Menuju konten utama

Prabowo-Sandi Tidak Otomatis Menang Pilpres Meski Kecurangan TSM

Jika terbukti ada kecurangan yagn sifatnya TSM, MK akan melakukan pemilihan suara ulang yang mungkin tak mengubah hasil.

Prabowo-Sandi Tidak Otomatis Menang Pilpres Meski Kecurangan TSM
Tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bersama Hashim Djojohadikusumo mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/5/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan tim hukumnya bersikeras kalau Pilpres 2019 penuh dengan kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif (populer disingkat TSM). Karenanya mereka menilai hasil pilpres, yang memenangkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, tidak sah.

Dalam dokumen permohonan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diperoleh Tirto, mereka menilai ada pelanggaran terstruktur karena yang melakukan kecurangan adalah aparat negara secara bersama-sama; sistematis karena menurut mereka pelanggaran direncanakan secara matang; dan masif karena dampak pelanggarannya sangat luas hingga memengaruhi seluruh hasil pemilu.

Pada bagian akhir dokumen permohonan, tim hukum lantas meminta beberapa hal ke MK, termasuk "menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024." (hlm. 36).

Bagi Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, permintaan ini secara redaksional kurang tepat karena MK tidak bisa menetapkan Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Yang lebih tepat adalah MK memerintahkan KPU mengubah keputusannya.

Ini sesuai dengan Pasal 475 ayat 4 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa "KPU wajib menindaklanjuti putusan MK."

"Paling MK nanti memutuskannya begini: 'memerintahkan untuk memindahkan ketetapannya sesuai keputusan MK.' MK yang memerintahkan KPU, yang menetapkan [Presiden-Wakil Presiden] itu KPU," tambahnya.

Selain tidak tepat secara redaksional, yang biasa diputuskan MK jika dalam persidangan nanti terbukti ada pelanggaran yang sifatnya TSM adalah pemilihan suara ulang di daerah-daerah tertentu. Syaratnya, selisih suara yang disengketakan akan mengubah hasil akhir.

Masalahnya, Feri bilang tim hukum Prabowo pasti akan kesulitan membuktikan ini. Dalam konteks Pilpres 2019, tim Prabowo-Sandiaga harus membuktikan bahwa setengah plus satu dari 16,9 juta suara (selisih suara) mestinya jadi milik mereka, atau kira-kira 8,45 juta suara.

Sebagai gambaran, Daftar Pemilih Tetap di Banten hanya 8 juta, dan DKI Jakarta 7,7 juta. Tak ada DPT yang lebih dari 9 juta kecuali Jawa Barat (33 juta), Jawa Timur (30 juta), Jawa Tengah (27 juta), dan Sumatera Utara (9,7 juta).

Pada gugatan tahun 2014, tim Prabowo bilang mereka menemukan kecurangan di 52 ribu TPS. Namun saat sidang di MK, yang dibawa hanya beberapa boks saja (mereka pernah bilang akan membawa bukti sebanyak 10 truk kontainer, tapi belakangan direvisi dengan bilang "kotak kontainer, bukan truk kontainer"). Mereka akhirnya kalah karena tak bisa menunjukkan bukti baik secara kuantitatif atau kualitatif.

Feri bilang, tahun ini tim Prabowo wajib membawa alat bukti sekurang-kurangnya formulir C1 dari 100 ribu TPS, yang masing-masing membuktikan ada 100 kecurangan.

Tim hukum sebenarnya meminta MK untuk setidaknya memerintahkan KPU menyelenggarakan pemungutan suara ulang, jika memang tak bisa menetapkan Prabowo-Sandiaga sebagai presiden-wakil presiden. Ini termaktub dalam poin terakhir permohonan (hlm. 36).

Namun seperti yang dikatakan Feri, memenangkan pemilihan ulang adalah satu perkara, membuktikan bahwa memang ada pelanggaran yang TSM agar terjadi pemilu ulang adalah perkara lain yang tak kalah berat untuk dibuktikan.

Saat mengajukan permohonan sengketa ke MK pada 25 Mei lalu, tim hukum Prabowo mengajukan 51 berkas alat bukti—yang akan dilengkapi kemudian—untuk meyakinkan hakim bahwa memang ada kecurangan pemilu yang sifatnya TSM.

Di antara yang mereka lampirkan adalah tautan-tautan dari situs berita media daring. Feri bilang bukti-bukti itu tidak kuat sama sekali.

"Bagaimana bisa menang kalau alat buktinya tidak kuat. Lalu karena hakim memutus beda lalu mereka menuduh saja bahwa hakimnya bermasalah. Dari awal sudah dibangun skenario itu. Itu tidak dibenarkan," tambah Feri.

Optimis

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengatakan jika ada pemilu ulang, suara mereka akan lebih banyak 9 juta dari yang didapat sekarang (68.650.239 suara). Meski begitu Andre tak bisa menyebut spesifik di daerah mana saja dia bisa dapat suara sebanyak itu.

"Nanti lah kami akan buktikan pas persidangan di MK," kata Andre kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2019).

"Kalau daftar ke MK, berarti optimis kami bisa menang. Selain itu kami menegaskan bahwa langkah kami konstitusional," tambahnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino