu keamanan negara karena masyarakat akan memilih rokok ilegal secara sembunyi-sembunyi.

“Selanjutnya akan marak rokok ilegal karena yang legal tidak terjangkau oleh masyarakat. Kalau ekonomi kita dikuasai oleh segolongan orang, maka akan mengancam keamanan Indonesia," imbuhnya.

Intervensi Pihak Asing?

Azizi lantas mencurigai kebijakan-kebijakan yang mengekang industri tembakau disinyalir merupakan intervensi dari pihak tertentu yang ingin menghancurkan seluruh mata rantai tembakau di Tanah Air. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah agar mempertimbangkan nasib petani tembakau dalam setiap penyusunan regulasi.

Menurutnya, hal seperti rokok disamakan dengan narkoba ini memosisikan para petani hingga pedagang sebagai korban. "Jangan sampai, dalam masalah tembakau, dengan aturan yang ketat, justru akhirnya malah petani tembakau yang menjadi korban," katanya.

"Yang mengalami kesulitan adalah petani. Perdagangan itu harus menguntungkan kedua pihak. Oleh karena itu, harus adil dalam mengatur masyarakat, terutama masalah keuntungan petani dan pedagang,” kata dia menambahkan.

Dewan Pakar Syarikat Islam, Firdaus mengatakan, kontroversi olahan tembakau sebagai zat berbahaya sama dengan narkotika dalam RUU Kesehatan mengesankan negara seolah ditekan kemauan asing. Menurut Firdaus, Indonesia selama ini telah punya regulasi sendiri mengenai pertanian tembakau serta produk hasil olahannya.

Diketahui, kebijakan regulasi produk olahan hasil tembakau telah ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Ditambah lagi pemerintah Indonesia sudah sangat bijaksana dan secara konsisten tidak menyetujui untuk tergabung sebagai negara anggota Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Namun dorongan untuk terus menekan industri tembakau dalam negeri melalui revisi aturan-aturan dan yang terbaru kontroversi klausul tembakau serta olahannya sama dengan narkotika dalam RUU Kesehatan ini, seolah menunjukkan ada upaya untuk memasukkan unsur-unsur FCTC kedalam aturan nasional.

“Jadi tiba-tiba muncul keheranan ada apa? Kok telah ada peraturan pengelolaan tembakau namun muncul RUU yang isinya justru berbeda. Siapa yang punya kepentingan? Apa ada faktor tekanan dari negara lain karena tidak punya pertanian tembakau?” kata Firdaus dalam pernyataanya.

Firdaus menyebut, asumsi tersebut wajar muncul, sebab pertanian tembakau dan produk olahannya bukanlah jenis baru dalam pola konsumsi sehari-hari di Indonesia. Apalagi tembakau dan olahannya telah banyak memberikan andil ekonomi namun tiba-tiba kini disetarakan zat ilegal berbahaya.

“Sekarang tembakau dan olahannya dianggap sama bahayanya dengan narkoba, jadi membingungkan. Bisa saja perkiraannya ada negara lain terganggu karena tidak punya pertanian tembakau yang unggul,” cetus Firdaus.

Firdaus menuturkan dampak lainnya akan membuat petani tembakau dan pekerja olahannya kehilangan penghasilan yang menciptakan peningkatan angka kemiskinan.

“Jelas dong bila akhirnya tembakau dan olahannya dianggap sama seperti narkoba, tidak ada yang mau lagi bertani tembakau dan mengolahnya sebab berisiko hukum. Lantas petani tembakau kehilangan pekerjaan,” ungkap Firdaus.

Tanggapan Kemenkes

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 draf RUU Kesehatan.

"Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler, tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.

Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah. “Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.

Meski begitu, Nadia bilang aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi berpandangan, tanpa disetarakan oleh RUU Kesehatan, tembakau memang sudah setara dengan narkotika.

"Narkoba atau narkotika obat berbahaya dan bahan adiktif lainnya. Nah, rokok/tembakau kandungan utamanya adalah nikotin. Nikotin adalah adiktif," ujarnya kepada Tirto.

Dengan begitu, kata Tulus, tembakau atau rokok adalah include dalam istilah narkoba, yaitu bahan adiktif (BA), dalam hal ini nikotin. "Jadi RUU Kesehatan sudah benar, dari sisi terminologi selama ini, yang sudah baku," imbuhnya.

Dari sisi perlindungan konsumen, bahkan menurutnya hal itu sangat bagus. Namun pertanyaan besarnya apakah dengan penyetaraan itu membuat tembakau atau rokok menjadi ilegal atau tetap sama.

"Kalau status hukumnya tidak berubah, ya, bagi pengusaha tembakau tak ada dampak apa-apa. Mereka malah banyak menangguk cuan. Terbukti produksinya makin naik. Jumlah perokok makin naik pula," kata dia.

Upaya Menurunkan Konsumsi Rokok

Tim Riset Pusat Kajian Jamian Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI), Risky Kusuma Hartono menilai, produk hasil tembakau atau rokok konsumsinya memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, individu, perekonomian, kesejahteraan keluarga, maupun kerugian negara. Keduanya sama-sama memiliki konsekuensi negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

“Justru perkembangan produk tembakau lainnya diperlukan ada pada pasal tersebut untuk mengakomodir penurunan konsumsi perkembangan variasi produk tembakau yang begitu cepat di masa datang," kata dia kepada Tirto.

Dia menjelaskan, zat adiktif dalam RUU Kesehatan telah mengakomodir Pasal 113 UU 36/2009. Pasal tersebut menegaskan bahwa: pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Zat adiktif dalam RUU Kesehatan juga telah mengakomodir Pasal 2 ayat 1 UU 39/2007 yang menyebutkan sifat barang kena cukai yaitu 1) Konsumsinya perlu dikendalikan; 2) Peredarannya perlu diawasi; 3) Pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

"Bahwa RUU Kesehatan ini harus secara progresif menurunkan konsumsi rokok," tegasnya.

Untuk menurunkan konsumsi rokok, pemerintah dinilai perlu memasukkan aturan larangan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) rokok dalam RUU Kesehatan. Ini penting karena kejadian smoking relapse atau atau kekambuhan merokok kembali setelah berhenti merokok pada anak, salah satunya terjadi karena pengaruh IPS rokok.

Perlindungan ini terutama diharapkan lebih besar kepada anak-anak agar mereka tidak menjadi perokok (konvensional maupun elektronik). Selain itu, kelompok masyarakat pra-sejahtera agar semakin sulit untuk menjangkau produk rokok, katanya.

Sebenarnya, jumlah prevalensi merokok di Indonesia terus menurun hingga 2022. Pada kelompok perokok anak, penurunan bahkan telah terjadi selama lima tahun berturut-turut.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perokok pada usia sama atau lebih dari 15 tahun pada 2022 sebesar 28,26 persen. Jumlah ini turun 70 bps dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 28,96 persen.

Sementara prevalensi perokok anak, atau usia sama atau di bawah 18 tahun, sebesar 3,44 persen. Angka ini menurun 25 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,69 persen.

Angka ini juga memperkuat tren penurunan prevalensi perokok anak yang telah terjadi sejak 2018 yaitu sebesar 9,65 persen, kemudian 2019 sebesar 3,87 persen, dan 2020 sebesar 3,81 persen.

Angka prevalensi merokok anak pada 2018 tinggi karena adanya sinkronisasi dengan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) setiap lima tahun sekali.

Sementara BPS selalu mengeluarkan hasil survei terbaru setiap tahun. Sebagai catatan, ada perbedaan metodologi antara data BPS yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Riskesdas Kemenkes.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz