Menuju konten utama

Prasangka Radikal BNPT atas HTI: Mengunci Kampus, Membuka Oposisi

Bagaimana proses para pelajar dan mahasiswa bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia?

Prasangka Radikal BNPT atas HTI: Mengunci Kampus, Membuka Oposisi
Suasana sidang pembacaan putusan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Senin (7/5/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - "Kalau memang bom itu digunakan teroris untuk menegakkan Islam, itu salah. Itu bukan metode untuk menegakkan Islam. Metodenya bukan dengan kekerasan, tetapi dengan perubahan mindset pikiran masyarakat."

Kalimat itu diucapkan Muhammad Fathurrozi, 27 tahun. Laki-laki yang akrab disapa Fathur ini adalah anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), perkumpulan yang dibekukan pemerintahan Joko Widodo pada Juli 2017. Kepada Tirto, Fathur berkali-kali menegaskan HTI secara organisasional mengecam peledakan bom, seperti yang terjadi di Surabaya pada Mei 2018.

"Kami mengecam. Bom Surabaya kemarin kami mengecam. Itu bukan syariat Islam," ujar Fathur.

Masuk HTI sejak SMA

Fathur lahir di Malang, Jawa Timur. Kedua orangtuanya beragama Islam, tetapi bukan anggota organisasi masyarakat Islam tertentu.

Saat duduk di bangku sekolah dasar, Fathur rajin menyambangi perpustakaan sekolahnya, SD Islam Sabilillah Malang. Sekolahnya itu beraliran Nahdlatul Ulama (NU), tapi perpustakaannya menyimpan buku dari beragam topik. Fathur rajin membaca dan meminjam buku-buku bertema politik Amerika Serikat dan Yahudi.

"Judul bukunya tidak ingat. Waktu itu buku-buku seperti itu banyak. Apalagi buku terbitan Gema Insani Press (GIP). Tahun 1990-an, GIP itu sebagai sumber buku yang memberi angin segar bagi jalan baru politik Islam," ujar Fathur.

Lulus dari SD, Fathur melanjutkan sekolah di SMP Islam Sabilillah Malang. Lewat mata pelajaran agama Islam dan buku-buku pelajaran agama Islam yang disediakan pemerintah, pengetahuan Fathur mengenai sejarah Islam bertambah. Fathur mengaku mengenal konsep khilafah Islam sejak masa sekolah menengahi.

"Di SMP, kan, sudah ada sejarah Islam mengenai Ummayah atau Abassiyah. Dari situ muncul rasa penasaran," ucap Fathur.

Yang membuat penasaran Fathur ialah cara Islam mengatur kehidupan sosial-politik masyarakat. Lewat buku-buku yang menceritakan sejarah Islam, Fathur menyimpulkan Islam pernah kuat secara politik, tapi keadaannya kini tidak begitu. Rasa penasaran inilah yang membuat Fathur bergabung di organisasi rohani Islam (Rohis) saat SMA. Di tempat Fathur sekolah, SMAN 1 Malang, Rohis ini bernama Sie Kerohanian Islam (SKI).

Di samping ikut SKI, Fathur ikut halaqah. Secara harfiah, halaqah berarti pertemuan. Sebutan untuk pengajian kecil, halaqah biasanya berisi 4 sampai 5 orang, rutin sepekan sekali yang dipimpin seorang ustaz. Saat Fathur menginjak kelas 7, si ustaz adalah siswa satu sekolahnya di kelas 9.

Halaqah yang diikuti Fathur membahas Islam dari persoalan akidah hingga politik. Ustaz pertamanya adalah anggota SKI yang mengikuti "belajar di HTI". Saat Fathur beranjak ke kelas 8, ustaz itu lulus. Fathur pun berganti ustaz, seorang alumni pesantren yang juga anggota HTI. Saat kelas 8 inilah Fathur ditawari "belajar di HTI".

Halaqah itu tidak wajib bagi anggota Rohis. Siswa di luar Rohis pun diperbolehkan ikut. Fathur mengaku ikut halaqah sebab tertarik dengan gagasan yang disampaikan si ustaz. Yang membuat halaqah di SMA Fathur pun tidak hanya HTI, tetapi juga kelompok lain seperti tarbiyah.

"Selama ini pengajian halaqah tidak mencatut nama Rohis SMA. Selama ini ya namanya pengajian bersama kakak SMA," ujar Fathur.

Fathur mengatakan orang yang "belajar di HTI" pun belum tentu anggota HTI. "Belajar di HTI" itu merupakan cara HTI mengenalkan organisasi dan gagasannya lebih rinci. Apabila cocok, orang yang "belajar di HTI" bisa menjadi anggota HTI. Pada akhirnya, Fathur memutuskan bergabung dengan HTI saat duduk di kelas 8 SMA pada 2007.

"Waktu itu saya mau 'belajar di HTI' bersama 3 orang lain. Di sana kami mengaji kitabnya HTI: Nizhamul Islam, peraturan hidup Islam. Kalau sudah selesai itu, nanti ditawari mau masuk HTI. Semuanya berdasarkan tawaran bukan paksaan," ujar Fathur.

Ada Kampus Islami di ITB

Malang merupakan wilayah yang sejuk untuk ukuran kawasan tropis Indonesia. Di Malang, Fathur tinggal di wilayah Tujuh Sekar.

"Masjid di lingkunganku biasanya mendatangkan orang-orang dari HTI untuk mengisi ceramah atau tarawih. Secara umum, apa pun boleh masuk, boleh berkembang. Tidak keras harus satu aliran tertentu," ucap Fathur.

Selain Malang, salah satu kota sejuk di Indonesia lain ialah Bandung. Di kota kedua inilah Fathur melanjutkan studi. Pada 2009, ia diterima sebagai mahasiswa di Institut Teknologi Bandung.

Di ITB, Fathur bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa bernama Harmoni Amal Titian Ilmu (HATI). UKM ini didirikan sejumlah mahasiswa yang semula bergabung dengan Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB. Namun, mahasiswa itu juga dibina HTI. Mereka mendirikan HATI sebab gagasannya tidak tertampung Gamais.

Tidak semua anggota HATI adalah HTI, menurut Fathur. Namun, HATI menggunakan kitab-kitab yang dikembangkan HTI untuk menganalisis fenomena sosial. "Ketika membahas suatu permasalahan, misalnya soal migas, kami gunakan kitab-kitab HTI. Kebetulan orang yang mengelola HATI itu orang yang mengaji di HTI," ujar Fathur.

Di ITB, Sekretariat HATI berada di kawasan Sunken Court, salah satu kawasan untuk sekretariat UKM. Lokasinya di bagian belakang kampus ITB, dekat dengan Perpustakaan Pusat ITB. Selain HATI, juga berdiam sekitar 15 sekretariat UKM lain.

Sedangkan Gamais ITB memusatkan kegiatan di Masjid Salman ITB, letaknya di bagian depan ITB. Sekretariatnya di Rumah Kayu Salman. Tempat ini juga menjadi rumah bagi beberapa sekretariat UKM di bawah otoritas Masjid Salman ITB.

Mahasiswa ITB biasa menyebut mahasiswa yang aktif di UKM Sunken Court, utamanya Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), Majalah Ganesha, atau Tiang Bendera ITB, sebagai anak belakang. Sedangkan Gamais sebagai anak depan.

Dikotomi itu memang perlu ditelaah lebih lanjut, tetapi kelompok anak depan atau anak belakang itu diperhitungkan dalam konstelasi sosial-politik organisasi mahasiswa di ITB, terutama dalam pemilihan Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa.

HATI, pada awalnya, tidak terlalu menonjol dalam konstelasi itu. Mereka hanya menjalankan organisasi secara reguler belaka. Namun, pada pemilihan 2014, seorang anggota HATI, Aditya Rizki Purnama, mengajukan diri sebagai kandidat. Aditya mengusung visi "Kampus Islami".

Kepada Tirto, Aditya mengatakan ia mengikuti Rohis saat SMA. Namun, ia belum mempelajari politik atau gagasan HTI pada waktu itu.

Ia baru mengenal gagasan HTI lewat Al-Islam, buletin berkala yang diterbitkan HTI dan disebarkan di Masjid Salman ITB.

Lalu, pada 2012, Aditya diajak kawan untuk "belajar di HTI". Sebelum itu, sejak masuk ITB pada 2009 hingga 2012, Aditya mengikuti beberapa UKM, salah satunya Gamais ITB, dan aktif di Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB.

"Saya mengenal politik di Kabinet. Saya ikut aksi ke Istana Negara dan sebagainya. Saya mulai mengenal bagaimana Islam mengatur politik justru di HTI," sebut Aditya.

Pada 2012, Aditya masuk HTI. Kemudian, ia aktif di HATI. HTI dipilih Aditya sebab organisasi ini menawarkan analisis fenomena sosial-politik yang langsung menyentuh pokok permasalahan. HTI, menurutnya, juga telah membuatnya berpikir secara mustani, berpikir cemerlang.

"Islam artinya berserah diri. Artinya harus ada ketundukan total kepada Pencipta. Salah satu bentuknya tunduk pada perintah Allah, mulai dari dalam keluarga sampai negara," sebut Aditya.

Ketika HTI Masuk Kampus

HTI merupakan cabang Hizbut Tahrir (HT)—dalam bahasa Indonesia disebut Partai Pembebasan. Partai politik ini didirikan Sheikh Taqi al-Din An-Nabhani di Yerusalem pada 1953. Tujuan HT adalah kebangkitan Khalifah Islam. HT menganggap dunia Islam tengah terpuruk dan terbelenggu pemikiran, sistem, dan hukum-hukum yang lahir di dunia non-Islam. Bentukan negara-bangsa yang dianut banyak negara di dunia saat ini, termasuk di Indonesia, juga bagian dari hal-hal yang tidak sesuai tujuan HT.

"Sulit untuk membandingkan antara ideologi Pancasila dan Islam. Pancasila adalah nilai-nilai. Misalnya (di Pancasila) ada nilai persatuan. Dalam Islam ada nilai persatuan juga. Ketika kami hadir menawarkan Islam, kami tawarkan Islam sebagai ideologi," ujar Fathur.

Dari Yerussalem, HT menyebar ke berbagai negara. HTI berkembang di Indonesia sejak 1980-an. Pada masa ini, di Indonesia sudah marak digelar pengajian-pengajian kecil, berisi 4 sampai 6 orang, yang disebut usrah. Pengajian ini dikembangkan dari metode Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Mohamed Nawab Mohamed Osman menuliskan dalam "Reviving the Caliphate in the Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia's Mobilization Strategy and Its Impact in Indonesia" (2010) bahwa HTI, pada awal kemunculannya, menyasar Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) Institut Pertanian Bogor (IPB).

"Banyak pimpinan yang mengikuti HTI bahkan tidak tahu bahwa mereka bagian dari HTI. Abdurrahman al-Baghdadi (salah satu pencetus HTI) hanya mengenalkan gagasan HTI melalui pengajian yang diadakan di sejumlah masjid di Bogor. Itu sampai 1987 saat Baghdadi menyampaikan kehadiran HTI," sebut Osman.

Dari Bogor, HTI menyasar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di berbagai universitas di Bandung, Surabaya, dan Makassar. Kata Osman, "Banyak pemimpin masa depan HTI direkrut melalui jaringan ini."

Setelah memutuskan keluar dari jaringan LDK pada 1994 sebab berselisih dengan kelompok penganut gagasan Ikhwanul Muslimin yang kerap disebut kelompok tarbiyah, HTI mulai mengembangkan sayap organisasi mahasiswa bernama Gema Pembebasan. Pada 2004, Gema Pembebasan diluncurkan di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Kelompok tarbiyah sendiri mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Selain itu, Alexander R. Arifianto menuliskan dalam "Islamic Campus Preaching Organizations in Indonesia: Promoters of Moderation or Radicalism?" (2018) bahwa HTI secara khusus menyasar kampus-kampus pencetak guru, seperti eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).

Berdasarkan wawancara dengan Abdullah Darraz, peneliti di Maarif Institute, lembaga pemikiran yang didirikan kader-kader Muhammadiyah, Alexander menulis bahwa mahasiswa itu diharapkan akan menyebarkan gagasan HTI di kalangan murid yang diajarnya kelak.

"Tidak seperti hubungan antara mahasiswa dan dosen di universitas, hubungan guru dan murid di HTI bersifat hierarki. Guru dipandang sebagai sumber ilmu dan kerap mendapat status layaknya Tuhan. Maka, cara efektif HTI menyebarkan ideologinya kepada remaja Muslim (di Indonesia) adalah melalui guru mereka," sebut Abdullah Darraz kepada Alexander.

Osman juga mencatat sejak 1990-an, HTI secara aktif menyebarkan gagasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Infografik HL Indepth Radikalisme Kampus

Ketika HTI Menggugat

Mohamed Nawab Mohamed Osman menggambarkan HTI tengah mendapat tempat, termasuk dalam jejaring birokrasi. Misalnya, pihak HTI lancar bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Eks KSAD Jeneral Tyasno Sudarto, mantan Panglima ABRI Wiranto, hingga Adhyaksa Dault, kader PKS sekaligus Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu.

Namun, dalam bagian simpulan, Osman menegaskan, "Meskipun HTI bukan merupakan ancaman langsung terhadap pemerintah Indonesia karena posisi politiknya yang tanpa kekerasan, visinya untuk menghidupkan kembali Khilafah Islam bertentangan langsung Pancasila."

Simpulan Osman terbukti kemudian. Pada Mei 2017, Wiranto, yang menjabat Menko Polhukum pada pemerintahan Jokowi, menyatakan pemerintah akan mengambil langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI. Setelah revisi UU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat disahkan, pemerintah mencabut status badan hukum HTI pada 19 Juli 2017.

Pencabutan status badan hukum itu digugat HTI. Tetapi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak semua putusan penggugat yang diajukan HTI.

Pada sidang gugatan pencabutan status badan hukum HTI, Kamis (1/3/2018), mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan "ada bibit radikalisme di HTI". Belakangan, BNPT menyatakan beberapa universitas terpapar radikalisme. BNPT juga menyebut mahasiswa program studi eksakta alias ilmu-ilmu alam lebih rentan menjadi radikal.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyambut pernyataan BNPT itu dengan melarang penggunaan cadar. ITB, yang berada di bawah naungan Kemenristekdikti, pun membekukan HATI. Selain itu, Kemenristekdikti berencana mengawasi telepon seluler dan akun media sosial para dosen.

Namun demikian, kata "radikal" yang disematkan terhadap HTI bisa saja problematis. Jillian Schwedler menulis dalam "Can Islamists Become Moderates?" (2011) bahwa kata radikal biasanya dipakai untuk melabeli orang atau kelompok yang menuntut perubahan sistem secara substantif dan menentang kekuasaan status quo. Menurut Alexander R. Arifianto, apabila definisi itu yang digunakan, kelompok apa pun yang mengekspresikan perbedaan pendapat dan sikap oposisi terhadap pemerintah, termasuk kelompok Islam, dapat dilabeli "radikal".

Fathur, sebagai anggota HTI, mengartikan “radikal” secara bahasa sebagai mengakar. Baginya, Islam radikal adalah Islam yang mengakar: memiliki landasan keinginan memeluk Islam, memahami alasan kebenaran Alquran dan ajaran Islam. Sehingga ia tahu konsekuensi menjalankan Islam secara benar.

"Orang-orang semacam itu menginginkan perubahan secara mendasar karena kehidupan saat ini dianggap belum berislam secara keseluruhan, secara sosial-politik," ujar Fathur.

Sedangkan Aditya menganggap kata radikal yang disematkan pemerintah kepada HTI sebagai pembingkaian.

"Mau disebut radikal atau apa pun itu, tunjukkan kenyataannya saja? Selama ini yang merugikan negara ini siapa? Salah satunya koruptor. Siapa sih parpol penyumbang koruptor terbanyak di KPK? Sebaliknya, pernahkan anggota HTI jadi koruptor?" tegas Aditya.

Lagi pula, penyebutan HTI sebagai kelompok radikal oleh BNPT menimbulkan prasangka lain, menurut Aditya. BNPT merupakan lembaga yang diberi kewenangan mencegah munculnya terorisme. Ketika HTI dicap radikal oleh BNPT, HTI juga diduga menanamkan bibit terorisme.

HTI memang ingin mendirikan Khilafah Islam, tetapi mereka menolak bergabung dengan ISIS. Di lain pihak, sejumlah mantan anggota HTI masuk ISIS, seperti Bahrun Naim, Mohammed Fachry, atau Gigih rahmat. Mereka menyeberang ke ISIS sebab HTI tidak mengusung penggunaan kekerasan. Ini juga tergambar melalui pernyataan Fathur bahwa HTI mengecam aksi bom di tiga gereja Surabaya.

Bahrun Naim, sebagaimana dicatat peneliti terorisme Sydney Jones dalam "Two Decisions that Leave Indonesia More Polarised than Ever" (2017), justru menyambut baik rencana pemerintah Indonesia membubarkan HTI. Dengan keadaan itu, Bahrun berharap HTI mengikuti jejak Hizbut Tahrir di Uzbektistan yang mengangkat senjata melawan pemerintah.

Namun, yang diharapkan Bahrun sejauh ini tidak atau belum terwujud. Setelah gugatannya ditolak PTUN, juru bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan HTI mendukung Partai Bulan Bintang (PBB). Ketua Umum DPP PBB Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan pihaknya siap menampung anggota HTI yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif lewat PBB.

Yang jelas, HTI mesti dibedakan dengan Jamaah Islamiyah atau organisasi teroris yang selama ini ditarget BNPT. Dalam kesimpulan Alexander R. Arifianto: meskipun HTI adalah kelompok Islam radikal karena mereka menolak demokrasi dan moderasi, mereka juga menolak aksi-aksi kekerasan untuk mempromosikan visinya mendirikan Khilafah Islam. HTI tetap sebagai gerakan anti-sistemik. Karena itu, sepatutnya HTI termasuk organisasi radikal nir-kekerasan.

Menurut Alexander, agenda yang diemban HTI patut dipertanyakan sehingga perlu pengamatan sangat dekat oleh para ahli, pembuat kebijakan, dan aparat keamanan nasional. Larangan terhadap kegiatan HTI dapat menjadi bumerang yang balik menyerang pemerintah. Sebab HTI sangat adaptif dalam menghadapi lingkungan politik yang sulit dan mampu menyesuaikan strategi, sembari tetap mempertahankan tujuan ideologis dan politiknya.

"Karena itu," pungkas Alexander, "larangan terhadap organisasi tidak akan menyelesaikan masalah meningkatnya Islamisme di Indonesia, dan mungkin hanya mendorong lebih banyak pemuda yang kecewa atas sistem politik Indonesia, lalu bergabung dengan HTI dan kelompok Islam radikal lain."

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam