Menuju konten utama

Praktisi Pencucian Uang Sebut Tantangan Implementasi MLA

Manajemen data dan teknik negosiasi menentukan implementasi perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indoensia-Swiss.

Praktisi Pencucian Uang Sebut Tantangan Implementasi MLA
Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jateng, Brigjen Pol Muhammad Nur (kedua kanan) menunjukkan sejumlah barang bukti saat ungkap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Narkotika jaringan kelompok Banjarmasin, Kalsel, di Semarang, Jawa Tengah, Senin (4/2/2019). Dalam pengungkapan tersebut BNNP Jateng mengamankan seorang tersangk ANTARA FOTO/Aji Styawan/ama.

tirto.id - Praktisi hukum tindak pidana pencucian uang, Paku Utama, menyebut sejumlah tantangan dalam merealisasikan Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia dan Swiss.

Paku menilai, terdapat sejumlah tantangan untuk merealisasikan MLA. Di antaranya Indonesia harus bisa melakukan manajemen data.

Menurut Paku, para penegak hukum harus menyiapkan data secara akurat agar bisa memanfaatkan MLA dengan Swiss.

"PR pertama adalah pembenahan di dalam negeri terlebih dahulu, sebelum meminta bantuan data, datanya harus sudah lengkap dan baik. Kalau data kita lemah di negara lain, meski mau membantu tidak akan maksimal," kata Paku, ditemui di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Kamis (14/2/2019).

Pemerintah, kata dia, harus memperkuat jaringan MLA baik resmi maupun tak resmi. Negara di luar Indonesia bisa saja tidak memberikan data, karena tidak paham kebutuhan aparat Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut dia, Indonesia perlu memperkuat jaringan agar data yang diperoleh bisa lengkap. Namun, permintaan MLA secara informal tidak bisa serta-merta jadi bukti perkara.

"Permintaan tidak resmi, tidak dapat menjadi bukti yang sah di depan pengadilan. Tetapi teknik mendapatkan bukti yang cepat efisien dan akurat bisa dengan informal dulu," kata Paku.

Ia juga menilai aparat Indonesia perlu menguasai teknik negosiasi. Di sejumlah negara, khususnya negara perbankan, sejumlah negara punya konsep tax haven.

Negara-negara tersebut, imbuh dia, umumnya menerima pemasukan dari nasabah bank internasional. Tidak sedikit negara enggan mengembalikan aset ke negara korban, sehingga perlu upaya negosiasi.

Salah satu trik, ujar dia, untuk memenangkan negosiasi adalah dengan menggunakan undang-undang negara tersebut sebagai upaya negosiasi.

"Jadi kalau kita buktinya sudah kuat, kemudian mereka enggan membantu kita, kasih lihat itu UU mereka yang menyatakan tentang pencucian uang. Negonya kalau mereka gak bantu kita akan ngadu ke forum-forum internasional," kata Paku.

Paku juga mengingatkan pemerintah, MLA bisa melempem, bila tidak memahami parameter keberhasilan.

"Untuk membuat suatu MLA berhasil atau tidak memerlukan banyak unsur, karena kalau dari gambaran besarnya MLA, merupakan salah satu unsur dari upaya aset recovery. Jadi kalau bicara MLA ujungnya adalah memulihkan aset yang sudah dicuri dari dalam negeri dan disembunyikan di luar negeri dan dikembalikan ke dalam negeri," kata Paku.

MLA, kata dia, merupakan bentuk timbal balik hubungan antara kedua negara yang diperkuat dengan perjanjian. Dalam kesepakatan tersebut mereka bisa menentukan bentuk timbal balik seperti perampasan atau repatriasi.

Di Indonesia, kata dia, MLA bisa diterapkan secar formal dan informal yang diatur UU nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik.

Dalam pasal 5 ayat 1 UU no 1 tahun 2006 disebutkan kerja sama harus berdasarkan perjanjian. Sedangkan jika tidak ada perjanjian pada ayat dua disebutka, perjanjian kerja sama dilakukan dengan asas reprosikal (timbal balik).

Baca juga artikel terkait KASUS PENCUCIAN UANG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali