Menuju konten utama

Pro dan Kontra Penghapusan Grid Girls di Ajang F1

Profesi dengan sejarah lebih dari setengah abad akan berakhir di ajang F1. Ia dianggap tak manusiawi dan mengobyektifikasi perempuan.

Pro dan Kontra Penghapusan Grid Girls di Ajang F1
Grid Girls meniupkan ciuman ke juru kamera sebelum Grand Prix Inggris di Sirkuit Balapan Silverstone, Inggris 30 Agustus 2015. REUTERS / Darren Staples

tirto.id - "Tak lagi ada grid girls. Kelak, akan ada pembatasan kecepatan."

Catherine Bennet menulis kolom opini dengan judul menohok itu untuk merespons pelarangan grid girls pada pagelaran balap F1 2018. Grid girls adalah sebutan untuk perempuan yang bertugas mempromosikan sponsor, berinteraksi dengan khalayak, dan membawa papan nama pembalap di lintasan. Profesi ini sudah ada dalam dunia balap mobil sejak empat dekade lalu. Tahun ini, profesi grid girls resmi dilarang oleh Liberty Media, penyelenggara F1.

Bernie Ecclestone, penasihat F1, merasa heran dengan pelarangan ini. Menurutnya, bagaimana bisa para "perempuan berparas menarik yang berdiri di samping pembalap itu bisa menyinggung orang lain." Dari segi bisnis, menurut Ecclestone, mereka dianggap penting karena membawa nama sponsor. Dari segi teknis, keberadaan mereka juga vital.

"Saat para pembalap akan berhenti di grid, akan lebih mudah dengan adanya grid girls. Dan lebih mudah bagi para pembalap untuk tahu di mana mereka harus berhenti," ujar lelaki yang menjalankan bisnis F1 lebih dari tiga dekade ini.

Profesi grid girls memang berada dalam posisi yang pelik saat ini. Di satu sisi, banyak orang menganggap profesi ini punya daya tarik: bertemu dengan pembalap terkenal, disorot oleh kamera yang menyiarkan acara ke seluruh dunia, juga mendapatkan perlakuan istimewa. Di sisi lain, profesi ini dianggap mengobyektifikasi perempuan.

"Setahuku, tak ada perempuan yang dipaksa untuk pekerjaan ini. Masyarakat era sekarang sepertinya sudah terlalu sopan," kata Ecclestone.

Penghentian grid girls dianggap sebagai langkah lanjutan dalam berbagai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para petinggi di berbagai industri. Salah satu kasus terbesar di 2017 silam melibatkan produser film Harvey Weinstein yang dituduh melecehkan lebih dari 50 orang perempuan.

Dalam industri F1, meski Ecclestone bilang tak ada paksaan, pada kenyataannya banyak grid girls yang diobyektifikasi, bahkan dilecehkan. Penyiar F1, Beverley Turner, menganggap industri F1 menjadikan grid girls sebagai trofi bagi para pria. Mereka hanya ditampilkan sebelum balapan dimulai, dan berdiri di sebelah mobil.

"Pantat mereka akan dicubit oleh para mekanik, dan para fotografer akan berdiri di belakang para gadis ini sembari memotret kejadian itu," ujar Turner.

Dunia balap seperti terbelah dengan pelarangan ini. Jennie Grow menulis untuk ESPN, merasa pelarangan ini memang sudah waktunya. Selain perkara gender, salah satu alasan bagus untuk melarang profesi grid girls adalah jam kerja dan cara kerja yang tak manusiawi. Para gadis ini kerap harus sudah dandan pukul empat pagi, dan apa pun cuacanya, mau dingin menggigit atau panas membakar: mereka harus berdandan dengan pakaian minim.

"Mereka harus mengenakan pakaian yang dikehendaki para penyelenggara atau tim, dan mereka seperti pion di dalam permainan para pria," tulis Grow.

Kisah seperti itu pernah ditulis oleh CNN pada 2013 silam. Saat itu CNN mengisahkan tentang COTA girls, grid girls di ajang balap Circuit of America. Para COTA girls sudah bersiap sejak subuh. Padahal acara baru siang hari. Menurut Amanda Bingman, salah satu COTA girls, ia harus bersiap sejak pukul 4 pagi. Namun ia tak keberatan.

"Semua itu setimpal. Cantik itu luka!" kata Bingman.

Infografik Grid Girls

Sejarah Perempuan di Lintasan Balap

Pro-kontra pelarangan grid girls tidak terlepas dari sejarah keberadaan mereka di dunia balap. Di beberapa negara, grid girls memiliki nama yang berbeda-beda. Di Jepang, mereka dikenal sebagai race queen, sedangkan masyarakat Inggris menyebutnya pit babe. Orang Thailand menamai grid girls dengan prettiest dan mereka dikenal dengan sebutan racing model di Korea. Di Indonesia, gadis payung adalah nama untuk para grid girls. Tapi, cikal bakal sejarah grid girls sendiri berasal dari Jepang.

Pada tahun 1960-an, Formula One mulai menggunakan gadis muda sebagai model promosi setelah artis dan model Rosa Ogawa tampil di iklan Cosmo Oil Co., Ltd. Ia mempromosikan bahan bakar dengan kadar oktan tinggi untuk perusahaan minyak tersebut. Semenjak itu, ia dijuluki sebagai race queen pertama di Jepang.

Gaijinpot, sebuah situs penyedia informasi seputar Jepang untuk orang asing, melansir kalau penggunaan race queen semakin marak di Jepang seiring meningkatnya perekonomian negara di tahun 1980-an. Anggaran untuk iklan bertambah. Apalagi olahraga balap mulai dikenal oleh khalayak. Keadaan ini membuat race queen menjadi komplemen utama untuk meningkatkan kesadaran publik akan merek tertentu.

Perubahan kemudian terjadi pada dekade 1990-an. Gaijinpot mengatakan kalau race queen dianggap sebagai pekerjaan penting berkat media dan penggemar. Demi meningkatkan basis penggemar, pihak sponsor bahkan melanjutkan perjanjian untuk mempromosikan usaha mereka lewat acara-acara yang ada dengan menggunakan race queen.

Pada 1999, sebutan race queen diganti menjadi circuit lady berdasarkan Undang-Undang Kesetaraan Kerja. Pekerjaan ini pun hanya boleh dilakukan untuk perempuan yang usianya di atas 18 tahun. Peraturan ini memunculkan organisasi yang menaungi model dalam bentuk agensi atau perusahaan media massa. Menurut Gaijinpot, sepuluh race queen terfavorit akan dijadikan model untuk majalah di Jepang.

Di luar Jepang, grid girls mulai banyak digunakan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Salah satunya adalah Hawaiian Tropic yang menjadi sponsor 24 Hours of Le Mans di Perancis. Perusahaan kosmetik tersebut mendatangkan model-model dari Amerika Serikat. Mereka tampil dengan busana bikin bertuliskan nama perusahaan tersebut.

Meski sudah ada sejak 1960-an, keberadaan grid girls dalam dunia balap internasional dianggap baru populer pada 1990-an. Eddie Jordan, bos tim motorsport asal Irlandia, adalah orang yang dianggap pertama kali mempopulerkan grid girls. Pertimbangannya jelas aspek komersial. Para perempuan dianggap bisa membuat dunia balap jadi lebih menarik—sesuatu yang kemudian dikritik hingga sekarang.

“Balapan adalah bisnis yang serius, sangat komersial, dan membutuhkan balik modal yang besar. Tapi pada saat yang sama, bisnis ini juga perlu untuk memperlihatkan bakat dan semua aktivitas yang menarik dan menyenangkan,” katanya.

Jika banyak orang setuju dengan pelarangan grid girls di F1, banyak pula yang marah, termasuk dari kalangan para gadis dalam profesi ini. Salah satunya datang dari Rebecca Cooper. Ia mengkritik kaum feminis yang dianggap malah menjadi diktator, dan menentukan mana profesi yang boleh dan tak boleh dikerjakan. Para grid girls menganggap penghentian profesi ini adalah political correctness yang melampaui batas.

"Rasanya konyol melihat para perempuan yang berkata mereka 'memperjuangkan hak perempuan', tapi sekaligus menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, juga melarang kami melakukan pekerjaan yang kami cintai dan banggakan," tulis Cooper.

Setelah penggunaan grid girls dilarang pada F1 musim 2018, penyelenggara akan mengganti mereka dengan grid kids. Konsep yang sama, tapi memakai anak-anak yang dipilih oleh tim balap. Setelah terpilih, mereka akan berkompetisi di ajang pertandingan level junior.

Anak-anak yang beruntung nantinya bakal menemani 20 pembalap terbaik seluruh dunia sembari mereka mempersiapkan diri untuk bertanding. Sean Bratches, Direktur Manajer Operasi Komersial Formula One, berkata bahwa penggunaan grid kids akan membawa pengalaman luar biasa bagi para anak-anak.

“Bayangkan berdiri di samping idolamu, melihat mereka bersiap untuk berkompetisi beberapa menit sebelum pertandingan dimulai. Itu adalah pengalaman tidak terlupakan bagi mereka dan keluarga. Sebuah inspirasi untuk tetap bertanding, berlatih, dan belajar sehingga impian mereka suatu saat tercapai,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait FORMULA 1 atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Olahraga
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Nuran Wibisono