Menuju konten utama

Pro-Kontra Merebus Lobster Hidup-Hidup: Krustasea Pun Merasa Sakit?

Ada yang berkeyakinan lobster bisa merasa sakit dan perebusan hidup-hidupnya saat dimasak tak manusiawi. Ada yang tak sepakat. Perdebatan klasik mencuat kembali.

Pro-Kontra Merebus Lobster Hidup-Hidup: Krustasea Pun Merasa Sakit?
Ilustrasi Lobster direbus. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Jurus mengolah lobster menjadi satu jenis masakan kerap didahului dengan proses perebusan hidup-hidup. Teknik ini sudah dilakukan para chef sejak ratusan tahun, serupa jagal yang menyembelih kambing, sapi, atau ayam sebelum dagingnya dijadikan sate. Namun, akhir-akhir ini, sejumlah pihak mengklaim bahwa lobster juga bisa merasakan sakit. Dengan demikian, perlu dibunuh secara cepat sebelum dicemplungkan ke air mendidih.

Pada pertengahan Januari 2018, menurut laporan Guardian, pemerintah Swiss memberi perintah kepada praktisi kuliner untuk tidak lagi merebus lobster hidup-hidup. Lobster mesti dibunuh dahulu, disarankan dengan cara disetrum. Peraturan ini akan efektif berlaku per 1 Mei 2018. Namun Swiss bukan negara pertama. Selandia Baru sudah menerapkannya terlebih dahulu dengan argumen yang serupa. Demikian juga Norwegia, Austria, dan beberapa kawasan di Jerman, Australia, dan Italia.

Isunya kemudian dimanfaatkan lembaga pemerhati nasib kelompok Krustasea atau Udang-udangan, Crustacea Compassion, untuk turut mendorong otoritas Inggris agar mengikuti jejak Swiss. Mengutip BBC News, perwakilan lembaga meminta pemerintah Inggris untuk membuat praktik merebus lobster hidup-hidup ilegal. Di awal Februari petisi mereka sudah ditandatangani 50 nama orang-orang beken dan 24.000 penanda tangan lain.

Mereka merujuk pada Animal Welfare Act 2006 (meliputi Inggris dan Wales) yang memasukkan lobster, kepiting, dan Krustasea lain ke dalam undang-undang.

“Dengan demikian siapapun yang beternak hewan-hewan tersebut, menyimpannya, atau membantainya, harus mematuhi peraturan tentang kesejahteraan hewan dasar. Antara lain menyediakan cukup makanan, kualitas air yang layak, perlindungan dari rasa sakit dan penderitaan, dan metode pembunuhan yang manusiawi,” kata mereka sebagaimana tercantum di laman Change.org.

Diskursus mengenai etika kematian sang lobster kemudian mengemuka kembali di kalangan akademisi yang punya beragam sikap. Tak sehitam putih 'ya' atau 'tidak' untuk menjawab pertanyaan 'apakah lobster bisa merasakan sakit?', namun juga jawaban-jawaban yang belum disertai keyakinan penuh.

Jonathan Birch adalah salah seorang intelektual yang mendukung peraturan baru cara memproses lobster agar lebih 'manusiawi'. Ia adalah profesor filsafat di London School of Economics. Dalam pendapatnya yang ditulis untuk AEON, Birch menerangkan bahwa mereka yang peduli dengan kesejahteraan hewan mesti peduli isu perebusan hidup-hidup lobster. Lobster, lanjutnya, butuh beberapa menit untuk mati usai dimasukkan ke sepanci air mendidih.

Rasa sakit, paparnya, didefisinikan para ilmuwan sebagai "sensasi dan perasaan yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan tubuh secara aktual maupun bersifat potensial". Birch mengutip penelitian Robert Elwood (yang juga dikutip banyak aktivis anti-perebusan-lobster-hidup-hidup), seorang ahli biologi dari Queen's University Belfast yang meneliti perilaku kepiting sebagai salah satu jenis Krustasea serupa lobster.

Kepiting pertapa (hermit crab) menghuni cangkang yang ditinggalkan hewan lain. Elwood kemudian mengebor cangkang yang ditinggali kepiting, menyalurkan kabel kecil ke dalam, dan mengalirkan listrik skala kecil. Si kepiting mengosongkan cangkangnya, meski tinggal di cangkang bagus, dan pindah ke yang lain, terutama ketika tegangan setrumnya meninggi.

Menariknya, mereka juga belajar untuk memilih cangkang yang dirasa lebih tahan setruman. Artinya mereka cenderung bertahan lebih lama di satu cangkang yang mampu menahan mereka dari setruman. Sedangkan untuk cangkang yang rentan akan lebih cepat mereka tinggalkan. Perilaku ini disebut “pertukaran motivasional”. Kepiting menyeimbangkan kebutuhan mereka mereka untuk menghindari konsekuensi yang tak menyenangkan/nyaman bagi diri mereka.

Infografik Lobster

Dalam eksperimen lain, Elwood dan rekan penelitiannya menemukan hasil bahwa kepiting pantai dengan cepat belajar untuk menghindari lokasi yang berkaitan erat dengan pengalaman-pengalaman berbahaya. Ketika kepiting ditaruh di dua tempat. Satu dialiri listrik, satunya tidak. Usai dilepas dan diarahkan kembali ke dua tempat tersebut, si kepiting akan cenderung menuju ke tempat yang tak dialiri listrik.

Birch menyimpulkan sikap kepiting sebagai bukti bahwa Krustasea bisa merasakan sakit dalam definisi yang paling sederhana. “Rasa sakit adalah panduan untuk membuat keputusan,” katanya. Krustasea harus bisa mempertimbangkan tingkat keseriusan sebuah potensi bahaya. Rasa sakit adalah ukuran untuk keputusan apakah akan dilanjutkan perjalanan menuju suatu tempat, atau dibatalkan. Demikian juga perilaku lainnya.

Teori Elwood mendapat kritikan keras dari ilmuwan lain. Salah satunya adalah ahli biologi laut Jeff Shields yang berstatus sebagai profesor di Virginia Institute of Marine Science. Kepada Washington Post ia mengatakan bahwa masih belum jelas apakah perilaku yang ditunjukkan kepiting-kepiting Elwood bisa dipastikan sebagai respons sakit atau penghindaran.

Keduanya adalah respons yang berbeda dan menurut Shields “itu masalahnya, dan tidak ada cara untuk memastikannya.”

Lebih lanjut, sebab lobster tak memiliki jalur saraf seperti mamalia memilikinya untuk merespons nyeri, Shields menegaskan ia tak percaya lobster bisa merasakan sakit. Dalam sebuah penjelasan ilmiah yang dipublikasikan Lobster Institute di University of Maine, lobster punya sistem saraf yang primitif. Mirip seperti serangga. Krustasea dan jenis-jenis serangga seperti belalang tak memiliki otak. Sementara sakit hanya bisa dirasakan oleh makhluk dengan sistem saraf yang kompleks alias otak itu sendiri.

Akademisi lain yang skeptis terhadap argumen-argumen kelompok anti-perebusan-lobster-hidup-hidup adalah Bob Bayer. Bayer adalah direktur eksekutif Lobster Institute. Ia berpendapat bahwa lobster bisa merasakan lingkungannya, akan tetapi kemungkinannya tidak punya kemampuan untuk merasakan sakit.

Bayer menilai perebusan hidup-hidup lebih menimbulkan trauma pada si juru masak alih-alih pada Krustasea yang dimasak. Ia menjelaskan perdebatannya memang sudah berlangsung selama berdekade-dekade, dan sebagian besar ilmuwan berkeyakinan serupa: Krustasea tak mampu memproses rasa sakit.

Jika memang ada kemungkinan lobster bisa merasakan sakit, bagaimana jalan tengah terbaik agar masyarakat tetap bisa mengonsumsinya tanpa perlu merasa jadi orang jahat? Membunuh Krustasea tak sesimpel membunuh ikan. Krustasea memiliki sistem saraf yang terdesentralisasi, sehingga tidak bisa seperti ikan yang bisa mati dengan satu pukulan telak di kepalanya. Membunuh Krustasea berarti harus melalui “pukulan-pukulan telak” di beberapa bagian.

Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) Australia menyediakan sejumlah alternatif. Metode pertama adalah dengan cara disetrum sebelum dimasak. Alatnya disebut Crustastun. Namun kendala utamanya ada pada harga alat yang mencapai $3.400 sehingga kurang terjangkau bagi restoran-restoran yang tak mewah, apalagi untuk warung-warung pinggir jalan.

Cara kedua adalah dengan menaruhnya di air yang sangat dingin, baik air tawar maupun asin, sesuai jenisnya, selama kurang lebih 20 menit. Setelahnya kepala lobster dibelah dari titik tengah-atas kepala ke bagian ujung depan. Boleh dibelah tanpa ditaruh di air dingin, tetapi RSCPA menyarankan tetap melalui prosedur tersebut agar lebih “manusiawi”.

Proses pembelahan juga bisa menjadi cara paling sederhana tak membutuhkan alat khusus, hanya pisau besar dan tajam, dan termasuk mudah dilakukan oleh juru masak awam sekalipun. Alternatif terakhir yakni menggunakan anestesi ikan akuatik bernama AQUI-S, yang dinilai bisa membunuh tanpa rasa sakit atau tak nyaman, namun tetap tak lebih mudah serta murah dibanding membelah kepala si lobster.

Baca juga artikel terkait LOBSTER atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf