Menuju konten utama
Periksa Data

Potensi Minyak Jelantah sebagai Alternatif Biodiesel Kelapa Sawit

Membuang dan menggunakan kembali minyak bekas membahayakan kesehatan dan lingkungan. Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan?

Potensi Minyak Jelantah sebagai Alternatif Biodiesel Kelapa Sawit
Periksa Data " Potensi Minyak Jelantah Sebagai Alternatif Biodiesel Kelapa Sawit". tirto.id/Quita

tirto.id - Menggoreng makanan dengan minyak yang dipakai ulang sudah menjadi suatu hal lazim di Indonesia. Minyak bekas ini sering dikenal sebagai minyak jelantah. Para pengelola restoran hingga rumah tangga kerap memiliki wadah khusus untuk menyimpan minyak ini, umumnya untuk menghemat penggunaan minyak goreng mereka.

Namun, kebiasaan ini bukanlah tanpa risiko. Berbagai studi menemukan zat beracun berupa 4-hydroxy-trans-2-nonenal (HNE) dalam minyak goreng yang dipakai berulang kali. Penelitian Kruman dan timnya pada 1997 menemukan bahwa HNE mengakibatkan penyakit seperti stroke, Alzheimer dan Parkinson.

Selain dikonsumsi, sebagian masyarakat Indonesia membuang minyak bekas sembarangan. Survei tahun 2017 menemukan bahwa separuh lebih minyak jelantah rumah tangga di Tangerang, Jawa Barat, dibuang di tempat pengumpulan sampah kota, sementara sisanya dibuang ke selokan atau langsung ke tanah. Survei lain di Bogor, yang dipublikasikan pada Agustus 2015, menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga membuang minyak di selokan.

Pembuangan yang berakhir di saluran air dapat menyebabkan penyumbatan pada pipa, menurut studi International Council on Clean Transportation (ICCT). Jika minyak ini dibuang ke air, minyak jelantah dapat menurunkan kualitas air yang yang dapat membahayakan hewan dan tumbuhan di dalam badan air. Pembuangannya ke tanah dapat membahayakan tumbuhan dan tanaman pula.

Untuk mencegah dampak negatif ini, berbagai pihak sedang menggali potensi biodiesel berbahan baku minyak jelantah.

Biodiesel sendiri adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi, mengutip laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Untuk saat ini, di Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari Minyak Sawit (CPO).

Lantas, apa saja peluang minyak bekas sebagai pengganti biodiesel sawit dan apa tantangannya? Kemudian, apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk memajukan pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah?

Biodiesel selain Sawit?

Program mandatori biodiesel sebetulnya sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen. Kemudian secara bertahap, pemerintah meningkatkan kadar biodiesel ini.

Selama beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggencarkan biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit yang kini sudah mencapai B30, terdiri dari 30 persen biodiesel dan 70 persen solar.

Alasannya, Indonesia ingin mendorong pemanfaatan kelapa sawit dalam negeri dan mengekspor sawit dalam bentuk jadi atau setengah jadi, mengutip siaran pers. Penghematan devisa lewat penggunaan CPO sebagai biodiesel untuk B30 bisa mencapai kurang lebih Rp110 triliun per tahun, menurut Jokowi.

Selain itu, Jokowi menilai biodiesel ini ramah lingkungan. “Kalau ini nanti bisa masuk ke B100, saya tidak bisa membayangkan bahwa kita sudah tidak impor minyak lagi. Semua yang kita pakai adalah green fuel, yang kita pakai adalah biodiesel, semuanya. Artinya ramah lingkungan,” imbuh Jokowi pada 10 Januari 2020.

Biodiesel sawit selama ini juga menjadi cara utama Indonesia untuk memenuhi mandat biodiesel dalam Peraturan Kementerian Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2015. Regulasi ini mewajibkan pemanfaatan biodiesel dalam campuran bahan bakar minyak setidaknya 30 persen dari total kebutuhan di berbagai sektor pada 2020.

Namun, mimpi Jokowi untuk mewujudkan B100 membawa masalah lain. Artikel Traction Energy Asia pada Januari 2021 menjelaskan bahwa penggunaan biodiesel B30 memang mengurangi mengurangi 30 juta ton emisi CO2. Namun, ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel justru akan menambah 52 juta ton emisi CO2, jika dihitung dari analisis daur hidup dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel).

Kajian lain Traction Energy juga menilai penggunaan biofuel “generasi pertama” yang berasal dari produksi hasil pertanian atau perkebunan akan menciptakan persaingan penggunaan hasil pertanian untuk pangan dan energi. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan penggunaan biofuel “generasi kedua”, termasuk minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO).

“Dari sisi lingkungan, penyerapan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat mengurangi kebutuhan pembukaan lahan baru untuk memenuhi produksi biodiesel, serta mengurangi risiko negatif pada saluran air, air tanah, dan kesuburan tanah atas pembuangan minyak jelantah tersebut,” ungkap studi yang sama.

Potensi Minyak Jelantah?

Kajian ICCT pada 2018 memperkirakan bahwa Indonesia mampu menghasilkan hampir 1,2 miliar liter biodiesel setiap tahun, dengan asumsi adanya inisiatif pengumpulan minyak jelantah rumah tangga yang lebih intensif. Artinya, Indonesia dapat mengganti 45 persen dari konsumsi biodiesel sawit saat ini dengan UCO, sehingga berpotensi mengurangi 6 juta ton emisi gas rumah kaca setiap tahunnya.

“Meskipun pengumpulan UCO pada tingkat ini akan sulit, kami menemukan ini [1,2 miliar liter biodiesel] hanya 50 persen dari total produksi UCO, yang kami perkirakan berjumlah lebih dari 3 miliar liter per tahun,” ungkap ICCT.

ICCT juga menemukan bahwa biaya produksi biodiesel dari minyak jelantah 35 persen lebih rendah dibanding biodiesel dari sawit. Pemerintah juga bisa menghemat sekitar Rp345 miliar rupiah per tahun jika pengumpulan minyak ini dapat diperluas dari sumber yang "mudah dikumpulkan" dan disubsidi untuk produksi biodiesel, sehingga dapat mengurangi kebutuhan untuk subsidi biodiesel sawit.

Serupa, siaran pers Kementerian ESDM menyebut biodiesel berbasis minyak jelantah dapat memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional dan mengurangi 91,7 persen emisi CO2 dibanding solar.

Kendati manfaat yang diberikan, pengumpulan dan pemanfaatan minyak jelantah masih minim. Menukil siaran pers Kementerian ESDM, Kajian awal Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia mencatat bahwa Indonesia baru mengumpulkan 3 juta kilo liter (KL), atau hanya 18,5 persen dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional sebesar 16,2 juta KL pada tahun 2019.

Dari 3 juta KL ini, hanya sekitar 570 ribu KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. Belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah baik dari restoran, hotel, dan rumah tangga menyebabkan minimnya pemanfaatan minyak jelantah, menurut kajian tersebut.

“Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih perlu diuji lebih jauh menjadi tantangan selanjutnya,” sebut siaran pers yang sama.

Mengutip siaran pers terpisah, Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Kementerian ESDM Effendi Manurung mengungkap pada 16 Maret 2021 bahwa faktor keterbatasan bahan baku dan tingginya biaya produksi membuat produksi biodiesel berbasis minyak jelantah berhenti.

Ia menekankan, belum ada insentif untuk pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah karena saat ini insentif masih fokus pada minyak sawit. Di sisi lain, pemanfaatan biodiesel berbasis minyak jelantah membutuhkan antara lain pengembangan teknologi yang efisien dan terjangkau serta suatu mekanisme harga-beli.

Solusi Minyak Jelantah?

Beberapa pihak telah mendorong penggunaan minyak jelantah untuk biodiesel di berbagai daerah. Menukil dari laman Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, berdasarkan paparan Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Effendi Manurung, PT. Bali Hijau Biodiesel misalnya, telah mengembangkan biodiesel berbasis minyak jelantah yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar bus sekolah dan genset di beberapa hotel di Bali.

Kelompok swadaya masyarakat di Tarakan Timur, Kalimantan Utara, juga berhasil memproduksi biodiesel berbasis minyak jelantah dengan rata-rata produksi 180 liter per hari dan dijual dengan harga Rp11 ribu per liter. Effendi mengklaim bahwa produksi ini meraup keuntungan Rp2 juta per hari.

Sementara itu, studi ICCT mengungkap bahwa insentif keuangan menjadi pendorong utama keberhasilan pengumpulan UCO dan produksi biodiesel. Pemerintah juga dapat mengalihkan sebagian dana perkebunan kelapa sawit untuk biodiesel UCO atau minyak jelantah.

“Biaya produksi biodiesel UCO lebih rendah dibandingkan dengan berbasis kelapa sawit biodiesel, tetapi masih lebih mahal untuk diproduksi daripada bahan bakar konvensional, dan dengan demikian [biodiesel minyak jelantah] akan memerlukan dukungan kebijakan,” tegas studi tersebut.

ICCT juga mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa biodiesel ini diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri dengan mencampurkannya dengan solar konvensional. Minyak ini kemudian dijual ke Pertamina dan perusahaan lain yang mencampur bahan bakar.

“Dengan menerapkan pelajaran dari program sebelumnya serta praktik terbaik dari keberhasilan program di luar negeri, Indonesia dapat menyukseskan pemanfaatan UCO dalam biofuel,” tertulis dalam kajian tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty