Menuju konten utama

Potret Gaya Jalanan Sumber Inspirasi

Mulai dari tema metaverse, isu iklim yang semakin tidak menentu, sampai inspirasi film Annie Hall dan musik punk, jadi tema gaya jalanan tahun ini.

Potret Gaya Jalanan Sumber Inspirasi
Ilustrasi foto saat fotografer mendokumentasikan fesyen seseorang yang melintas di jalanan di kota besar yang sering menjadi sumber inspirasi rumah mode maupun desainer terkenal. foto/istockphoto

tirto.id - Telah lama fotografer fesyen tidak hanya membidikan kameranya di peragaan busana bertaraf Internasional yang dilaksanakan di panggung fesyen kota New York, Paris, London, Milan, namun juga merekam orang biasa di jalan-jalan umum. Mereka mengincar berbagai gaya pakaian orang-orang yang unik dan berbeda dengan gaya yang ditawarkan high fashion.

Jalanan Sebagai Inspirasi

Mulai dari desainer seperti John Bartlett, Diane Von Furstenberg, Karl Lagerfeld, sampai kurator Costume Institute di Metropolitan Museum of Art, Harold Koda dan juga kolumnis fesyen Vogue, Anna Piaggi – semua praktisi fesyen ini – sepakat bahwa inspirasi mode banyak didapatkan dari fesyen jalanan.

Jalanan, menurut Harold Koda, selalu menjadi sumber inspirasi yang kuat bagi para desainer. Jalanan juga menurutnya menjadi informasi sosial yang mendasari gerakan mode.

''Sejak abad ke-18, informasi datang dari jalan lalu ke salon,'' ujar Anna Piaggi. Perputaran siklus fesyen terjadi pada lingkar saat petani, pelayan kecil, melihat gaun para wanita, dan menyonteknya dengan cara mereka sendiri. Kemudian para dayang istana melihat cara berpakaian pelayan kecil, dan kemudian memasukkan beberapa elemen ke dalam pakaian para ratu, begitu seterusnya. John Bartlett juga mengakui bahwa ia sering sengaja turun ke jalanan dan mencari inspirasi, ''Terutama memperhatikan orang-orang kelas bawah yang kurang sadar diri, namun menonjol.''

Gaya jalanan sebenarnya selalu ada dan dianggap sebagai salah satu fenomena abad ke-20. Hal ini terlihat dari dokumentasi foto gaya jalanan dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa fesyen jalanan selalu unik, dinamis, dan menjadi cerminan peristiwa yang terkait dengan sosial politik maupun ekonomi masyarakat saat itu.

Sekitar tahun 1910 misalnya, arsip foto menunjukkan gaya perempuan yang pada masa tersebut hidup di era yang konvensional daripada masa sekarang. Oleh karena itu, perempuan saat itu berpakaian dengan mode yang lebih konservatif, mengenakan rok panjang dan atasan dengan garis leher tinggi. Perempuan biasanya juga mengenakan korset pinggang di bawah gaun mereka.

Pasca Perang Dunia II, di pertengahan tahun 1950-an, kehadiran gaya jalanan baru secara signifikan diakui, dihargai, dan ditiru.

Resesi Ekonomi sebagai Latar

Gaya jalanan di London pasca Perang Dunia II menjadi konsep awal genre fesyen ini, yaitu tampil dengan elemen-elemen unik. Namun, pada era ini, faktor yang menjadi pemicu busana keseharian yang unik lebih disebabkan karena keterbatasan sumber daya. Pasca Perang Dunia II, perekonomian dunia khususnya Inggris, porak poranda. Berbagai bahan baku, termasuk pakaian, harganya sangat tinggi sehingga hanya terjangkau golongan masyarakat tertentu.

Warga sipil kelas menengah dan bawah di London, harus pandai memutar otak untuk bisa memiliki busana yang layak. Dengan keterbatasan dana, masyarakat dipaksa kreatif untuk memiliki baju. Mereka akhirnya banyak memanfaatan bahan bekas, misalnya aksesori yang dibuat dari komponen pesawat terbang, gaun-gaun atau scarf yang terbuat dari kain bekas parasut.

Di tahun 1960-an dan 1970 – an, gaya jalanan di London yang unik semakin berkembang karena pengaruh budaya subkultur, dan komersialisasi yang semakin marak. Keinginan untuk tampil beda dan keluar dari selera umum pada generasi muda (saat itu baby boomers), menghasilkan berbagai aliran subkultur seperti hippie, punk, gotik, atau bikers, yang akhirnya berpengaruh juga pada gaya jalanan. Setiap gaya jalanan ini, memberikan alternatif gaya hidup baru dari sisi nilai dan keyakinan, filosofi dan, juga komunitas yang diharapkan generasi muda.

Di Jepang, fenomena street fashion juga dipicu oleh resesi ekonomi, yang terjadi pada 1980-an. Di bawah kondisi sosial dan ekonomi ini, gaya jalanan Jepang menjadi semakin kreatif dan inovatif, seolah-olah para remaja ingin menantang dan mendefinisikan kembali gagasan yang ada tentang apa yang modis dan estetis.

Fesyen jalanan di Jepang didominasi oleh perempuan, dan menjadi lebih dikenal pada pertengahan 1990-an karena gadis remaja muda yang dikenal sebagai Kogal (disingkat dari kokosei gyaru, gadis SMA), yang memusatkan kehidupan mereka di sekitar stasiun kereta Harajuku, salah daerah di Shibuya, Tokyo.

Pada perkembangannya, Harajuku juga dikenal karena kemunculan para remaja dan pemusik jalanan yang berdandan eksentrik, bahkan dianggap aneh oleh sebagian orang karena gaya busananya yang eklektik, berani menabrakkan berbagai motif, warna, elemen, dan tekstur. Pesan yang dibawa oleh generasi Harajuku ini pun sama: bermuatan kebebasan yang lepas dari norma dan aturan yang mengekang.

Infografik Serba Serbi Street Style

Infografik Serba Serbi Street Style. tirto.id/Quita

Kontribusi Jepretan Fotografer

Selama satu dekade terakhir istilah “street fashion” umum digunakan di seluruh dunia sebagai representasi fesyen anak muda.

Street style atau street fashion pada perkembangannya, mengacu pada gaya busana yang diciptakan oleh masyarakat umum, yang tidak berkiblat pada tren. Orang-orang tersebut mencampur gaya mereka sendiri dengan menggunakan beberapa elemen mode untuk mengidentifikasi diri mereka. Gaya jalanan bisa datang dari siapa saja tanpa memandang status kelas. Genre fesyen ini bersifat dinamis, mengedepankan kebebasan, dan muncul sebagai sebuah aksi ekspresi dan aktualisasi diri.

Bila kini, banyak fotografer fesyen akhirnya merekam gaya yang terdapat di jalan-jalan, hal ini dikarenakan pelopor seperti Bill Cunningham (menghasilkan 700 foto gaya jalanan pada buku On The Street), Amy Arbus, and Jamel Shabazz, sebelumnya telah memberikan arti lebih pada gaya jalanan terlebih dahulu. Mereka juga telah mendedikasikan diri untuk mendokumentasikan gaya jalanan, sekaligus merekam pergerakan sosial budaya yang terjadi pada masing-masing masa.

Tahun 1980-an, Arbus memotret komunitas punk di New York; orang-orang dengan rambut bergaya mohawk dan mengenakan celana panjang dengan elemen ikatan, serta tindik pada bagian tubuh.

Selama dekade yang sama, Shabazz memotret jalanan anak muda Brooklyn yang oleh Fred Braithwaite dicirikan sebagai "generasi yang melahirkan hip-hop". Buku Shabazz, Back in the Days, oleh Jefferson Hack disebut sebagai "salah satu pengaruh terbesar" pada fesyen. Koleksi foto Shabazz dikatakan berperan dalam kebangkitan sepatu kets Puma suede, topi Kangol, dan gesper emas tebal yang diasosiasikan dengan kelompok musisi seperti Public Enemy dan Run- DMC.

Tren Gaya Jalanan 2022

Tahun ini, gaya jalanan di kota-kota besar yang memiliki pengaruh besar pada dunia fesyen, menunjukkan bahwa topik mengenai genderless fashion akan semakin marak. Di jalanan, perempuan terlihat semakin tertarik menggunakan pakaian pria, begitu juga sebaliknya. Vogue menuliskan, gaya androgini dari film Annie Hall — dengan atau tanpa dasi rapi, semakin marak.

Baca juga: Mencoret Gender dari Dunia Fesyen

Pada saat yang sama tema metaverse yang diminati, menciptakan gaya tersendiri. Desain baju dengan bahu bersudut, dimensi yang diperbesar, dan garis asimetris membawa mode ke masa depan.

Selain tren tersebut, jaket moto yang dipasangkan dengan celana panjang hitam klasik dan kacamata hitam, inspirasi dari seragam sekolah, motif kotak-kotak yang terinspirasi dari musik punk, serta warna putih yang menjadi representasi dinginya musim dingin di kota-kota besar tersebut, sekaligus gaya minimalis, terekam dalam kamera fotografer street fashion 2022.

Fesyen sebagai Citra Diri

“Ada berbagai cara yang dapat dilakukan orang dalam mengaktualisasi diri; di antaranya melalui jalur akademis, kegiatan olahraga, ikut berbagai kompetisi, maupun berkarya dalam seni, juga melalui fesyen,” jelas Tara de Thouars, BA, M.Psi, psikolog yang aktif bekerja di RS Jiwa Dharmawangsa.

Menurutnya, geliat sosial pada generasi muda adalah hal yang wajar karena proses pencarian jati diri. Proses pembentukan mental ini termasuk proses saat generasi muda menuntut adanya penerimaan dari lingkungan sosialnya. Fesyen dan identitas selalu saling terkait. Tidak heran fesyen “sukses” digunakan sebagai alat untuk membangun citra diri. Karena dengan identifikasi fesyen tertentu, mereka merasa diterima oleh kelompok yang “senasib” dengannya.

Di Indonesia, merebaknya tren berburu fashion melalui thrift store - toko yang menjual pakaian bekas - makin banyak dan menjadi ruang bagi generasi muda untuk berekspresi lewat fesyen. Baju-baju yang ditawarkan oleh thrift store ini sangat beragam, bahkan tidak jarang tersedia busana-busana bermerek berkondisi bagus, dengan harga yang sangat terjangkau.

Baca juga: Citayam Fashion Week di Mana dan Bagaimana Cara ke Lokasinya?

Pakaian bekas juga menjadi modal berlenggok bagi pentolan Citayam Fashion Week seperti Bonge atau Jeje beberapa waktu lalu. Terkait dengan penjelasan Tara, pemuda pemudi Citayam ini sepertinya memang tidak bermaksud hanya memanfaatkan ruang publik saja, namun juga karena adanya dorongan hasrat muda untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri layaknya anak muda lainnya di London, Jepang, atupun New York.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Latifa Ramonita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Latifa Ramonita
Penulis: Latifa Ramonita
Editor: Lilin Rosa Santi