Menuju konten utama

Pro-Kontra Pelarangan Cadar di Berbagai Belahan Dunia

Ada yang melarang di seluruh tempat publik, ada yang cuma satu-dua kota, ada yang upayanya masih di tahap RUU. Alasannya atas nama keamanan, interaksi sosial, hingga Islamofobia.

Ilustrasi perempuan bercadar. FOTO/iStock

tirto.id - Cadar sebagai salah satu penutup wajah bagi perempuan Muslim kembali menjadi bahan pembicaraan publik usai Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka) pada Senin (5/3/2018) mengeluarkan surat keputusan yang melarang mahasiswanya menggunakan cadar. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan mencegah penyebaran aliran Islam yang diklaim anti-Pancasila.

Ada yang mendukung dengan dasar pertimbangan yang sama. Namun, tak kalah banyak pula yang menolaknya dengan argumen bahwa kebijakan tersebut diskriminatif. Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, misalnya, mengatakan keliru jika mengaitkan paham radikalisme, ekstremisme, dan Islam yang anti-Pancasila dengan penggunaan cadar.

“Lebih tepat kalau cadar itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, ketat, skripturalis," kata Najib kepada Tirto, Selasa (6/3/2018) malam.

Mengingat konservatisme yang disebutkan Najib juga melanda banyak negara di dunia, hari ini maupun pada masa lampau, pemakaian penutup wajah untuk perempuan pun turut mencerminkan kondisi sosial-politik di negara yang bersangkutan.

Dalam hukum formal di Indonesia tak ada larangan ataupun kewajiban menggunakan cadar di tempat umum, demikian juga varian penutup wajah lainnya seperti niqab atau burka. Seluruhnya bersifat opsional, dan kebebasan ini dijamin dalam undang-undang. Ciri konservatisme dalam hukum formal Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pakaian, tidak seketat Iran sejak revolusi 1979 atau Arab Saudi.

Iran tak mewajibkan penggunaan penutup muka bagi perempuan, tapi mewajibkan penggunaan kerudung saat berada di tempat publik. Aturan tambahan lainnya: tidak mengenakan baju yang ketat. Di Saudi sebagian ulama mewajibkan perempuan untuk memakai penutup muka di tempat publik. Merujuk realita kekinian, aturan ini memang dijalankan banyak perempuan, tapi sebagian mengabaikannya.

Terkait aturan yang sama bagi civitas academica di sebuah kampus, Suriah pernah menerapkan kebijakan yang serupa dengan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan berlaku secara nasional. Merujuk laporan Guardian, pada Juli 2010 Kementerian Pendidikan Suriah melarang penggunaan niqab di seluruh universitas, untuk swasta maupun negeri, karena dipandang mengancam identitas sekuler negara.

Pemakaian niqab sesungguhnya tidak terlalu populer di Suriah, tapi jumlah pemakainya yang pelan-pelan naik membuat pemerintah setempat khawatir. Niqab, menurut klaim Kementerian Pendidikan Suriah, melanggar etika universitas. Aturannya pun turut menyasar para dosen. Mereka yang membandel akhirnya dipindah ke bagian administrasi.

Peraturan itu hanya bertahan satu tahun. Pada April 2011 pemerintahan yang dipimpin Presiden Bashar Al-Assad mencabutnya. Analis menyebut langkah ini dipakai Assad untuk menarik simpati kaum konservatif Suriah, sebab rezim juga menutup satu-satunya kasino di negeri tersebut. Saat itu Assad memang mulai digoyang oleh kelompok pro-demokrasi yang menginginkan ia turun panggung.

Berkaca dari kasus di Suriah dan Indonesia, aturan penggunaan penutup wajah baik perempuan tak lepas dari kondisi politik yang sedang mengemuka di sebuah negara.

Dalam catatan Newsweek, Perancis adalah negara Eropa pertama yang menerapkan larangan pemakaian penutup muka di publik secara penuh. Artinya larangan yang dijalankan sejak 2011 itu mencangkup tak hanya cadar, niqab, atau burka, tetapi juga topeng, helm, dan penutup non-relijius/tradisional lain. Alasannya demi kejelasan identitas yang berkaitan dengan keamanan serta melancarkan komunikasi antar warga.

Di luar beragam argumen yang disodorkan pemerintah, lolosnya aturan pelarangan penutup muka di publik juga menjadi dampak dari manuver elite politik Perancis yang ingin menjunjung tinggi “nilai-nilai Eropa”. Lebih khususnya lagi spirit kebebasan individual, kesetaraan gender, dan tentu saja sekulerisme ala Perancis.

Sejak beberapa tahun terakhir, partai-partai nasionalis-sayap kanan makin menguatkan di Eropa. Mereka mengkampanyekan populisme anti-imigran dan anti-muslim di negaranya masing-masing. Jualannya, termasuk di Perancis, adalah bahwa Islam bertentangan sekaligus mengancam sekulerisme, sehingga harus ditekan melalui berbagai cara. Salah satunya dengan aturan pelarangan pemakaian cadar/niqab/burka di muka umum.

Belgia meloloskan pelarangan yang sama di tahun yang sama dengan Perancis. Austria baru menerapkannya tahun lalu. Negara-negara Benua Biru lain yang masih mengusahakan lolosnya peraturan serupa adalah Swiss dan Jerman.

Swiss hampir meloloskan UU-nya dua tahun yang lalu. Sedangkan Parlemen Jerman ingin menerapkannya di dinas sipil, lembaga yudikatif, dan militer. Rencana ini mendapat dukungan Kanselir Angela Merkel yang ingin pelarangan bisa diterapkan di mana saja asal legal.

Sejak Mei 2015 Belanda melarang penggunaan cadar di lembaga pendidikan dan kesehatan, gedung-gedung pemerintahan, dan transportasi publik. Pengguna cadar masih boleh berada di jalanan. Dalam arsip SBS News, alasan pemerintah Belanda adalah keseimbangan antara kebebasan dan komunikasi yang lancar. Tak ada alasan terkait agama, kata mereka.

Denmark digadang-gadang akan menjadi negara Eropa yang melakukan pelarangan berikutnya. Melansir Guardian, pada awal Februari 2018 pemerintah Denmark mengusulkan pelarangan penutup muka yang Islami bagi perempuan di tempat-tempat publik.

Barangkali bukan kebetulan bahwa pemerintah Denmark kini beraliran tengah-kanan. Namun, Soren Pape Poulsen selaku Menteri Kehakiman tak mendasarkan rancangan aturan tersebut pada argumen yang terang-terangan Islamofobik, melainkan demi kualitas interaksi sosial warga Denmark yang saling menghormati satu sama lain.

“Hal ini (memakai penutup muka) tidak sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat Denmark dan menyembunyikan wajah saat bertemu di ruang publik tidak menghargai masyarakat. Dengan larangan menutupi wajah, kami menegaskan bahwa di Denmark orang-orangnya saling menunjukkan kepercayaan dan rasa hormat dengan saling bertatap muka."

Beberapa negara tak melarang niqab dalam skala nasional. Di Barcelona, Spanyol, pelarangan penggunaan cadar diberlakukan di beberapa tempat publik. Larangan penuh di seluruh tempat publik berlaku di Kota Novara dan wilayah Lombardy di Italia sejak 2016. Ada juga sebuah kota di Rusia yang bernama Stavropol yang memberlakukan aturan serupa sejak 2013.

Republik Rakyat Cina, yang kini makin otoriter, juga tak absen dengan memberlakukan pelarangan yang sama di Kota Umruqi, Provinsi Xinjiang, sejak 2015.

Analis menilai larangan ini sebagai bagian dari represi pemerintah RRC terhadap komunitas Muslim yang banyak tinggal di Xinjiang. Represi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun, mulai dari perkara besar seperti ritual keagamaan hingga yang remeh seperti larangan memberi nama Arab ke bayi yang baru lahir.

Suriah juga bukan satu-satunya negara mayoritas Muslim yang menjalankan larangan cadar. Tunisia, negara di pesisir Utara Afrika, pernah memberlakukan larangan memakai niqab sejak 1981. Kala itu rezim Zine El Abidine Ben Ali membawa Tunisia ke arah yang sekuler. Namun, pelarangan ini ditiadakan usai revolusi 2011.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/07/cadar-niqa-burka-dilarang--mild--nadyarev2_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Cadar Niqab Burka Dilarang" /

Revolusi 2011 di Tunisia membuat perempuan berhak mengenakan apapun yang mereka inginkan. Tak ada kewajiban mengenakan kerudung, sehingga masyarakat Tunisia kini lebih beragam: perempuan berpakaian bikini bisa berdampingan dengan para pemakai burka di pantai.

Mesir termasuk negara mayoritas Muslim yang memiliki pengacara maupun politisi yang bersemangat untuk meloloskan larangan pemakaian penutup muka bagi perempuan di ruang publik. Sejak beberapa tahun yang lalu muncul upaya dari pemerintah untuk melarang penggunaan niqab di kampus-kampus. Mengutip Al Jazeera, pada 2010 pengadilan tinggi Mesir tak meloloskan aturan tersebut.

Meski ditolak, wacananya belum habis ditelan huru-hara revolusi yang melanda Mesir. Sebagaimana dilaporkan Independent, pada 2016 parlemen Mesir merancang aturan pelarangan bagi perempuan untuk memakai niqab. Kali ini tak hanya akan berlaku di kampus, tapi juga di seluruh tempat publik dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Argumen yang disodorkan parlemen didasarkan pada pendapat ulama yang menyatakan bahwa memakai cadar bukan sebuah kewajiban dalam Islam. Argumen ini cukup sering dipakai oleh penolak cadar di negara-negara mayoritas Muslim, termasuk di Indonesia.

Hingga hari ini rancangan tersebut belum menjadi aturan formal. Diskursus di kalangan aktivis dan masyarakat Mesir masih berlangsung, yang juga serupa di Indonesia, tak jauh-jauh dari persoalan keamanan, ideologi negara, dan kemudahan berkomunikasi antar-warga.

Baca juga artikel terkait LARANGAN CADAR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf