Menuju konten utama

Prakarsa: Kemiskinan Multidimensi di Papua Paling Parah

Angka kemiskinan multidimensi 2018 lebih kecil dari survei Badan Pusat Statistik, hal ini terkait dengan indikator yang digunakan.

Prakarsa: Kemiskinan Multidimensi di Papua Paling Parah
Sejumlah anak berada di rumah mereka di Kawasan Pemukiman Pemulung di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (1/3/2019). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pd.

tirto.id - Perkumpulan Prakarsa mencatat pada 2018 tingkat kemiskinan multidimensi Indonesia wilayah timur lebih tinggi dari Pulau Jawa.

Hal ini diketahui dari perhitungan kumulatif indikator kemiskinan multidimensi (IKM) pada 2018. Peneliti Prakarsa mendapati wilayah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua Barat masih mengalami kemiskinan yang cukup parah.

Rinciannya, tingkat kemiskinan multidimensi Provinsi Papua pada 2018 (60,56 persen), lebih rendah dibanding pada 2015 (67,10 persen).

Lalu, NTT pada 2015 (49,35 persen) jadi 35,64 persen pada 2018. Kemudian, Papua Barat pada tahun 2015 (41,96 persen), jadi 32,66 persen pada 2018.

Daerah lain seperti Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, rata-rata angka kemiskinan multdimensi 7-18 persen.

"Sebaran kemiskinan multidimensi di kota daerah Timur menunjukkan kota-kota di provinsi Papua, Maluku, dan NTT masih parah. Di kawasan Indonesia Timur, Papua dan Maluku tak banyak mengalami perubahan," kata peneliti Prakarsa, Rahmanda M. Thariq, dalam diskusi 'Jelang Debat Pemungkas Pemilihan Presiden 2019', di Madame Delima, Jakarta, Kamis (11/4).

Secara nasional kemiskinan multidimensi di Indonesia sejumlah 8,2 persen. Hal ini lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan versi BPS sejumlah 9,82 persen pada 2018.

"Pada tahun 2018, angka kemiskinan mutlidimensi 8,2 persen. Bila dibandingkan dengan kemiskina moneter, angka ini lebih rendah," ucap Dwi Rahayu Ningrum

Perbedaan hasil survei ini, kata dia, karena IKM yang digunakan dalam penelitian Prakarsa menggunakan 8 indikator yang dianggap mencerminkan kondisi kehidupan seseorang.

Indikator ini terdiri atas sanitasi, air minum layak, asupan gizi balita, keikusertaan pendidikan pra sekolah, keberlanjutan sekolah, sumber penerangan, bahan bakar memasak, dan kondisi tempat tinggal.

Selain itu, lanjut dia, metode perhitugannya berbeda dengan kemiskinan moneter yang biasa dihitung berdasarkan kemampuan konsumsi atau kebutuhan dasar masyarakat.

Sebab, kata Dwi, metode yang biasa digunakan oleh BPS ini memandang kemiskinan sebagai mereka yang hanya memiliki rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan (GK).

"Ada peningkatan perbaikan dari kondisi kebutuhan dasar masyarakat miskin," tambah Dwi.

Selain itu, Perkumpulan Prakarsa mencatat sepanjang 2015-2018, kemiskinan yang diukur menggunakan IKM tak banyak mengalami perbaikan.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hard news
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali