Menuju konten utama

Pro Kontra Larangan Sepeda Motor di Jalan Protokol

Diskriminasi terhadap pengguna motor di Jakarta bukan hal yang baru. Parkir harus di belakang, nyempil di pojok. Kini, pengguna motor bahkan tak boleh lagi lewat jalan protokol Jakarta.

Pro Kontra Larangan Sepeda Motor di Jalan Protokol
Sejumlah kendaraan terjebak macet saat melintas di jalan Sudirman, Jakarta, Senin (7/8). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Cuaca terik dan kemacetan yang mengular di Jalan KH. Mas Mansur membuat Muhammad Syarif (55), pengendara ojek online, enggan mengambil penumpang. Hingga pukul 12.30 WIB, ia hanya duduk-duduk di sebuah warung di bawah Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Tanah Abang-Kampung Melayu atau Casablanca.

"Jam segini arah Kampung Melayu padat, Mas. Capek. Di depan Ambasador sana, uh. Lewat atas udah enggak boleh," ungkapnya kepada Tirto, Selasa (8/8/2017).

Arus lalu lintas di sepanjang jalan KH. Mas Mansur, Prof. Dr Satrio hingga Casablanca memang akrab dengan kemacetan. Pasalnya, ada tiga pusat perekonomian yang beririsan di jalur tersebut yakni Jalan Sudirman, Jalan Rasuna Said (Kuningan), dan Casablanca.

Menurut Syarif, hal tersebut diperparah dengan larangan sepeda motor melewati Jalan Layang Non Tol (JLNT) Casablanca. Sehingga, penumpukan kendaraan di bawah jalan layang justru didominasi oleh sepeda motor.

"Kita terpaksa macet-macetan di bawah. Padahal di atas kan masih bisa kalau mau ngurangin macet," katanya.

Syarif sendiri mengaku tak pernah lagi melalui JLNT Casablanca setelah terjaring razia dan harus membayar tilang di tempat. Syarif mengatakan, hal itu pula lah yang sempat membuat para pengendara ojek online geram dan memblokade jalan masuk ke Jalan layang tersebut.

Puluhan tukang ojek itu, kata Syarif, "waktu itu enggak pada terima ada yang dirazia."

Namun demikian, razia rutin yang dilakukan aparat kepolisian dan petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada akhir Juli lalu berhasil mengurangi pengendara motor yang masuk ke JLNT. Dari pantauan Tirto Selasa (8/8) siang, hanya ada satu-dua pengendara yang keluar dari jalan sepanjang 4 kilometer tersebut.

JLNT Casablanca hanya salah satu dari beberapa ruas jalan yang tak boleh dilalui pengguna motor di Jakarta. Ke depan, pelarangan kendaraan roda dua juga akan menyasar jalan-jalan protokol di Jakarta.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) Rencana Umum Pengendalian Pembatasan Sepeda Motor di Jabodetabek, Selasa (8/8/2017), Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah memastikan bahwa pelarangan sepeda motor di Jalan Jendral Sudirman akan direalisasikan September mendatang.

Hal tersebut guna mendorong para pengendara motor berpindah ke moda transportasi massal seperti Transjakarta dan kereta Commuter Line. “Dari sekian banyak orang yang pakai kendaraan bermotor setengahnya minimal sudah shifting pakai angkutan masal,” ujarnya di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.

Aturan yang Dianggap Diskriminatif

Tak semua orang sepakat dengan pendapat di atas. Ferdi (31) warga Karet Semanggi, Setia Budi, Jakarta Selatan, justru menganggap kebijakan tersebut diskiriminatif dan memberatkan para pengendara motor. Padahal, kata dia, kendaraan roda dua telah memberikan pemasukan cukup signifikan bagi APBD DKI Jakarta.

"Sebenarnya untuk apa dibatasi? Lagian motor kan bayar pajak juga sama kayak mobil. Jalanan kalau bukan dari pajak motor dari mana uangnya? Kok malah enggak boleh lewat," tuturnya.

Lagipula, tambah Ferdi, masih banyak infrastruktur yang belum disiapkan oleh pemerintah Jakarta untuk mendorong para pengendara motor berpindah ke transportasi massal.

"Kita lihat aja nanti. Besar mana kerugiannya? Ini kan belum pada jadi semua. MRT belum ada, terus busway juga. Kan kalau tunggu lama lebih rugi di waktu," tuturnya. "Mending kan pemerintah selesaikan dulu semuanya, baru kita didorong pindah."

Jika dicermati pemasukan pajak dari kendaraan roda dua memang terus mengalami peningkatan. Data dari 2013 hingga 2015, menyatakan bahwa pengendara motor meningkat dari 7,6 juta hingga 8,5 juta. Hal tersebut berbanding lurus dengan pendapatan pajak kendaraan roda yang juga naik dari Rp4,6 triliun menjadi Rp6 triliun.

Hal senada juga diungkapkan oleh Iyus. Ketua Komunitas motor Vespa di Ciputat tersebut memandang bahwa pelarangan sepeda motor di beberapa ruas jalan di Jakarta tidak akan efektif untuk mengurangi kemacetan. "Sekarang yang udah ada aja gimana? Malah yang sering macetnya itu di dalam tol kan? Enggak ada motornya," ujarnya.

"Lagian malahan mobil yang bikin macetnya. Lihat aja satu keluarga mobilnya sampel 3-4, yang naik cuma dua orang. Sendirian juga malah," tambahnya.

Namun, jika nantinya pelarangan tersebut tetap diberlakukan, ia berharap pemerintah bisa memberikan moda transportasi yang layak bagi warga Jakarta. Apalagi, menurutnya, pembatasan kendaraan roda dua di Jakarta juga berdampak pada kota-kota lainnya seperti Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi.

"Ya setuju aja, asal jelas tujuannya mengurangi kemacetan, tapi kan kendaraan bukan cuma dari Jakarta. Ini musti dipikirin juga," katanya.

Baca juga artikel terkait MOTOR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Current issue
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar