Menuju konten utama

Potensi Politisasi SARA di Balik Wacana Poros Makkah vs Beijing

Dikotomi “Koalisi Makkah” vs “Koalisi Beijing” dinilai makin menciptakan politik pengucilan dan polarisasi masyarakat.

Potensi Politisasi SARA di Balik Wacana Poros Makkah vs Beijing
Politikus Gerindra Andre Rosiade bertemu Rizieq Shihab di Makkah, Rabu (21/3/2018) waktu Arab Saudi. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sekretariat Bersama Indonesia yang diisi tiga parpol, yaitu PKS, PAN, dan Gerindra, berencana membuat garis pemisah antara koalisi pendukung dan penentang Joko Widodo pada Pilpres 2019. Kali ini istilah yang dipakai adalah poros Makkah dan Beijing.

Pemakaian istilah tersebut disarankan oleh Imam Besar Front Pembala Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab kepada Sekertaris Jendral Sekber Indonesia Muhammad Idrus saat mengunjunginya di Makkah. Sebelumnya, Rizieq mengimbau agar Gerindra, PKS, dan PAN segera merealisasikan bentuk koalisi yang diberi nama “koalisi umat.”

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai upaya pembelahan dua kubu ini tak jauh berbeda dari yang dilakukan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais saat mendikotomikan "Partai Allah" dan "Partai Setan".

Diksi poros Makkah vs Beijing dipilih lawan politik Jokowi karena menilai kebijakan pemerintahan Jokowi dianggap cenderung pro Cina. Menurut Adi, isu ini akan terus dikapitalisasi untuk mengipas-ngipasi sentimen umat Islam atas kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama.

Apalagi, kata Adi, pemerintahan Jokowi dituding dengan stereotip anti "umat Islam" lantaran melakukan—apa yang mereka sebut—“kriminalisasi” yang menjerat Rizieq Shihab dan beberapa orang lain, yang bernaung di bawah Persaudaraan Alumni 212, sebuah koalisi politisi yang terbentuk setelah Pilkada Jakarta 2017.

“Jadi sengaja front ini dibuka oleh Rizieq untuk memisahkan mana pendukung rezim, mana yang bukan; bahwa umat dengan pemerintah saat ini tidak bisa disatukan. Seperti ingin menegaskan mana minyak, mana air,” kata dosen politik UIN Jakarta ini kepada Tirto.

Namun, Adi menekankan pilihan konfrontasi tersebut memiliki konsekuensi mengkhawatirkan, yakni benturan di masyarakat. Sebab, kata Adi, isu yang dikapitalisasi itu akan cenderung ke arah Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

“Karena masyarakat benar-benar dibelah. Tidak ada proses ketiga yang meredam seperti di Pilkada [DKI] putaran pertama. Itu salah satu tantangannya, ditengah pluralitas saat ini,” kata Adi.

Menurut Adi, strategi kubu-kubuan dapat berhasil bila mayoritas masyarakat merasa tak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Sebaliknya, kata Adi, "strategi ini akan blunder jika banyak umat Islam yang ternyata puas dengan pemerintahan Jokowi."

Kekhawatiran soal potensi konflik atas munculnya istilah dua poros tersebut juga disampaikan oleh Sekjen DPP PPP, Arsul Sani. Ia menilai dikotomi “Koalisi Makkah” versus “Koalisi Beijing” akan memberikan ruang terciptanya segregasi dan melanggengkan polarisasi masyarakat.

Padahal, menurut Sani, dalam konteks menjaga keutuhan empat konsensus bernegara, taktik politik pecah-belah seperti itu tidaklah sehat. “Ini menunjukkan elite politik saat ini mengalami penurunan kualitas konsensus bernegara dibanding era awal tahun 2000-an,” kata anggota Komisi III DPR RI tersebut.

Menurut Sani, pada awal reformasi, polarisasi dalam kontestasi politik masih dalam kategori wajar. “Karena itu, misalnya, istilah yang dipergunakan adalah koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan. Mereka tidak memilih istilah atau nama yang bersifat insinuatif dan berpotensi menimbulkan perpecahan."

Sementara politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan, kekhawatiran soal usulan poros Beijing dan Makkah tak perlu dibesar-besarkan. Sebab, katanya, hal itu usulan dari Rizieq Shihab agar koalisi yang sudah terbangun tetap solid.

Lagi pula, kata Andre, alat yang akan dipakai dalam kampanye Pilpres 2019 bukan sentimen SARA, melainkan visi-misi yang sejalan dengan kritik partainya terhadap pemerintahan Jokowi.

"Program-program, visi-misi, yang akan kami kampanyekan itu terukur dan merupakan semangat yang dibawa partai-partai dalam Koalisi,” kata Andre berdalih.

Di samping itu, kata dia, koalisi yang dijalin saat ini masih sangat cair dan memungkinkan partai-partai baru bergabung, bahkan partai yang saat ini mendukung pemerintah.

"Jadi jelas, ini hanya agar partai-partai solid. Saran Habib Rizieq supaya jangan ada poros ketiga, dan saya kira itu sah-sah saja,” katanya.

Poros Ketiga Bisa Kurangi Turbulensi

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyayangkan pemakaian istilah poros Beijing dan Makkah untuk Pilpres 2019. Menurutnya, hal tersebut tidak tepat dan jauh dari realitas politik di Indonesia.

Titi menilai politik poros-porosan atau kubu-kubuan tidak akan memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat jika yang dikapitalisasi adalah sentimen SARA.

“Kalau ingin memisahkan masyarakat secara ideologis, seharusnya partai-partai ini mengedepankan kampanye-kampanye berupa visi-misi dan program yang lebih konkret, serta menawarkan perubahan sistem pemerintahan dan ekonomi yang lebih baik," ucapnya kepada Tirto.

Selain itu, menurut Titi, upaya pembentukan dua poros dan menutup celah bagi lahirnya poros ketiga akan membuat partisipasi masyarakat terhadap pilpres akan berkurang lantaran tidak ada alternatif pemimpin lain.

Padahal, hadirnya calon presiden dari poros politik ketiga, selain bisa mengurangi turbulensi dan friksi di masyarakat selama masa kampanye, akan membuat publik punya harapan baru, serta mengimbangi para kandidat lama yang mungkin dinilai tidak lagi membawa agenda pro rakyat.

"Karena itulah, pada dasarnya, kami berharap muncul calon-calon baru yang menawarkan alternatif perubahan. Sehingga partisipasi dalam pilpres meningkat. Potensi masyarakat untuk golput itu dapat berkurang,” kata Titi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz