Menuju konten utama

Prahara GBHN: Inkonsistensi PDIP & Kemungkinan Pemakzulan Presiden

GBHN dihapus di era Megawati tak lama setelah Gus Dur dilengserkan. Saat ini Megawati dan PDI-P ingin menghidupkannya kembali.

Prahara GBHN: Inkonsistensi PDIP & Kemungkinan Pemakzulan Presiden
Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik pada penutupan Kongres V PDI Perjuangan di Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (10/8/2019). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz.

tirto.id - Megawati Soekarnoputri memimpin langsung anak buahnya di DPR untuk satu tujuan: mengembalikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah ditinggalkan Gus Dur dan Megawati sendiri. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR dan MPR lalu sepakat bahwa GBHN diperlukan.

Jika ini menjadi kenyataan, Indonesia berpeluang kembali pada masa Orde Baru. Di zaman itu, GBHN muncul sebagai target dan program pemerintahan selama lima tahun ke depan. MPR merancang GBHN dalam Sidang Umum kemudian menyerahkannya kepada Presiden untuk dilaksanakan. Mekanisme macam ini punya keuntungannya sendiri: presiden jadi tak bisa semena-mena, karena apa yang dilakukannya selalu dalam pengawasan MPR, dan bila melenceng, dia bisa dimakzulkan.

Tapi tentu saja ideal macam itu cuma terjadi di atas kertas. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Soeharto bisa melakukan apa saja.

Menurut Stefan Eklöf Amirell dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003), setidaknya ada tiga alasan GBHN zaman Orde Baru dibenci dan tak efektif. Pertama, karena adanya kemungkinan kolusi antara MPR dan presiden. Kedua, masukan dari kelompok minoritas tak terakomodasi. Ketiga, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi dengan kewenangan memberhentikan presiden tak relevan dengan sistem presidensial dan MPR berada di atas UUD dan konstitusi.

Dosen Universitas Linaeus, Swedia itu menambahkan bahwa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sempat berusaha mengganti draf GBHN pada 1993. Dasarnya, mereka menganggap ada kegagalan pembangunan Soeharto selama kurang lebih 25 tahun dia berkuasa dan perlu dicatat dalam GBHN tahun 1993-1998.

Eklöf mencatat, anggota DPR dari PDI, Aberson Marle Sihaloho, mendeteksi kegagalan itu ada pada kesenjangan ekonomi, pembiaran praktik bisnis yang tidak adil, ketidakmampuan mengelola sumber daya alam, serta ketergantungan pemerintah pada utang luar negeri.

Namun permohonan ini kemudian tidak diakomodasi oleh Golkar, pemilik suara mayoritas di MPR, yang waktu itu menjadi kendaraan politik Soeharto.

Pada 1998 pun masukan PDI hanya dianggap angin lalu. PDI berusaha mengadakan aturan pembatasan masa jabatan presiden—suatu produk hukum yang bisa menjungkalkan Soeharto jika dia terbukti gagal—dan memasukkan aturan pemilu ke dalam GBHN. Hanya saja, MPR tak menganggap serius masukan tersebut.

GBHN akhirnya hanya berisi rancangan dari Golkar dan Soeharto terpilih kembali untuk keenam kalinya. Pada Mei 1998 kekuasaan Soeharto baru bisa terhenti setelah ada gerakan menuntut reformasi.

MPR yang selama itu berkuasa sebenarnya punya kewenangan memakzulkan presiden, tapi memilih diam saja ketika Soeharto belum berhasil mewujudkan GBHN melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-VI. Bahkan segala penyelewengan kekuasaan yang dilakukannya, seperti penggangsiran dana negara melalui Yayasan Supersemar sebesar Rp4,4 triliun, dibiarkan MPR.

Widayati, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, dalam buku Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum (2015), mengungkap bahwa pemangku jabatan di MPR memang bermasalah karena cara pengisian anggota MPR oleh Soeharto. Sang Jenderal punya kewenangan mengangkat utusan golongan dan menambah loyalisnya di MPR dengan mudah.

"Cara pengisian utusan golongan mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan Presiden sebagai pihak yang mengangkat," catat Widayati.

Setelah Soeharto lengser, MPR mengamendemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Amendemen ketiga pada 9 November 2001 memutuskan penghapusan GBHN. Penghapusan ini kemudian memutus kewenangan MPR di pasal lainnya, yaitu memberhentikan presiden jika tindakannya bertolak belakang dengan haluan negara.

MPR pun menjadi macan ompong. Mereka masih melantik presiden, namun tidak punya kuasa untuk memberhentikan dan presiden tak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Beberapa pihak menyadari ini, tapi toh MPR, yang dipimpin Amien Rais, sepakat menghapus GBHN.

Megawati sebagai presiden dan Ketua Umum PDIP tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan sengit terhadap perubahan itu.

Inkonsistensi Megawati dan PDIP

Penolakan PDIP tiba-tiba muncul di tahun 2002 kala amendemen keempat hendak dilaksanakan. Berdasar laporan Gatra, rombongan PDIP, yang di dalamnya terdapat Taufiq Kiemas, suami Megawati, tidak mau menyetujui poin-poin amendemen ketiga dan keempat.

Yang dipermasalahkan PDIP ternyata bukan GBHN, melainkan amendemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tentang "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar." Sebelumnya, kata-kata “dilaksanakan” berisi “dilaksanakan oleh MPR.”

Hitung-hitungan Gatra kala itu, bila memang terjalin koalisi antara PDIP, fraksi antar golongan, fraksi TNI-Polri, dan suara lain yang masih belum memantapkan sikap, bisa saja proses amendemen keempat terganjal.

Amien Rais tidak terima. Dia mengingatkan bahwa amendemen sebelumnya sudah disepakati seluruh fraksi partai politik dan utusan golongan, termasuk TNI-Polri. Dia pun menuding ada maksud lain di balik manuver menghambat amendemen.

"Bisa jadi, gerakan mereka hanya untuk kepentingan jangka pendek sebagai hasil operasi siluman itu," kata Amien.

Seminggu sebelum pengetukan amendemen keempat, kemarahan Amien surut. Wakil Ketua MPR dari PDIP, Sutjipto, membawa kabar yang membuat Amien tersenyum. Dia menyempatkan diri bertemu dengan Megawati sebelum rapat pimpinan MPR.

Dalam pertemuan itu, Amien mengaku Sutjipto telah memberi kepastian bahwa PDIP menyetujui amendemen. Bukan hanya Megawati, Partai Golkar pun demikian.

"Kedua pimpinan partai itu minta agar tidak sampai deadlock," ujar Amien.

Pada 10 Agustus 2002 amendemen keempat dan terakhir sampai hari ini pun disahkan.

Di tahun 2004, ketika Megawati masih jadi presiden, dia sendiri yang meneken UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan beleid yang mengharuskan negara membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dalam jangka waktu 20 tahun ke depan. Pemerintah juga punya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). RPJP dan Repelita inilah yang menjadi pengganti GBHN.

Lalu Susilo Bambang Yudhoyono, presiden setelah Megawati, mengesahkan UU Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025. Jika Megawati mengatakan “pentingnya GBHN sebagai pedoman bagi seluruh penyelenggara negara dan rakyat Indonesia”, lantas apa arti RPJP yang telah dibentuk di saat ia berkuasa?

Beberapa tahun kemudian, pada 2013, Megawati, sebagai oposisi pemerintah, membawa narasi pemberlakuan kembali GBHN. Dia menyebut rencana kerja dan arah pembangunan rezim Soeharto lebih baik dari pemerintahan SBY.

Tiga tahun berikutnya ketika PDIP jadi partai penguasa, Rakernas PDIP 2016 menyepakati adanya GBHN. Narasi ini terus menguat hingga PDIP kembali berkuasa dengan memperoleh suara nasional terbanyak pada Pileg 2019. Ini menjadi momentum besar bagi PDIP untuk menyepakati amendemen.

GBHN dan Pemakzulan Presiden

Salah satu kekhawatiran yang muncul soal kembalinya GBHN melalui amendemen UUD 1945 adalah kinerja presiden bisa jadi hanya cerminan dari kepentingan partai politik di DPR dan perwakilan DPD. Presiden Joko Widodo juga berpikir demikian.

“Pak presiden tanya mengenai amendemen terbatas itu. Apakah nanti presiden itu mandataris MPR? Itu enggak. Saya bilang terbatas, amendemen terbatas," kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/10/2019) seperti dilansir CNN.

Padahal, presiden-wakil presiden punya visi-misi sendiri untuk memimpin pemerintahan lima tahun ke depan. Namun pria yang akrab dipanggil Zulhas itu mengaku amendemen tak akan berlaku demikian; sifatnya hanya pandangan umum 100 tahun ke depan.

Kekhawatiran Jokowi memang bisa dipahami. Presiden Gus Dur pernah dilengserkan MPR melalui sidang istimewa dengan landasan formal dari GBHN. Melalui GBHN, MPR bertindak sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memakzulkan presiden.

Infografik Megawati dan GBHN

Infografik Megawati & GBHN. tirto.id/Fuad

Alasan melengserkan Gus Dur ada dua: MPR tidak terima karena ketetapannya tidak dipatuhi Presiden dengan mengeluarkan Keputusan Presiden dan DPR menganggap Gus Dur telah melenceng dari haluan negara (GBHN).

Sidang istimewa MPR mulanya diagendakan tanggal 1 Agustus 2001. Gus Dur yang terdesak kemudian melakukan manuver terakhir dengan mengeluarkan Dekrit Presiden. Isinya adalah pembekuan DPR/MPR, mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat, menyusun badan untuk pemilu, dan membekukan Partai Golkar.

Dekrit inilah yang digunakan sebagai dalih bagi lawan-lawan politik Gus Dur di DPR/MPR untuk menyegerakan pelengserannya. Amien Rais mempercepat sidang istimewa pada siang hari itu juga. Dalam catatan jurnalis Andreas Harsono, “Pukul 16.53 MPR resmi memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden karena dinilai melanggar haluan negara, Megawati Soekarnoputri jadi penggantinya.”

Pelanggaran tersebut merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 49/Polri/2001 tanggal 30 Juni 2001. Keppres Gus Dur berisi tentang pemberhentian Jendral (Pol.) Surojo Bimantoro dari jabatan Kapolri dan pengangkatan Bimantoro sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia.

Keppres tersebut dianggap DPR/MPR mengabaikan Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000. Isi TAP MPR itu mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Sebanyak 601 anggota MPR akhirnya sepakat: Gus Dur harus dimakzulkan. Pemakzulan oleh MPR ini adalah yang terakhir sepanjang sejarah Indonesia sampai sekarang.

Setelah Gus Dur lengser, MPR justru melakukan empat amendemen yang salah satunya menghilangkan GBHN. MPR juga tidak punya kewenangan lagi untuk memakzulkan presiden. Hal ini, secara tak langsung, sebenarnya mengamankan posisi kepresidenan Megawati.

Niatan memberlakukan kembali GBHN hari ini sudah lamat-lamat muncul sejak dua bulan lalu. Gerindra dan Nasdem menginginkan adanya amendemen secara menyeluruh. Sedangkan PDIP, PAN, dan PKB setuju sebatas menghidupkan GBHN. Demokrat menjadi satu-satunya yang tegas menolak amendemen, sementara PKS baru mengisyaratkan setuju pada amendemen terkait GBHN.

Jika GBHN terealisasi hari ini, boleh jadi Jokowi atau siapapun presiden di masa mendatang akan merasakan impeachment yang sama seperti Gus Dur. Kendati PDIP sepakat tak ingin MPR punya kewenangan memakzulkan dan hanya membuat GBHN, masalahnya siapa yang menjamin amendemen ini tak akan membuka pintu amendemen untuk pasal yang lain di jilid berikutnya?

Baca juga artikel terkait GBHN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan