Menuju konten utama

Pro & Kontra Fakta Sejarah Erupsi Gunung Merapi Tahun 1006

Terdapat pro dan kontra terkait sejarah meletusnya Gunung Merapi tahun 1006.

Pro & Kontra Fakta Sejarah Erupsi Gunung Merapi Tahun 1006
Luncuran lava pijar Gunung Merapi terlihat dari Balerante, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Senin (7/1/2019) pagi. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Meletusnya Gunung Merapi tahun 1006 oleh beberapa ahli diyakini telah berperan dalam mengubah sejarah Jawa dengan berpindahnya Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun, keyakinan tersebut kemudian memantik kontroversi seiring munculnya bantahan dari kalangan sejarawan lainnya.

H. Kern dalam Een Oud Javaansche steeninscriptie van Koning Er-Langga (1913) memaparkan, penemuan Prasasti Pucangan yang dibuat oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan mengungkapkan telah terjadi pralaya atau bencana besar di Kerajaan Mataram Kuno pada 928 Saka atau 1006 Masehi.

D.H. Labberton melalui Oud Javaanesche Gegevens Omtrent de Vulkanologie van Java (1922), kemudian mengaitkan kemungkinan bencana besar yang dimaksud dalam Prasasti Pucangan yang ditafsirkan Kern adalah kejadian vulkanik, yakni erupsi Gunung Merapi.

Analisis Labberton didukung oleh R.W. van Bemmelen lewat The Geology of Indonesia (1949). Bemmelen bahkan menyimpulkan bahwa bencana besar yang berupa letusan Gunung Merapi tahun 1006 itu telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur.

Menurut Bemmelen, pindahnya Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Jombang sekarang, terjadi pada era Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa atau Mpu Sindok.

Bantahan dan Kesepakatan

Paparan Kern, Labberton, Bemmelen, dan sejumlah pakar pendukung lainnya terkait letusan Gunung Merapi tahun 1006 yang mengakibatkan dipindahkannya pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur belakangan menuai polemik dan bantahan.

Boechari lewat risetnya bertajuk “Some Consideration of the Problem of the Shift of Mataram’s Center of Government from Central to East Java in the 10 th Century A.D” dalam Bulletin of the Research Center of Archaeology of Indonesia (1976) membantah tesis yang menyebutkan bahwa pralaya di Kerajaan Mataram Kuno terjadi pada 1006.

Mpu Sindok yang oleh Bemmelen disebut sebagai raja yang memindahkan kerajaan ke Jawa Timur pada 1006 diketahui berkuasa pada 929 hingga 947 Masehi. Hal ini berdasarkan dari prasasti pertama terkait Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di Jawa Timur, yakni Prasasti Anjukladang atau Prasasti Candi Lor.

Prasasti yang diyakini dibuat oleh Mpu Sindok sebagai tanda kemenangan atas serangan dari Kerajaan Sriwijaya ini berangka tahun 937 Masehi. Itu artinya, sebelum tahun 1006 yang semula dipercaya sebagai tahun meletusnya Gunung Merapi, Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang sudah pindah ke Jawa Timur.

Menurut Boechari, terdapat salah tafsir dalam Prasasti Pucangan. Bencana besar yang dimaksud baru terjadi pada 1016, tepatnya pada era Raja Darmawangsa (991-1016). Itu pun bukan karena faktor vulkanik, melainkan akibat diserang kerajaan lain yang sekaligus mengakhiri riwayat Kerajaan Medang.

Memang, belum dapat dipastikan versi mana yang benar. Setelah dilakukan serangkaian penelitian di berbagai lokasi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dikutip dari Kompas edisi 12 November 2011, para peneliti sepakat bahwa erupsi Gunung Merapi tahun 1006 berdampak cukup lama dan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kerajaan Mataram

Jalan tengah polemik ini juga menjadi kesimpulan penelitian bertajuk “Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006” oleh Supriati Dwi Andreastuti, Chris Newhall, dan Joko Dwiyanto yang terhimpun dalam Jurnal Geologi Indonesia (2006).

Disimpulkan, dari berbagai fakta yang ditemukan, ada tiga kemungkinan penyebab pindahnya Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yaitu akibat intensitas Merapi yang tinggi, untuk menghindari serangan dari Sriwijaya, atau untuk mencari lokasi yang lebih strategis.

Baca juga artikel terkait GUNUNG MERAPI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH