Menuju konten utama

Potret Sehari-hari Sopir Metromini: Copet Saja Sudah Ogah Naik

Sopir Metromini bisa dapat Rp400-500 ribu per hari, Rp250 ribu untuk disetor ke pemilik bus, Rp50 ribu untuk beli bahan bakar, sisanya masuk ke dompetnya sendiri dan kernet.

Potret Sehari-hari Sopir Metromini: Copet Saja Sudah Ogah Naik
Sejumlah angkutan umum menunggu penumpang di Terminal Bus Blok M, Jakarta, Selasa (1/11). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Agus Santoso, Sopir Metromini adu kecepatan dengan bus Metromini yang lain di bawah kolong halte Velbak, Jalan Kiai Maja No 65 Kelurahan Kramat Pela, Kebayoran Baru. Keduanya melaju dari arah Ciledug menuju Blok M.

Agus lantas kehilangan kendali dan menabrak satu mobil Avanza di jalurnya, kemudian membanting setir menghantam pembatas jalan dan menabrak sopir GoJek dan GrabBike dari arah yang berlawanan.

Pengemudi GoJek bernama F.X. Febriantoro meninggal dunia di tempat kejadian, sedangkan korban satunya berinisial MD dibawa ke RS Fatmawati. Kecelakaan ini terjadi pada Jumat (22/12) pekan lalu.

Berdasarkan kronologi itu, kecelakaan diduga disebabkan karena faktor human error. Faktor manusia memang menjadi momok bagi layanan moda transportasi angkutan umum ini yang kerap jadi "mesin pembunuh" di jalan raya. Sudah banyak kisah dan korban berjatuhan akibat ulah sopir angkutan bus mini yang mengebut kendaraan dan ugal-ugalan dengan dalih kejar setoran sehingga mengabaikan keselamatan berkendara dan peraturan.

Data Korlantas Polri 2013 misalnya, metromini sebagai kendaraan yang mengalami pertumbuhan pelanggaran paling tinggi, pertumbuhannya sampai 700 persen selama setahun. Namun, apapun alasannya, membuat orang lain celaka dan meregang nyawa di jalan raya tak dapat dibenarkan sedikitpun.

Dalam Pasal 310 ayat (4), dijelaskan bahwa "Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta."

Tirto mencoba memotret serpihan kecil kehidupan sopir metromini di jalur Ciledug-Blok M. Soal bagaimana dan apa yang para sopir hadapi dalam keseharian menjalani profesi sopir metromini. Penggalan cerita ini dimulai dari Terminal Blok M, Jakarta Selatan.

Terjepit Perubahan dan Setoran

Waktu menunjukkan pukul 7.30, Terminal Blok M pada Minggu pagi 24 Desember 2017 masih lengang. Hanya dua dari lima bus Metromini yang terparkir dalam kondisi mesin menyala. Salah satunya milik John, 36 tahun, sopir Metromini 69 jurusan Blok M-Ciledug.

John mengaku sudah 10 tahun menjalani profesi itu. Dari Metromini trayek Lebak Bulus-Blok M, Blok M-Pondok Labu, dan sekarang Blok M-Ciledug sudah dilakoninya. Bisa dibilang Terminal Blok M sudah menjadi rumah keduanya.

"Aku tadi sudah narik dua rit (perjalanan bolak-balik dalam satu trayek). Ini mau jalan lagi. Kalau lagi enggak macet gini bisa lima rit," kata John.

Pria asal Mandailing Natal, Sumatera Utara ini mengatakan mulai mencari penumpang setiap hari setelah Subuh sampai pukul 5 sore. Lepas itu bus akan dipakai sopir lain.

"[Tapi] enggak selalu gitu sih. Kadang aku narik siang, kawanku narik pagi. Pokoknya satu bus dua sopir," kata John.

Hari ini, John mengaku tak banyak penumpang yang bisa diangkutnya. Ia menduga karena libur panjang dan orang-orang sedang berpelesir ke luar kota. "Kalau biasanya sekali jalan bolak-balik dapat lah itu Rp50-70 ribu. Tadi dua kali baru segitu boy," kata John.

Rata-rata dalam sehari John bisa mengumpulkan uang Rp400-500 ribu, sebanyak Rp250 ribu untuk disetor ke pemilik bus dan Rp50 ribu untuk beli bahan bakar. Sisanya masuk ke dompetnya sendiri.

"Kalau aku enggak bawa kernet semua punyaku. Kalau bawa ya bagi dua lah itu uang," kata John, sambil tertawa.

Metromini yang dikendarai John sudah tua, masa operasinya sekitar 25 tahun. Perawatan bulanan yang membuatnya tetap mampu menerjang jalanan ibu kota, meskipun dengan tenaga seadanya.

Tak ada dasbor di bus yang dikemudikan John. Alat pemutar musik, tape menggantung bersangga besi. Kursi-kursi penumpang penuh coretan dan sebagian sobek dengan busa menyembul keluar. Dinding bus berkarat dan jendela mengeluarkan derit aneh saat dibuka dan ditutup.

Saat melintas jembatan layang Kebayoran Lama, terasa betul tuanya bus itu. Mesinnya menggerung dan badan mobil bergetar. Asap hitam dari knalpot yang sepanjang jalan keluar makin mengepul.

"Jangan kau tanya soal mogok. Aku pernah sekali jalan mogok tiga kali. Penumpang ngamuk-ngamuk. Cuma bisa sabar lah aku kalau sudah begitu boy," kata John.

Perkara mesin dan "kejaran" setoran adalah masalah terbesar John sebagai sopir Metromini. Keduanya sekaligus kerap jadi dalih sopir Metromini kebut-kebutan di jalanan. Sebab hanya dengan itu sopir bisa mengejar lebih banyak rit untuk menutup setoran.

"Musibah siapa yang tahu," kata John, ketika saya tanya soal kecelakaan yang terjadi Jumat kemarin. Menurutnya sopir ngebut semata karena kejar setoran.

Terlebih, kata John, sekarang pilihan transportasi umum lebih beragam. Dari mulai ojek daring sampai bus TransJakarta. Pembukaan Koridor 13 pada Agustus lalu juga berakibat pada penghasilan hariannya. Sekarang untuk mendapat penumpang lebih susah dan harus ngetem lebih lama.

Koridor 13 TransJakarta melayani perjalanan dari Puri Beta 2 sampai Kapten Tendean. Jalan yang dilalui oleh koridor ini adalah Jalan Ciledug Raya, Jalan Kebayoran Lama, Jalan Kyai Maja, Jalan Sisingamaraja, Jalan Trunojoyo, Jalan Wolter Monginsidi, dan Jalan Kapten Tendean.

"Buat dapat lima rit makin sulit. Kalau jalan [penumpang] kosong sayang bensin," katanya.

Saat ditanya soal apa yang akan dilakukan pemilik bus jika sopir tidak bisa menutupi setoran, John bilang bus akan ditarik dan dialihkan ke sopir lain. Bila itu sampai terjadi ia tidak yakin bisa menemukan pekerjaan lain, apalagi ia tidak punya ijazah sekolah.

"Anakku dua. Yang gede udah sekolah. Mau dikasih makan apa mereka?" kata John.

Keluhan yang sama juga disampaikan Supriyanto, 45 tahun. Ia mengemudikan Metromini dengan trayek yang sama dengan John. Saat ini, kata dia, mencari penumpang lebih sulit. Supriyanto mengaku sudah dua kali dalam seminggu tidak bisa memenuhi setoran.

"Bos masih enak. Kalau begini terus ganti sopir," kata pria yang akrab dipanggil Gatot ini karena perawakannya yang kekar dan asalnya dari Jawa, seperti tokoh pewayangan Gatot Kaca.

Gatot mengaku ojek daring dan bus TransJakarta koridor 13 telah mengurangi jumlah pendapatan hariannya. Dulu dalam sehari Gatot bisa mengantongi hasil kotor sebesar Rp600 sampai 700 ribu, dengan penghasilan bersih yang masuk ke dompet pribadi sekitar Rp300 ribu.

"2013 loh itu. Sekarang ya paling pego (Rp150 ribu) sampai Rp200 ribu," kata Gatot.

Saya naik Metromini yang dikemudikan Gatot. Tarifnya Rp7000. Sepanjang jalan antara Ciledug-Kebayoran Lama, Gatot hanya empat kali berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Jumlah penumpang juga tidak penuh.

"Copet aja sekarang ogah naik," kelakar Gatot.

Seretnya pendapatan sesekali terselamatkan kalau ada carteran mengantar rombongan pengiring pengantin atau mahasiswa yang demonstrasi. Biasanya, ia akan mematok harga lumayan tinggi, sebesar Rp500 ribu untuk perjalanan pergi-pulang, termasuk bensin.

"Kalau jaraknya jauh banget ya nambah. Yang rewel biasanya mahasiswa," kata Gatot.

Pengusaha Bus Metromini Menyadari Turunnya Omzet

Turunnya omzet juga disadari oleh pemilik bus. Rimhot, salah satu pengusaha Metromini, mengatakan penurunan penghasilan mulai dirasakannya sejak empat tahun lalu. Sejak saat itu pula, ia mengaku belum pernah menaikkan jumlah setoran.

"Masih Rp250 ribu sampai sekarang setorannya," kata Rimhot pada saya.

Menurut Rimhot penurunan omzet terjadi karena dua sebab. Pertama, munculnya moda transportasi baru. Kedua, regulasi pemerintah yang membatasi operasi Metromini.

"Mobil saya tua semua. Kalau peraturan kan maksimal usia 10 tahun. Jadi kalau mau memperpanjang izin trayek harus korbankan satu mobil," kata Rimhot.

Rimhot punya lima bus Metromini dengan trayek yang berbeda-beda. Dari lima bus itu ia mempekerjakan 10 sopir dengan pembagian satu bus untuk dua sopir. Sehari ada dua shift. Satu sopir bekerja 12 jam.

Penghasilan harian Rimhot sekitar Rp3-5 juta, atau Rp90-110 juta per bulan. "Dulu bisa Rp8 juta per hari," akunya.

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan keluarga, uang itu juga dipakai untuk perawatan bus dan hal tidak terduga lain.

Rimhot mengaku tidak pernah memaksakan sopir-sopirnya mengejar setoran. Ia sadar banyaknya alternatif transportasi umum membuat tidak semua kursi penumpang bisa selalu terisi.

"Sama-sama tahu saja lah. Saling enak saya dan sopir," katanya.

Hanya saja, kalau memang dalam jangka waktu tertentu seorang sopir tidak menunjukkan niat baik untuk memenuhi setoran, maka Rimhot tetap akan menggantinya dengan orang lain.

"Banyak yang mau jadi sopir. Tapi biasanya ambil dari kernet. Yang udah kenal-kenal aja."

Harapan Rimhot saat ini adalah pemerintah bisa memperhatikan nasib Metromini. Pada dasarnya dirinya tidak menolak kalau harus diintegrasikan dengan TransJakarta. Namun menurutnya, pengintegrasian itu jangan sampai merugikan pengusaha Metromini dan sopir.

"Kami menunggu ada peremajaan. Terintegrasi memang satu-satunya solusi. Kami tidak mungkin bersaing dengan TransJakarta. Tapi pemerintah juga harus berpihak pada kami," kata Rimhot.

Dengan segala ragam persoalan yang menghimpit moda transportasi umum ini, gagasan perombakan sistem angkutan berbasis bus mini perkotaan sudah ada, hanya perlu pelaksanaan oleh pemerintah. Metromini harus hadir dalam tata kelola jauh lebih baik dari mulai armada fisik hingga manusia-manusianya, untuk menghadapi persaingan dengan moda lain dan mengakhiri cap mereka sebagai "mesin pembunuh" di jalan raya.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI UMUM atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino