Menuju konten utama

Potensi Pidana bagi Pengibar Bendera Mirip HTI di Kantor Pemda

PP No.77/2007 tidak memperbolehkan pengibaran bendera selain bendera merah-putih di kantor pemerintahan daerah.

Potensi Pidana bagi Pengibar Bendera Mirip HTI di Kantor Pemda
Massa aksi bela bendera tauhid mulai berkumpul di Kawasan Patung Kuda Silang Monas, Jakarta, Jumat (26/10/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Aksi bertajuk “Bela Tauhid” yang digelar di beberapa daerah pada Jumat, 26 Oktober lalu menyisakan sejumlah masalah. Pemantiknya, bendera bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu dikibarkan di kantor pemerintahan daerah.

Salah satunya terjadi saat unjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Poso, Sulawesi Tengah. Saat itu, massa dari Front Pembela Islam (FPI) mengibarkan bendera hitam dengan tulisan kalimat tauhid di tiang bendera halaman kantor.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan tindakan tersebut patut diduga sebagai pelanggaran karena mengibarkan bendera terlarang di kantor instansi pemerintahan dan ruang publik.

“Itu yang sedang dicari oleh kepolisian. Tapi sampai sekarang belum ada anggota massa yang diperiksa,” kata Dedi saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Minggu (28/10/2018).

Pengibaran bendera yang identik dengan HTI di kantor DPRD Kabupaten Poso sebelumnya sempat viral di media sosial. Apalagi hasil penyelidikan awal menunjukkan massa memegang bendera merah putih, sehingga aparat menyangka bahwa bendera itu diturunkan dari tiang bendera.

Namun, berdasarkan hasil rekonstruksi yang digelar pada Sabtu (27/10/2018) oleh Polres Poso dan anggota DPRD yang berada di lokasi saat kejadian, menunjukkan bahwa bendera merah putih saat itu tidak terpasang. Bendera itu dibawa oleh massa aksi.

Menurut Dedi, rekonstruksi kejadian itu dilakukan Polres Poso guna mencari fakta dan mencari tahu apakah ada unsur pidana dalam kejadian tersebut atau tidak. Hal ini karena ada dugaan pelanggaran pengibaran bendera yang terlarang di kantor instansi pemerintahan termasuk juga ruang publik.

Tak Hanya di Poso

Selain di Poso, pengibaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan HTI juga terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Tepatnya terpasang di depan kantor Gubernur Kaltim Isran Noor. Sejumlah foto pengibaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid kemudian tersebar di kalangan pewarta.

Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo mengkonfirmasi terkait insiden pengibaran bendera yang identik dengan HTI saat demonstrasi di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur.

“Betul, itu hari Jumat kejadiannya, tanggal 26 Oktober kemarin,” kata Hadi melalui pesan teks kepada reporter Tirto, pada Minggu sore (28/10/2018) sore.

Lantaran insiden itu, Hadi mengatakan pihaknya akan ke Samarinda, Kalimantan Timur pada Senin ini (29/10/2018) untuk mengusut tuntas kasus pengibaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di depan kantor pemprov.

“Benderanya sudah langsung diturunkan polisi. Besok [Senin] tim Dirjen Polpum akan ke Kalimantan Timur,” kata Hadi.

Hal senada diungkapkan Karopenmas Mabes Polri Dedi Prasetyo. Menurutnya, insiden tersebut terjadi saat ada demo pendukung bendera bertuliskan tauhid yang diterima oleh gubernur dan wakil gubernur di halaman kantor Pemprov Kalimantan Timur. Akan tetapi, setelah itu Polresta Samarinda sudah mengamankan kegiatan demo hingga berjalan kondusif.

“Untuk bendera yang dikibarkan hanya beberapa saat setelah demo, tapi langsung diturunkan oleh Satpol PP. Semua berjalan aman. Peristiwa tersebut masih dalam olah Polresta Samarinda,” kata Dedi.

Dugaan Makar dan Dapat Dipidana

Dosen Hukum Tata Negara dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Hifdzil Alim mengatakan bahwa kasus pengibaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan HTI di kantor pemerintahan atau instansi negara tak bisa dibenarkan.

“Tidak boleh ada pengibaran bendera selain merah putih. Kalau ada bendera selain merah putih, harus ada momen khusus, semisal pertemuan tingkat menteri atau pertemuan dengan negara lain. Itu pun harus ada izin,” kata Direktur HICON Law & Policy Strategic kepada reporter Tirto.

Hifzil merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang tidak memperbolehkan pengibaran bendera selain merah putih di kantor pemerintahan daerah.

“Ini untuk juga menjaga kehormatan negara, tak boleh ada bendera lain selain merah-putih. Pertanyaan juga adalah, dua kasus itu ada izinnya atau enggak? Kalau enggak, tanpa izin, berindikasi untuk makar,” kata Hifzil.

Karena itu, Hifdzil mengatakan para pelaku pengibaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid yang identik dengan HTI itu dapat dijatuhkan sanksi pidana. “[...] apalagi kantor pemerintahan negara, bisa dipidana,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Indra Perwira. Menurut dia, berdasarkan regulasi yang berlaku, di dalam kantor pemerintahan hanya ada satu bendera yang diperbolehkan, yaitu merah putih.

“Itu kantor resmi pemerintah. Bendera negara lain, organisasi apapun boleh saja kalau memang ada acara yang relevan, tapi tetap ada merah putih dengan posisi dan ketinggian yang sesuai ketentuan,” kata Indra.

Sementara jika melihat kasus di kantor Gubernur Kaltim, kata dia, hanya ada bendera hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid, tanpa bendera merah putih satu pun.

Indra mengatakan, pejabat setempat jika terbukti yang melakukan hal itu, maka ia dapat diberikan sanksi mulai dari sanksi administrasi hingga pencopotan jabatan. “Yang pertama tentu sanksi administratif dulu. Diteliti siapa yang memasang, siapa yang menyuruh, dan untuk tujuan apa,” kata dia.

Akan tetapi, kata Indra, untuk para pelaku dari non-pejabat, seperti para pendemo, jika terbukti melakukan penurunan bendera merah putih dan pengibaran bendera lain, maka dapat dipidana.

“Bisa masuk kategori makar,” kata Indra menambahkan.

Baca juga artikel terkait PEMBAKARAN BENDERA TAUHID atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz