Menuju konten utama

PPKM Diperpanjang, Celios: Harus Ada Aturan Larangan PHK Karyawan

Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai, pemerintah perlu melarang pengusaha yang sudah mendapatkan insentif untuk tidak melakukan PHK pada karyawannya.

PPKM Diperpanjang, Celios: Harus Ada Aturan Larangan PHK Karyawan
Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.

tirto.id - Pemerintah secara resmi memperpanjang jadwal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 2, 3, dan 4 untuk Pulau Jawa dan Bali dari 10-16 Agustus 2021. Sebelumnya, fase pertama pembatasan ketat berlaku saat PPKM Darurat pada 3-20 Juli, disusul fase kedua PPKM Level 4 (20-25 Juli), fase ketiga PPKM Level 4 (26 Juli-2 Agustus), dan fase keempat PPKM Level 4 (2-9 Agustus).

Perpanjangan masa pembatasan tersebut dinilai dapat memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Kondisi yang belum pasti sampai aktivitas masyarakat yang belum kembali normal dan akan berimbas ke arus kas perusahaan, bisa menjadi alasan pengusaha untuk melakukan PHK di masa pandemi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah perlu melarang pengusaha yang sudah mendapatkan insentif untuk tidak melakukan PHK pada karyawannya.

“Pemerintah harus memastikan pengusaha yang kakap-kakap besar tidak melakukan PHK, itu yang sebenarnya jadi masalah. [Hingga saat ini] Tidak ada legally binding (aturan yang mengikat secara hukum) bahwa kalau sudah diberikan insentif perpajakan untuk operasional, tidak boleh melakukan PHK. Nah ini kan insentif tetap dikasih dan tidak merata ke menengah bawah. Sementara yang kakapnya tetap melakukan PHK. Jadi tidak ada ikatan (secara hukum),” jelas dia kepada Tirto, Selasa (10/8/2021).

Ia menjelaskan, strategi lain yang bisa dilakukan untuk menekan potensi PHK adalah memberikan restrukturisasi kredit pada sektor prioritas, di antaranya sektor padat karya dan memberikan insentif untuk perbankan.

“Karena bank dalam kondisi terjepit ketika dia harus melanjutkan restrukturisasi berarti pencadangan meningkat dan juga labanya akan tergerus bahkan bisa rugi lagi. Nah ini yang enggak matching. Sehingga kalau diserahkan ke masing masing perbankan, maka bank otomatis tidak akan melakukan restrukturisasi kredit sebanyak 2020 lalu. Itu yang menjadi salah satu concernnya di situ,” kata dia.

Skema restrukturisasi, kata Bhima, akan memperpanjang napas pelaku usaha juga sektor usaha. Jika skema yang dilakukan saat ini tidak dibenahi, maka ia memprediksi kualitas tingkat serapan kerja diperkirakan masih rendah sepanjang tahun ini walaupun perekonomian Indonesia berhasil tumbuh positif mencapai 7,07 persen (yoy) pada triwulan II-2021.

“Untuk kualitas pertumbuhan di kuartal ke II sebenarnya rendah meski pertumbuhan sampai 7 persen,” jelas dia.

Baginya, kualitas pertumbuhan, yakni hubungan antara pertumbuhan dengan serapan tenaga kerja, lebih penting dibandingkan kualitas tingkat serapan kerja. Dia menyampaikan bahwa berbagai sektor yang bertumbuh justru pada sektor non tradable atau yang tak menghasilkan barang, seperti jasa keuangan, transportasi, perhotelan, dan perdagangan.

Sementara pada sektor tradable yang serapan tenaga kerjanya besar, disebutkan hanya sektor pertanian yang bertumbuh 0,38 persen yoy dan sektor industri sebesar 6,58 persen.

“Di kuartal ke III, tantangan lebih berat lagi untuk sektor produktif, khususnya yang pasarnya dalam negeri,” jelas dia.

Ia juga mengemukakan permasalahan angkatan kerja baru yang akan meningkatkan persaingan kerja karena ada penambahan 2-3 juta orang per tahun. Proyeksi tingkat pengangguran pada Agustus 2021 diperkirakan mencapai angka 7-7,5 persen atau meningkat 2 persen sebelum pandemi di bulan Agustus 2019.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PANDEMI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Restu Diantina Putri