Menuju konten utama
KRISIS PANGAN (TULISAN 2)

Praktik Pertanian Subsisten sebagai Solusi Krisis Pangan

Sejak dini, mereka diajarkan cara bertahan hidup tatkala bencana iklim dan krisis pangan melanda.

Praktik Pertanian Subsisten sebagai Solusi Krisis Pangan
Fadel Rumakat (27 tahun) dan tujuh temannya menggeluti bidang pertanian subsisten sejak pandemi melanda. foto/Dok. Fadel Rumakat

tirto.id - Setelah sarapan, Fadel dan teman-temannya bergegas. Cuaca di Masohi, Maluku Tengah, pagi itu sangat mendukung mereka untuk berladang. Semangat Fadel kian bertambah setelah belakangan santer diperbincangkan soal krisis pangan.

"Tahun depan ada isu resesi. Kalau persediaan pangan cukup, otomatis kita aman," kata Fadel kepada Tirto, Rabu (16/11/2022).

Fadel Rumakat, pemuda berusia 27 tahun, sebenarnya menempuh jurusan perikanan saat kuliah di Universitas Pattimura. Namun setelah tamat, Fadel dan tujuh temannya justru menggeluti bidang pertanian subsisten.

Ide Fadel muncul di tengah guncangan stabilitas pangan global saat pandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19) melanda. Situasi kala itu menyadarkan Fadel betapa penting kemandirian pangan.

Singkat cerita, Fadel dan teman-temannya menemukan lahan seluas 2 hektare yang bisa diolah. Lahan tersebut tadinya diperuntukkan bagi program transmigrasi tetapi kemudian terbengkelai.

Kini dari atas lahan tersebut, Fadel dan timnya menghasilkan beragam jenis tumbuhan pangan: selada, sawi, kangkung, bayam, pisang, singkong, sagu, cengkeh, hingga pala.

Di luar lahan tersebut, Fadel juga menanam sayur-mayur dengan sistem hidroponik dan beternak ayam. Sebagian hasil panen akan dikonsumsi sendiri dan sisanya dijual ke pasar.

Laba dari penjualan akan dipakai menutup kebutuhan operasional masa tanam berikutnya. "Kalau panen akan dimakan sendiri dan untuk dibagi-bagikan ke keluarga," kata Fadel.

Aksi Fadel dan teman-temannya menanggapi ancaman krisis pangan memang sah-sah saja. Faktanya, Global Food Security Index (GFSI) 2022 menunjukkan adanya kelemahan dalam ketahanan pangan Indonesia.

HARGA BERAS LANJUTKAN TREN KENAIKAN DI BULAN OKTOBER

Calon pembeli melihat berbagai jenis beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jatinegara, Jakarta, Senin (7/11/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

Mengacu pada data tersebut, ketahanan pangan Indonesia menempati urutan ke-63 dari 113 negara. Padahal posisinya pernah bertengger di urutan ke-61 pada 2019 lalu. Di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia duduk di peringkat 10 dari 23 negara.

Performa terbaik kita ada pada komponen keterjangkauan yang skornya di 81,4. Titik terlemahnya terdapat pada komponen keberlanjutan dan adaptasi di mana Indonesia hanya mengantongi skor 46,3.

Laporan tersebut juga mengungkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 2,9 poin pada komponen kualitas dan keamanan.

GFSI menilai pemerintah unggul dalam memastikan keterjangkauan makanan bagi warganya. Namun kemampuan dan wawasannya lemah untuk mewujudkan keamanan pangan.

Oleh karena itu, Indonesia disarankan fokus mengembangkan penelitian di sektor pertanian. Tak berhenti di sana, Indonesia juga disarankan mendongkrak kualitas, keragaman dan standar gizi pangan untuk rakyatnya.

Diangkat di Forum G20

Peringatan GFSI tentang ancaman ketahanan pangan dari faktor cuaca selaras dengan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dalam laporan Climate Outlook 2023 yang dipaparkan pada Senin (17/10/2022), ancaman cuaca ekstrem juga wajib dipikirkan.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita, intensitas curah hujan di Indonesia bakal melebihi rata-rata pada 2023. Kondisi itu bisa memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Bencana itu turut mengancam sektor pertanian karena bisa menyebabkan gagal panen. "Semua perlu dalam kondisi siaga dan waspada," kata Dwikorita.

Kewaspadaan tersebut semakin ditingkatkan menyusul perkembangan dinamika geopolitik global kurun beberapa waktu terakhir, sebagaimana diulas di tulisan Tirto yang pertama.

Banyak negara bersiaga menghadapi ancaman multikrisis pada 2023 mendatang. Jika krisis keuangan dan ekonomi terjadi berbarengan dengan krisis pangan, maka hanya persoalan waktu saja hingga kita melihat krisis multidimensi meledak.

Terbaru, sejumlah petinggi buka suara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada Senin (14/11/2022). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggungnya secara khusus dalam pidato.

"Dampak berbagai krisis tersebut terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan sangat dirasakan dunia terutama negara berkembang," ujar Jokowi saat berpidato pada KTT tersebut.

Kecemasan serupa juga dirasakan negara-negara lain. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyebut krisis pangan sebagai fokus pihaknya pada tahun depan.

"Pesan saya tentang pangan adalah untuk mencegah kelaparan," kata Antonio dilansir dari Antara. Di samping faktor cuaca dan ancaman gagal panen, faktor ketersediaan pangan juga menguji ketahanan pangan kita.

Infografik Pertanian Subsisten

Infografik Pertanian Subsisten. tirto.id/Quita

Bicara ketersediaan pangan, maka produktivitas pertanian menjadi kuncinya. Ini berarti kita bicara ketersediaan pupuk, sehingga kontribusi negara eksportir pupuk seperti Rusia sangat penting bagi negara agraris seperti Indonesia.

Sialnya, Rusia tengah bertikai dengan tetangga Ukraina sehingga pupuk asal Negeri Tirai Besi tersebut masih diembargo oleh Kubu Barat. Perkembangan terkini belum menunjukkan tanda-tanda keadaan bakal normal sedia kala.

Jika pemerintah bisa menjaga ketersediaan pupuk, Ekonom Kepala Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) Maximo Torero optimistis Indonesia mampu terhindar dari krisis pangan pada tahun depan.

Menurut dia, Indonesia mengalami kemajuan pesat terkait produksi dan peningkatan kapasitas beras, sebagai bahan makanan pokok mayoritas warganya.

"Saya beharap jika Indonesia meneruskan kebijakan yang benar, maka Indonesia akan bisa bertahan dan menjadi tangguh menghadapi kondisi yang tengah terjadi saat ini," ujar Maximo pada diskusi daring dilansir dari Bisnis Indonesia, Senin (14/11/2022).

Pertanian Subsisten Tercatat Sejarah

Berdasarkan catatan sejarah, krisis pangan bukanlah tragedi yang terbilang langka di Bumi Pertiwi. Pada buku Jejak Pangan (2019), Andreas Maryoto menguraikan deretan tragedi krisis pangan di Nusantara pada masa lampau.

Krisis Pangan pernah melanda Aceh pada 1605. Ketersediaan beras langka di pasaran dan harganya melambung. Situasi tersebut diperparah musim kemarau yang berujung pada kelaparan.

Kondisi serupa juga pernah melanda wilayah Kesultanan Banten pada tahun 1675. Bahkan, Kerajaan Mataram mengalami krisis pangan lebih dari sekali. Salah satunya berbarengan dengan kelaparan di Banten yakni pada tahun 1675.

Rangkuman kisah di atas menunjukkan langkah Fadel dan teman-temannya bukan sebatas buntut kecemasan semata. Sejarah pun membuktikan bahwa pertanian subsisten pernah menjadi penyelamat saat krisis pangan melanda.

Kata 'subsisten' diserap dari bahasa Inggris ‘subsistence’ yang berarti penghidupan. Dalam Subsistence Agriculture and Economic Development (1969), Clifton R. Wharton Jr mengartikannya sebagai metode bertani secara minimalis atau bertani untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup.

Kini kita mengenal variannya sebagai pertanian skala rumah tangga, yang berbasis pekarangan atau hidroponik. Konsep pertanian non-komersial ini selalu ada dari masa ke masa, bahkan sejak manusia mengenal sistem pertanian untuk bertahan hidup.

BERTANI DI LAHAN TERBATAS

seorang pekerja melakukan perawatan tanaman yang ditanam dengan teknik hidroponik di rumah hidroponik, rusun marunda, jakarta, rabu (27/4). menanam dengan teknik hidroponik menjadi solusi pertanian bagi masyarakat perkotaan karena dapat dilakukan dengan lahan yang terbatas. antara foto/muhammad adimaja/foc/16.

Yang membedakan hanya momentum serta modifikasi penerapannya. Pada situasi tertentu, pertanian subsisten dipilih bukan karena hobi belaka. Pada masa lampau, ia menjadi jalan keluar masyarakat kalangan bawah di kala krisis ekonomi menerpa.

Dalam buku berjudul Subsistence Agriculture in Central and Eastern Europe: How to Break the Vicious Circle? (2003), Steffen Abele menganggap pertanian subsisten sebagai jenis pertanian yang paling sedikit dipahami dan relatif diabaikan di era modern.

Pada era globalisasi yang digerakkan oleh sistem pasar dan modal besar, model pertanian subsisten di tingkat kecil, perorangan, seolah termarjinalkan. Secara empiris, pertanian subsisten cenderung eksis di negara berkembang.

Tatkala Uni Soviet bubar dan kekacauan melanda Eropa Timur, sehingga pasokan pangan terkendala, barulah pertanian subsisten mendapatkan tempat penting dalam khasanah agribisnis modern. Ia menjadi solusi ketika terjadi krisis pangan.

Jauh sebelum itu, menurut Matos De Castro pada Beyond Masters and Slaves (1988), pertanian subsisten terbukti berperan menyelamatkan hidup banyak orang semasa perbudakan di Brasil pada paruh kedua abad 19.

Saat keadaan memburuk, penduduk merdeka dan kaum budak menggantungkan asupan makanan dari hasil pertanian subsisten. Jika produksi surplus, maka mereka akan menukarkan produk hasil pertanian ke pasar lokal.

"Kita dapat melihat lebih jauh sesuatu tentang alternatif mereka untuk bertahan hidup. Jadi, para gelandangan ini terdiri dari sekelompok produsen kecil yang didedikasikan untuk pertanian subsisten, yang, sampai pertengahan abad lalu, bahkan dapat mengandalkan satu atau dua budak," tulis De Castro.

Catatan tentang peran pertanian subsisten yang bertahan di abad 21 bisa ditemukan di Afrika Selatan. Model pertanian skala rumah tangga tersebut terbukti mengurangi kerentanan masyarakat di perdesaan maupun perkotaan ketika harga pangan menukik.

“Ada kebutuhan untuk menaikkan produktivitas pertanian subsisten/skala kecil secara signifikan dan menjamin ketahanan pangan jangka panjang,” tulis Baiphethi dan Jacobs dalam “The Contribution of Subsistence Farming to Food Security in South Africa” (2009).

Di Indonesia, gerakan pertanian skala kecil, bahkan skala mini di pekarangan dan hidroponik mulai marak. Salah satunya dilakukan murid Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos, Desa Girimukti, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Sejak dini, mereka diajarkan cara bertahan hidup tatkala bencana iklim dan krisis pangan melanda. Murid-murid dibekali taktik bertani di lahan yang notabene kurang ideal untuk pertanian konvensional. Uniknya, hasil panen mereka tidak dijual

"Orang desa itu panen enggak dijual, ngedol beras iku ora ilok (jual beras itu tidak pantas)," kata seorang warga, Sunaryadi Purwanto, sebagamana diberitakan Vice Indonesia.

Jika seluruh rumah tangga, mulai detik ini, meluangkan waktu untuk mengembangkan pertanian skala rumah tangga atau berbasis hidroponik, maka tak menutup kemungkinan mereka bisa kalis dari dampak buruk risiko pangan tahun depan.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN SUBSISTEN atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono