Menuju konten utama

Prabowo dan Jokowi Disebut Tidak Kritis dengan Masalah Difabel

Fajri menyampaikan, ada tiga kelompok isu yang sebenarnya ditunggu untuk diperbincangkan oleh para pasangan calon.

Prabowo dan Jokowi Disebut Tidak Kritis dengan Masalah Difabel
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) berjalan bersama capres no urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). ANTARA FOTO/Setneg-Agus Suparto/foc.

tirto.id - Isu seputar permasalahan difabel dalam debat perdana capres-cawapres dinilai masih bersifat formalitas dan belum mampu menyentuh permasalahan intinya.

Peneliti hukum terkait disabilitas dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Fajri Nursyamsi menyatakan, pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga sama-sama tidak mampu mengkritisi permasalahan disabilitas.

“Respons kedua paslon yang tidak maksimal karena tidak ada yang menyertakan data-data terbaru, yang sebenarnya sudah banyak yang bisa dielaborasi saat ini. Tidak ada juga yang saling mengkritisi visi misi tertulis dari masing masing paslon yang keduanya menyertakan isu disabilitas di dalamnya,” kata Fajri kepada reporter Tirto pada Jumat (18/1/2019).

Menurut dia, persoalan difabel yang diangkat oleh kedua kandidat Pilpres tidak mewakili persoalan global dalam hukum disabilitas. Padahal, kata Fajri, ada banyak poin penting yang perlu untuk diperbincangkan.

Fajri menyampaikan, ada tiga kelompok isu yang sebenarnya ditunggu untuk diperbincangkan oleh para pasangan calon. Pertama, terkait dengan pembentukan delapan Peraturan Pemerintah (PP) implementasi dari Undang-Undang Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas.

“8 PP ini deadline-nya April 2018, sudah lewat, dan berarti pemerintah terlambat membentuk produk hukum yang menjadi amanat suatu UU. Secara teori, seharusnya PP tidak menghambat implementasi UU. Tapi pada praktiknya birokrasi tidak berani melaksanakan UU, apabila tidak ada aturan lebih detail. Itu yang terjadi saat ini terhadap UU Penyandang Disabilitas,” jelas Fajri.

Kedua, terkait dengan pembentukan Komisi Nasional Disabilitas yang merupakan amanat dari UU Penyandang Disabilitas. Ketiga, isu sektoral, terutama terkait akses pendidikan, akses pekerjaan, dan akses terhadap keadilan para penyandang disabilitas.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu. Menurut dia, ketiga hal tersebut memang menjadi sesuatu yang ditunggu oleh pihak disabilitas.

“Cuma memang peraturan pemerintahnya itu belum turun. Untuk memastikan apakah mereka menjalankannya dengan benar atau enggak, [perlu] ada peraturan pemerintah, serta satu peraturan presiden terkait komisi nasional disabilitas,” kata Maulani.

Maulani juga menjelaskan, lembaganya membutuhkan kartu identitas penyandang disabilitas. Melalui kartu tersebut, diharapkan akses untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah akan dipermudah.

“Pada saat-saat tertentu, ketika mau mengakses pelayanan pemerintah yang berkaitan dengan disabilitas, kami suka menemukan kesulitan. Misalkan kalau mau lamar kerja, pemerintah kan suka kasih salah satu persyaratannya kan memberikan surat yang menyatakan bahwa kita seorang penyandang disabilitas. Kemudian hal-hal ini membutuhkan biaya. Nah, dengan kartu ini diharapkan jadi dipermudah,” kata Maulani.

Selain itu, Maulani juga mengatakan bahwa kartu tersebut, yang diharapkan terintegritas langsung dengan data kependudukan dan pencatatan sipil, dapat mendata jumlah disabilitas. Pasalnya, selama ini, Maulani sulit mencari data yang konkrit terkait jumlah disabilitas.

Jokowi-Ma’ruf Text Book, Prabowo-Sandiaga Tak Sentuh Masalah Global

Fajri menilai pasangan Jokowi-Ma’ruf memiliki cukup banyak data dan capaian, khususnya bagi Jokowi saat menjabat sebagai Presiden. Namun sayangnya ia tidak memanfaatkannya dengan baik.

“Saya menilai pasangan calon nomor satu menjawab sangat normatif dan textbook, walau hasilnya memang menjadi sistematis dan substantif,” kata Fajir.

Padahal, kata Fajri, sebagai petahana, seharusnya Jokowi lebih mampu dalam mengelaborasikan terkait keberhasilan Undang-Undang Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas, atau capaian Asian Para Games.

Di sisi lain, untuk pasangan Prabowo-Sandiaga, kata Fajri, mampu menjabarkan persoalan tidak secara normatif dan text book, dan mampu mengangkat contoh kasus. Namun kasus yang diangkat justru tidak mencerminkan persoalan dari difabel secara global.

“Di visi misi, tertulis, terpapar, tentang isu disabilitas dengan baik, tapi enggak dielaborasi, malah angkat satu kasus saja,” kata Fajri.

“Saya punya harapan besar kedua paslon dapat mengelaborasi isu disabilitas dalam berbagai kesempatan, minimal terkait apa yang sudah mereka tuliskan dalam visi dan misi tertulis. Kalau itu sudah mampu dielaborasi, maka sudah cukup baik, minimal menandakan mereka paham apa yang mereka tulis sendiri,” kata Fajri.

Selain itu, Fajri mengharapkan agar para paslon dapat mengaitkan berbagai isu dengan perspektif disabilitas. Misalnya, ketika membahas isu pekerjaan dan pendidikan pada debat berikutnya, diharapkan kebutuhan kelompok disabilitas ikut disuarakan, dengan menyebutkan apa program konkret implementasinya yang didasarkan pada data yang ada.

“Saya juga berharap para paslon mengkritisi program paslon lawan terkait isu disabilitas, sehingga dapat terjadi pertukaran informasi yang diharapkan akan saling melengkapi dan dilaksanakan oleh siapa pun nanti paslon yang terpilih. Apabila itu terjadi, maka juga akan menjadi pembelajaran yang berharga bagi para tim sukses, dan masyarakat umum,” tutup Fajri.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto