Menuju konten utama
Periksa Data

Potensi Masalah Di Balik RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Salah satu angin segar yang dibawa dalam RUU KIA adalah cuti maternitas yang diperpanjang.

Potensi Masalah Di Balik RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Infografik Periksa Data Potensi Masalah Di Balik RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada bulan Juni ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) (naskah) untuk dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang. Salah satu angin segar yang dibawa dalam rancangan beleid ini adalah cuti melahirkan bagi perempuan yang diperpanjang, dari awalnya hanya tiga bulan menjadi paling sedikit enam bulan.

“RUU KIA mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan,” ujar Ketua DPR RI Puan Maharani, seperti diberitakan Kompas pada Selasa (14/6/2022).

Sebelumnya, seperti diatur dalam pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan.

RUU KIA tentunya membawa kabar gembira bagi para perempuan pekerja, setidaknya dengan memberikan waktu lebih untuk ibu baru untuk menghadapi transisi terkait pengasuhan anak dan perubahan fisik dan mental. RUU ini juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan anak.

Menukil dari Kompas, Puan Maharani menyebut bahwa RUU KIA memprioritaskan masa pertumbuhan emas anak yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak, yakni pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Di samping itu, fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, yang telah menyatakan bahwa akan memfokuskan untuk memperjuangkan pengesahan RUU ini di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022, juga menyebut soal isu-isu seperti angka kematian ibu akibat melahirkan dan angka stunting anak, sebagai latar belakang pentingnya RUU ini, seperti dinukil dari Tempo.co.

"RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak begitu penting karena akan memastikan jaminan kesehatan, ketercukupan gizi, hingga kesejahteraan ibu dan anak di tanah air,” ujar Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal, Rabu (8/12/2021), seperti dikutip dari Tempo.co.

Cucun bilang, belum ada perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi para ibu yang bekerja baik perusahaan swasta maupun BUMN sehingga berdampak pada anak-anak mereka.

Sekedar informasi, hasil survei Status Gizi Indonesia (SGI) 2021 menunjukkan 1 dari 4 anak Indonesia, atau sekitar 24,4 persen, mengalami stunting, menurut laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 14 persen.

Sementara proporsi kematian ibu saat melahirkan kurang lebih 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup, jauh dari target RPJMN menjadi 183 kematian per 100 ribu kelahiran hidup per 2024, mengutip dari Kemenkes pula.

Isi RUU KIA, perubahan positif?

Ada beberapa poin yang patut diperhatikan di RUU KIA ini.

Pertama, tidak hanya soal cuti hamil dan melahirkan yang diperpanjang hingga enam bulan. Namun perempuan pekerja juga tetap dibayarkan upahnya secara utuh pada tiga bulan pertama, serta 75 persen pada tiga bulan berikutnya.

Selain itu, RUU ini juga mengatur soal hak suami untuk mengambil cuti selama paling lama 40 hari untuk pendampingan kelahiran dan paling lama 7 hari bagi kasus keguguran.

Sebelumnya, di UU Ketenagakerjaan, pada pasal 93 ayat 4, cuti pendampingan suami untuk istri yang melahirkan atau keguguran adalah 2 hari berupah penuh.

Jika dibandingkan dengan standar dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) berdasarkan Konvensi No. 183, cuti melahirkan berbayar memang paling tidak harus diberikan selama 14 minggu.

Namun ketika dibandingkan dengan negara lain, jika RUU KIA jadi berlaku, Indonesia akan menjadi negara yang sangat royal memberikan cuti maternitas kepada para ibu baru, yakni hingga 24 minggu. Rata-rata negara Asia Tenggara lainnya memberi hak cuti dari 12 minggu hingga 16 minggu. Hanya Malaysia dan Vietnam yang memberi cuti sebanyak 8 minggu.

Sementara aturan upah sendiri berbeda di tiap negara Asia Tenggara. Beberapa negara seperti Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Singapura misalnya membayarkan upah pekerja perempuan secara penuh selama cuti maternitas. Beberapa negara lainnya mengatur skema pemberian, misal Thailand yang mewajibkan pengusaha membayarkan gaji selama 45 hari pertama masa cuti. Selanjutnya, social security/jaminan sosial akan membayarkan sebanyak 50 persen pada sisa 45 hari masa cuti.

Memang, jumlah cuti maternitas ini masih di bawah Swedia yang memberi hak cuti selama 32 minggu atau selama 8 bulan bagi masing-masing orang tua.

Namun, jika dibandingkan dengan Amerika, Indonesia juga tak kalah. Family and Medical Leave Act (FMLA) di Amerika memberi hak cuti untuk ibu baru selama 12 minggu, tapi cuti ini tak berbayar. Ini pun hanya berlaku bagi perempuan hamil yang bekerja pada perusahaan yang mempekerjakan 50 atau lebih pegawai pada tempat kerja atau sekitar 75 mil dari tempat kerja.

ILO sendiri menyebut bahwa cuti maternitas berbayar adalah elemen dasar dari perlindungan kesehatan dan ekonomi dari pekerja perempuan dan anak-anak mereka setelah periode melahirkan. Cuti maternitas berbayar nyatanya berhubungan positif dengan kesehatan ibu dan anak dan dimulainya serta dipertahankannya praktik menyusui.

Kedua, pasal 4 di RUU ini menjamin hak-hak ibu seperti mendapatkan pelayanan kesehatan sebelum hamil, selama hamil, saat melahirkan, dan setelah melahirkan, mendapatkan akses mudah terhadap pelayanan fasilitas kesehatan, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, bahkan mendapatkan pendampingan dan layanan psikologi, di antara hak-hak yang disebut.

Lalu, ketiga, RUU ini juga mendefinisikan ibu sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui anaknya dan/atau mengangkat, memelihara, dan/atau mengasuh anak. Dengan demikian, RUU ini juga cukup inklusif, berlaku pada perempuan yang mengadopsi anak.

Potensi Masalah di Kemudian Hari

Sekilas, seperti tidak ada masalah pada RUU KIA ini. Namun, tawaran memperpanjang cuti melahirkan ini berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Seperti yang disebutkan aktivis buruh perempuan dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi, dalam pernyataannya pada media alternatif Konde.co.

Menurut Dian, realitanya di lapangan masih belum banyak berdampak. Terutama pada butuh perempuan yang gajinya sangat kecil. Sebab, mereka bakal memilih tetap bekerja di bulan keempat hingga keenam agar bisa memperoleh gaji utuh.

“Mereka akan memilih masuk kerja, soalnya upah buruh kan murah, ujung-ujungnya di lapangan, praktiknya memilih tetap bekerja,” ujar Dian, seperti diberitakan Konde.co pada 17 Juni.

Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya terkait RUU KIA menyebutkan bahwa penerapan RUU ini membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi terhadap UU Ketenagakerjaan selama ini. Negara perlu mengantisipasi pengalokasian anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk melaksanakannya.

Apa yang ditakutkan Komnas Perempuan beralasan. Walau belum menjadi UU, pihak pengusaha sejauh ini menolak pasal-pasal di RUU ini.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bogor, Alexander Frans, menyatakan bahwa para pengusaha melalui Dewan Pimpinan Nasional Apindo tidak sependapat terkait usulan DPR untuk mengubah masa cuti melahirkan pekerja perempuan menjadi 6 bulan.

“Terkait rencana perubahan cuti melahirkan 6 bulan bagi pekerja perempuan, apalagi usulan tambahan cuti bagi suami selama 40 hari, para pengusaha melalui Dewan Pimpinan Nasional Apindo memberikan respons tidak sependapat dengan perubahan tersebut,” ujar Frans yang dikutip dari Kumparan pada Rabu (22/06).

Dari sisi perusahaan, Frans menjelaskan bahwa dalam jangka menengah hingga jangka panjang, aturan ini akan sangat berpengaruh pada kebijakan internal perusahaan, salah satunya dalam proses rekrutmen pekerja.

“Kalau ditambah dengan hak cuti lainnya yang sudah ada, maka bisa dibayangkan berapa banyak hari cuti yang bisa diambil seorang pekerja, di samping masalah biaya juga akan sangat mengganggu operasi dan kinerja di bagian yang bersangkutan bekerja,” tambah Frans.

Terkait hal tersebut, Nabiyla Risfa Izzati, dosen Hukum Ketenagakerjaan UGM yang dihubungi Tirto pada Kamis (23/6/2022), menulis pendapatnya mengenai RUU ini pada sebuah utas di Twitter, yang kami kutip atas seizin beliau.

Menurutnya, wajar bahwa aturan baru ini memberatkan pengusaha. Namun menurutnya pula, semua hak pekerja dari kacamata pengusaha adalah biaya. Ia menyebutkan bahwa dulu ketika perusahaan diwajibkan membayar perempuan yang cuti melahirkan selama 3 bulan, juga banyak yang protes.

Nabiyla menambahkan, “Disinilah pentingnya peran negara. Sudah umum dipahami bahwa penegakan aturan ketenagakerjaan di Indonesia itu lemah. Tanpa adanya pengawasan yg lebih baik, maka sangat mungkin aturan baru ini jadi bumerang bagi pekerja perempuan kalau ketemu pengusaha diskriminatif," katanya.

Selain soal penegakan aturan, Nabiyla juga menyebut pentingnya peran negara dalam pembiayaan. Mayoritas negara yang memberi cuti melahirkan yang panjang, itu karena pembiayaannya ditanggung negara lewat social security/jaminan sosial, bukan dibayarkan pengusaha.

Namun begitu, cuti melahirkan sendiri bisa dibilang elitis karena hanya dinikmati oleh pekerja di sektor formal, padahal mayoritas perempuan di Indonesia bekerja di sektor informal, katanya.

Selain itu, Komnas Perempuan pada pernyataannya juga menyatakan bahwa RUU KIA juga berpotensi menghambat hak bekerja perempuan. Pemerintah perlu memastikan tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen atau mempengaruhi kesempatan pengembangan karir, menurut mereka.

Selanjutnya, yang perlu digarisbawahi adalah adanya kewajiban ibu yang diatur dalam pasal 10 ayat (1), seperti menjaga kesehatan diri selama kehamilan, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang, mengupayakan pemberian air susu ibu (ASI) paling sedikit 6 bulan kecuali ada indikasi medis, ibu meninggal dunia, atau ibu terpisah dari anak, memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan budi pekerti pada anak, dan mengupayakan pemenuhan gizi seimbang bagi anak, di samping beberapa kewajiban lain.

Disebutkan pada ayat (2) pasal ini bahwa kewajiban tersebut dilaksanakan dan ditanggung bersama oleh ibu dan ayah dengan dukungan keluarga dan lingkungan. Namun, kewajiban ayah sendiri tidak disebut secara spesifik pada RUU ini, termasuk apa yang perlu dilakukan selama 40 hari cuti di atas.

Selain itu, kewajiban-kewajiban yang dibebankan ke ibu hanya ditanggung oleh ayah jika ibu meninggal dunia, terpisah dari anak, atau secara medis tidak mampu melaksanakan kewajiban di pasal 10 ayat 1 tersebut. Sehingga memang kewajiban-kewajiban ini masih tampak condong memberatkan pihak perempuan.

Lebih jauh, daftar kewajiban yang diatur dalam undang-undang ini juga berpotensi mengkriminalisasi ibu yang tidak menjalankan aturan tersebut. Kewajiban-kewajiban ini juga berlaku pada perempuan yang hamil tapi tak diinginkan, seperti contohnya pada korban perkosaan. Seperti yang termaktum dalam definisi di Pasal 1 ayat (3), ibu adalah perempuan yang mengandung. Padahal, tentu kondisi korban perkosaan berbeda dengan perempuan yang hamil tanpa mengalami kekerasan.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Hukum
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty