Menuju konten utama

Privatisasi Air Sentul City: Cara Pengembang Memainkan Air Bersih

Biaya air bersih di perumahan Sentul City Rp9.200 per meter kubik, lebih mahal dari tarif dasar rumah versi PDAM.

Privatisasi Air Sentul City: Cara Pengembang Memainkan Air Bersih
Ilustrasi privatisasi air Sentul City. tirto.id/Lugas

tirto.id - Belasan warga meriung di rumah teduh yang menjadi markas Komite Warga Sentul City—disingkat KWSC, organisasi bagi para pemukim dari 48 klaster perumahan di Kabupaten Bogor itu. Mereka ingin mewujudkan pelayanan publik yang adil.

Pertemuan itu menjadi momen saling menguatkan ketika penularan virus SARS-CoV-2 merebak, lebih-lebih saat satu seminar di Sentul menjadi klaster penyebaran Covid-19 pada awal mula Indonesia menghadapi pandemi, Maret lalu. Itu sebabnya pada pertemuan Maret lalu, warga tak bersalaman, menjaga jarak dan mencuci tangan.

Deni Erliana, 53 tahun, yang pengalaman aktivismenya pada 1980-an dipakai buat melawan ketidakbecusan pengembang, memandu pertemuan itu. Erliana menjadi juru bicara organisasi itu; dia tinggal di klaster Taman Besakih.

Sentul City adalah korporat raksasa di Indonesia, yang berdiri sejak 1993 dengan cadangan bank tanah 15.000 hektare, terbesar untuk kelas pengembang perumahan di Jabodetabek. Saat didirikan di area seluas 3.000 ha, ada peran putra kedua Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, dan taipan Salimin Prawiro Sumarto. Keduanya kini bukan pemegang saham di PT Sentul City.

Dalam dokumen administrasi Kementerian Hukum, Juli 2019, kepemilikan saham PT Sentul City (kode emiten BKSL) sepenuhnya dimiliki publik, dari saham seri A hingga seri D, dengan total modal disetor Rp6,35 triliun. Dalam dokumen yang sama menyebut David Partono sebagai Presiden Direktur PT Sentul City, Iwan Budiharsana dan Ricky Kinanto sebagai direktur, serta Tranggono Ting sebagai presiden komisaris dan Sumarsono menjabat komisaris perusahan ini.

Tinggal di kawasan perumahan elite, bagaimanapun, menggendong anggapan sebagai orang kaya yang tak perlu dibela bila ada masalah; terutama di negara macam Indonesia yang jurang si kaya dan si miskin sangat mencolok setipis tembok.

Ketika warga Sentul City melawan pengembang pada 2016, bertepatan KWSC terbentuk, Deni Erliana menghadapi kriminalisasi. Ia dilaporkan pengacara pengembang karena mengunggah surat ke Grup WhatsApp KWSC mengenai somasi pengembang ke KWSC.

Ada nama pejabat perusahaan Sentul City tercantum dalam surat, yang jadi dasar laporan pencemaran nama baik. Proses pemeriksaan dengan pasal karet UU ITE terhenti di Polres Bogor setelah Deni Erliana melapor ke Komisi Kepolisian Nasional mengenai ketidakadilan itu.

Ibu lima anak ini menghadapi masalah lain di Sentul City. Aliran air ke rumahnya diputus pengembang karena aksi boikot bayar iuran lingkungan. Ia hanya satu dari ratusan warga yang jadi korban pemutusan meteran air.

Meski begitu, mental Erliana dan pemukim lain seperti pegas: saat ditekan justru melejit.

Perlawanan pertama adalah mencari sumber air mandiri meski pengembang mengancam memutus sambungan air tetangganya bila membantu dia.

Nyaris mustahil memperoleh air tanah dengan menggali sumur di Sentul City, perumahan dengan ketinggian minimal 300 meter di atas permukaan laut. Tapi, alam tampaknya berpihak kepada keluarga Erliana. Ia mendapatkan air dari sumur di dalam rumah di kedalaman belasan meter dan ia berkata, “rasanya punya sumber air sendiri merdeka banget.”

Namun, itu kemerdekaan kecil. Bersama suaminya, Aswil Asrol yang menjadi Sekretaris KWSC, Erliana dan keluarganya sebagai tim mengorkestrasi gerakan warga sipil demi mengembalikan hak warga yang direnggut pengembang. Tujuan mereka mulia sekaligus terjal: mendepak privatisasi air di Sentul City.

Ratusan Sambungan Air Warga Diputus Paksa

Pemutusan air di Sentul City telah berlangsung sejak 2007. Warga mengalami intimidasi saat pemutusan air.

Dody Hindratno, 47 tahun, memilih bermukim di kawasan Sentul City karena salah satunya pernah mendengar promosi bahwa pasokan air bersih di perumahan itu bisa langsung diminum. Fakta berkata sebaliknya.

Dody tinggal di sana sejak 2011. Rutinitasnya sama dengan para penghuni lain. Membayar tagihan air dan iuran lingkungan dalam satu paket.

Sampai 2016, warga menilai pengembang sewenang-wenang menetapkan tarif air, yang jauh lebih mahal dari tarif umum PDAM Bogor.

Para pemukim yang bergabung dalam KWSC melawan. KWSC menolak penyatuan tagihan air dan iuran lingkungan atau disebut biaya pemeliharaan dan perawatan lingkungan (BPPL). Anggota KWSC mogok membayar BPPL, termasuk Dody Hindratno.

Saat berdiri pada 2016, KSWC beranggotakan 800 warga. Mereka satu suara hanya mau membayar iuran air sesuai tarif PDAM Bogor, bukan tarif yang ditagih pengembang.

Menghadapi aksi mogok, pengembang berang; menggugat KWSC dengan tudingan melawan hukum.

Pada 2018, belasan petugas keamanan dan kuli bangunan datang ke rumah Dody. Seperti yang diunggah keluarganya via YouTube, keluarga Dody tampak adu mulut dengan satpam.

Ia menolak saluran air diputus pengembang karena sudah membayar tagihan air. Tapi, petugas ngotot dengan alasan Dody tak membayar iuran lingkungan.

Menurut Dody, warga yang menentang aturan main pengembang dicap “Si kaya yang tak mampu membayar uang lingkungan.” Tapi, baginya, “Layanan air berlaku non-diskriminasi kepada seluruh warga negara. Tak ada kaitan dengan iuran lingkungan.”

Sehari setelah peristiwa itu, petugas memutus pipa air saat Dody bekerja di luar rumah.

Setelah pemutusan sambungan saluran air oleh pengembang, Dody membuat sumur untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangganya hingga saat ini.

Sejak itu, pemutusan saluran air tak cuma menimpa keluarga Deni Erliana dan Dody Hindratno.

Klaim PT Sentul City, sekitar 200-an saluran air bersih diputus di perumahan itu. Klaim ini berbeda dengan temuan Komite Warga Sentul City, yang mendata ada 400 sambungan air yang sudah diputus secara paksa oleh pengembang.

‘Air adalah Barang Publik’

Pemutusan saluran air bahkan masih berjalan selama pagebluk COVID-19.

Menurut Komite Warga Sentul City, ada 20 saluran air warga terus diputus pengembang. Padahal, kebutuhan air bersih meningkat dan mendesak saat pandemi karena warga harus rajin mencuci tangan, ujar Deni Erliana.

Erliana menyebut “hak warga atas air dilanggar pengembang yang tak peduli pagebluk.”

Kepala humas PT Sentul City, Alfian Mujani, menolak mengaitkan pemutusan saluran air dengan pandemi corona. Alasannya, "pemutusan saluran tidak pandang waktu. Bahkan sudah ada sebelum pandemi.”

Ia mengklaim telah menyediakan jatah air cuma-cuma untuk warga yang tidak punya sambungan air; berada dalam tangki di masing-masing klaster perumahan elite tersebut.

”Tinggal bawa ember untuk ambil air,” ujarnya.

Ia juga mengklaim pemutusan saluran air sudah sesuai prosedur umum perusahaan daerah air minum setelah warga menunggak tagihan air selama tiga bulan. Bahkan, klaimnya, ada yang diputus setelah satu tahun menunggak.

“Selama ada iktikad baik dan mau mencicil itu tidak kami putus,” bantah Alfian.

Kasus sengketa dan privatisasi air di Sentul City telah jadi perhatian Ombudsman Jakarta Raya. Lembaga negara pengawas kebijakan publik ini telah mengawal persoalan air di Sentul City sejak 2016 setelah menerima laporan Komite Warga Sentul City.

Kepala Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, menyimpulkan pengelolaan air di Sentul City seharusnya dipisahkan dengan urusan pembayaran iuran lingkungan. Hal itu menjadi pemicu pemutusan air di perumahan Sentul City yang membuat warga kehilangan hak mendapatkan air bersih.

Ia sudah berulang kali meminta pemutusan sambungan air dihentikan dan tak lagi menyatukan tagihan air dengan iuran lingkungan setelah pemeriksaan atas laporan KWSC kelar pada 2018.

“Air adalah hak warga negara, karena itu barang publik. Tak boleh ada aturan dari pengembang yang menyatukan tagihan lingkungan dan air,” katanya kepada Tirto, akhir April 2020.

Infografik HL Perjuangan KWSC Atas hak air di sentul city

Infografik HL Perjuangan KWSC Atas hak air di sentul city. tirto.id/Lugas

Privatisasi Air Sentul City

Pemutusan saluran air adalah “puncak gunung es” dalam konflik antara warga dan pengembang perumahan Sentul City selama belasan tahun.

Semua bermula dari privatisasi air oleh pengembang yang berambisi mewujudkan Sentul City sebagai kota mandiri (township management)—semua kebutuhan dasar warga disuplai dan dikontrol pengembang.

Dari serangkaian kebutuhan dasar, masalah air baku paling krusial. Pengembang memperoleh air baku lewat perjanjian dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.

Pengembang membeli air dengan sistem putus. Artinya, kontrak pengembang dan PDAM sebatas pembeli dan penjual air. Setelah air di tangan pengembang, PDAM tidak mengintervensi bila ada masalah dengan pelayanan air—padahal badan usaha milik daerah mendapatkan prioritas mengelola air daripada perusahaan swasta.

Sebagai konsekuensi dari privatisasi air, pengembang membangun sendiri infrastruktur penunjang termasuk bak penampung dan pipa air sepanjang 15,5 kilometer dari lokasi penampungan ke pemukiman Sentul City.

Pada awal 2001, perjanjian pengelolaan air oleh pengembang mengikat 500 penghuni Sentul City. Tapi, saat ini jumlah keluarga yang menghuni kawasan itu mencapai 8.000 keluarga.

Sentul City menugaskan anak usahanya, PT Sukaputra Graha Cemerlang (SGC), dalam mendistribusikan air dan mengutip biaya. Tugas SGC yang lain adalah memutus jaringan air warga yang dianggap “tidak taat aturan.”

Namun, air bukan satu-satunya bisnis di Sentul City.

PT Sentul City mengutip biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (BPPL). Dua jenis bisnis ini saling terkait. Bila tagihan BPPL tak dibayar, pengembang bisa memutus saluran air. Penyatuan (bundling) pembayaran keduanya mengacu perjanjian pengikat jual beli (PPJB).

Alfian Mujani dari PT Sentul City mengklaim pemutusan air adalah hak pengembang berdasarkan PPJB.

Tirto melihat dokumen PPJB dari seorang pembeli tanah pada 2012. PPJB merupakan perjanjian dua pihak; pembeli dan pengembang. PT Sentul City pada 2012 dipimpin Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng selaku Presiden Direktur—pada tahun yang sama dengan penandatanganan PPJB itu, Swie Teng tersangkut korupsi tukar guling tanah dengan mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin.

Isi dokumen PPJB di antaranya memuat klausul kewenangan PT Sentul City menentukan dan mengubah tarif BPPL dan biaya dasar air bersih sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan kepada pembeli properti.

Iuran lingkungan Sentul City sebesar Rp2.000/meter persegi per bulan, tak peduli di atas tanahnya ada bangunan atau tidak. Bila menunggak, terkena denda.

Untuk pasokan air bersih, pengembang mematok tarif tinggi.

Dari PDAM Tirta Kahuripan, Sentul City membeli air curah Rp4.200/meter kubik. Tapi, saat dijual ke warga Sentul City, tarif air naik menjadi Rp9.200/m3.

Hal ini sesuai penetapan tarif air di perumahan Sentul City yang diputuskan oleh Bupati Bogor pada 2018, yang saat itu dijabat Nurhayanti. Tarif air untuk rumah mulai 8.350/m3 hingga Rp9.700/m3.

Biaya air per meter kubik yang harus dibayarkan penghuni rumah sederhana Sentul City sekalipun tak masuk akal bila dibandingkan dengan tarif industri skala kecil sebesar Rp6.370/m3. Dalam skema tarif umum PDAM, tagihan air rumah mewah sekalipun selalu lebih rendah dari tarif air industri.

Hal itu menunjukkan air adalah perkara bisnis di sektor privat Sentul City; berbeda dengan konsep penguasaan air sebagai barang publik sesuai konstitusi Indonesia.

Meski demikian, Alfian Mujani dari PT Sentul City membantah perusahaannya membisniskan air. Dalihnya, setiap bulan manajemen Sukaputra Graha Cemerlang, anak usaha Sentul PT City, tombok Rp3 miliar-Rp5 miliar untuk perbaikan jaringan air sepanjang belasan kilometer.

Sentul City menerapkan tarif tinggi dari tarif dasar PDAM dengan dalih telah merogoh kocek hingga Rp100 miliar saat investasi pembangunan jaringan pipa. Pengembang juga beralasan tarif air tinggi itu untuk menutup biaya operasional plus gaji karyawan dan ongkos perawatan jaringan pipa.

Demo Warga Sentul City

Warga Sentul City melakukan aksi di depan Istana Negara mengenai tudingan pelanggaran hukum PT Sentul City yang memprivatisasi air bersih, Jakarta, Senin (30/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico

Menang di Pengadilan tapi Transisi Pengelolaan Air Masih Sumir

Sengketa air di Sentul City sejak 2016 telah memasuki babak akhir. Warga menang atas gugatan di Mahkamah Agung hingga level tertinggi, yakni peninjauan kembali.

Terdapat sejumlah pertimbangan putusan Peninjauan Kembali 104 PK/TUN/2019 yang berpihak kepada warga.

Di antaranya, PT Sentul City terbukti mengandalkan bulk water (air curah) yang dibeli dari PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor sebagai sumber air baku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 1 PP 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), yang mewajibkan pemegang izin SPAM memiliki sumber air baku dari sumber air permukaan, cekungan tanah, atau air hujan.

PT Sentul City tak bisa membuktikan kebenaran klaim bahwa selama ini mereka memiliki sarana dan prasarana pengambilan dan penyediaan air baku. Mayoritas sarana, prasarana dan utilitas di Sentul City masih terhitung sebagai aset Pemerintah Kabupaten Bogor.

Ada perjanjian jual beli air baku antara PT Sentul City dan PDAM Tirta Kahuripan menunjukkan Pemkab Bogor telah mampu menyediakan air bersih kepada warga yang tinggal di Sentul City.

“Tarif air yang ditetapkan Pemkab Bogor di Sentul City ternyata bukan hasil kesepakatan antara PT Sentul City dengan warga atau mediator warga. Tarif itu semata usulan PT Sentul City. Ini juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Deni Erliana, juru bicara Komite Warga Sentul City.

Bupati Bogor Ade Yasin telah menindaklanjuti putusan MA. Ia mencabut izin SPAM Sentul City pada 30 Juli 2019. Setelah itu, bupati berkoordinasi dengan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, lembaga negara yang menerima aduan dari KWSC terkait izin SPAM Sentul City.

Bupati sepakat dengan Ombudsman untuk memberi tenggat satu tahun atau hingga 30 Juli 2020 kepada Sentul City untuk mengalihkan pengelolaan air bersih kepada PDAM Tirta Kahuripan Bogor.

Deni Erliana berkata bahwa di masa transisi, pemutusan sambungan meteran air terus terjadi meski telah ada putusan hukum yang inkrah.

Selain itu, ujarnya, meteran air warga yang dibongkar seharusnya dipasang kembali, tapi PT Sentul City dan anak usahanya, PT Sukaputra Graha Cemerlang, tak pernah menepatinya.

“Pembongkaran meteran air warga yang terus terjadi dengan alasan penagihan BPPL bisa dipandang tindakan ilegal,” kata Erliana.

Perkembangan terkini, proses transisi belum ada titik terang.

Direktur Operasional PDAM Tirta Kahuripan Bogor, Eka Binekas, berkata kepada Tirto bahwa PDAM dan Sentul City masih dalam proses verifikasi ulang jaringan pipa sepanjang 15,5 kilometer dan data pelanggan, termasuk warga yang mengalami pemutusan saluran air.

Binekas mengklaim Sentul City sudah menyerahkan data penghuni yang mengalami pemutusan meteran air. Tapi, katanya, PDAM tak bisa memulihkannya saat masa transisi.

”Kami masih memverifikasi,” katanya kepada Tirto, April lalu.

“Bupati Bogor sudah bersurat ke Sentul City [soal penagihan aset]. Intinya, apa yang mesti kami kerjakan tetap jalan. Selebihnya, Sentul City juga punya kewajiban,” lanjutnya.

Kepala humas PT Sentul City, Alfian Mujani, menyebut belum tuntasnya masa peralihan karena menyangkut aset vital perusahaan, yakni pipa sepanjang 15,5 kilometer.

Ia menanggapi pipa itu sebagai aset yang harus dibeli saat terjadi peralihan pengelolaan. Pipa itu berada di luar site plan dan master plan perumahan, katanya.

Masalahnya, ia tak yakin Pemkab Bogor punya banyak uang, apalagi saat krisis pandemi sekarang. Ia mempersilakan ada tim penaksir yang menghitung harga jaringan pipa.

Alfian mengklaim jaringan pipa miliknya senilai Rp100 miliar berdasarkan taksiran investasi saat pembangunan jaringan pipa belasan tahun silam.

Ia menyilakan Pemkab Bogor membeli jaringan pipa. Bila tak mampu, katanya, nilai jaringan pipa bisa dianggap sebagai penyertaan modal untuk pengelolaan air bersih. Dengan catatan, skema pengelolaan ke depan adalah kerja sama operasi (KSO) antara PT Sentul City dan PDAM Tirta Kahuripan Pemkab Bogor.

“Kami belum ada pembicaraan detailnya bentuk kerja sama. Tapi arahnya ke KSO,” ungkapnya.

“Buat Sentul City, air bukan bisnis,” ia berdalih.

Terkait pernyataan Alfian, Tirto mengonfirmasi masalah air di Sentul City ke Bupati Bogor, Ade Yasin. Tirto sudah mencoba menghubungi lewat telepon, WhatsApp, dan Instagramnya, tapi belum ada jawaban.

=========

Adendum:

Fasilitas air di Sentul City bernama Water Treatment Plant (WTP) di atas lahan 2 hektare. PT Sentul City dalam laporan tahunan 2016 menyebut WTP memperoleh air dari hujan dan sungai dengan total debit 80 liter/detik dan dari PDAM Kabupaten Bogor dengan debit 200 liter/detik. Investasi PT Sentul City untuk jaringan pipa air mencapai Rp22 miliar (berbeda dengan klaim Alfian bahwa investasi awal mencapai Rp100 M).

Penghuni Sentul City juga memperoleh informasi sama berkaitan janji layanan air siap minum. (Lihat laporan tahunan PT Sentul City 2016 yang menyebut promosi air siap minum di halaman 50.) Tapi, faktanya sebaliknya. Air dari PDAM hanya didistribusikan dan dijual ulang ke penghuni Sentul City.

Revisi:

Redaksi keliru menyebut nama keluarga Tahir dalam kepemilikan saham terkini PT Sentul City Tbk, yang kami kutip dari data publik situs resmi Bursa Efek Indonesia. Data ini bertarikh Mei 2018. Kami memperbaruinya dengan data terbaru Juli 2019 dari dokumen yang terdaftar pada Direktorat Administrasi Kementerian Hukum. Kami juga merevisi teks infografik. Redaksi memohon maaf atas kekeliruan ini.

___

Penyingkapan: Laporan ini adalah hibah liputan dari Lembaga Bantuan Hukum Pers tentang para pejuang lingkungan.

Baca juga artikel terkait KASUS SENTUL CITY atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Fahri Salam