Menuju konten utama
Pemekaran Daerah

Potensi Langgengnya Konflik Bersenjata di Papua Usai DOB Disahkan

Direktur PAHAM Papua, Gustaf Kawer sebut, selama pemerintah masih salah mengambil kebijakan di Papua, potensi konflik di sana meningkat.

Potensi Langgengnya Konflik Bersenjata di Papua Usai DOB Disahkan
Ilustrasi HL Indepth Tak Memenuhi Syarat Pemekaran Provinsi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Usai RUU Daerah Otonom Baru (DOB) Papua disahkan menjadi UU pada 30 Juni 2022, pemerintah segera menetapkan regulasi yang akan berlaku di tiga provinsi baru di Bumi Cendrawasih. Namun, pemerintah belum memutuskan bentuk aturan yang akan digunakan. Menkopulhukam, Mahfud MD hanya bilang payung hukum tersebut bertujuan menaungi sejumlah birokrasi seperti Pemerintah Daerah Tingkat I hingga penetapan kursi DPR RI.

Namun upaya pemerintah menimbulkan pro dan kontra. Misalnya, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem berpendapat, konflik bersenjata di Tanah Papua akan semakin subur dan berkembang pesat, TPNPB akan bergerak dengan bebas, demi mempertahankan ideologi 'Papua Merdeka' karena mereka tidak diajak berdialog oleh pemerintah.

“Pemerintah Indonesia merasa telah berhasil dengan adanya pembentukan Undang-Undang Daerah Otonom Baru tiga Provinsi di Papua, berarti berhasil memadamkan isu Papua Merdeka dan konflik bersenjata atau akan membumihanguskan TPNPB dari tanah Papua seperti yang diungkapkan mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono,” kata Theo, Senin, 4 Juli 2022.

Theo menilai Hendropriyono tidak sadar bahwa pemekaran akan menambah konflik bersenjata dan hal tersebut bakal berkepanjangan. Mungkin tepat juga apa yang dipikirkan oleh pemerintah pusat, tapi Indonesia seolah tidak pernah menganalisis risiko konflik bersenjata yang akan terjadi di Papua.

“Kalau memang elitenya orang-orang yang bijaksana, pasti akan menganalisis risiko konflik dan hal itu bisa menjadi pertimbangan sebelum mengambil seluruh kebijakan untuk Papua," ucap Theo.

Pemerintah juga selalu memaksakan keinginan, apa yang mereka pikirkan dilakukan tanpa bertanya kepada rakyat Papua, kata dia. Maka sebaiknya pemerintah mengevaluasi kebijakan yang dibuatnya.

Theo melanjutkan, pemerintah juga tidak mampu merangkul kelompok garis keras seperti TPNPB dan tokoh-tokoh politik Papua Merdeka dan pemerintah tidak pernah memikirkan bahwa pemekaran bisa menyebabkan penjualan senjata dan amunisi, bahkan perampasan senjata aparat TNI dan Polri yang dilakukan oleh TPNPB.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam langkah DPR dan pemerintah dalam mengesahkan tiga UU DOB Papua lantaran hak itu disinyalir sarat kepentingan investasi di Bumi Cenderawasih. UU DOB merupakan bentuk pemaksaan kehendak pemerintah.

Hal tersebut tercermin dari proses legislasi UU yang dinilai tidak melalui prosedur yang sah. “Proses ugal-ugalan dan tidak partisipatif terus dilanjutkan oleh DPR bersama pemerintah di tengah penolakan revisi Otsus serta DOB yang dilakukan dengan masif oleh masyarakat Papua," kata Rivanlee, Wakil Koordinator Kontras.

Konflik Berkelanjutan?

Peneliti dari Badan Riset dan Inovatif Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas berpendapat, pemekaran wilayah Papua menimbulkan polarisasi di lingkup gerakan akar rumput seperti dewan adat, dewan gereja, masyarakat lokal. Rata-rata mereka tidak setuju dengan pemekaran area di sana.

Ia mencontohkan, misalnya pemekaran wilayah Papua Tengah yang mencalonkan Nabire sebagai ibu kota provinsi baru. Meski masyarakat adat enggan pembentukan daerah baru, tapi tidak dengan elite. “Para bupati, elite, mereka mendukung pemekaran Papua Tengah. Ada polarisasi antara elite dan massa (akar rumput)," kata Cahyo kepada Tirto, Rabu, 6 Juli 2022.

Pemekaran malah semakin meningkatkan ketidakpercayaan dan kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Lantas, apakah pemekaran itu bisa menyuburkan konflik dan/atau menebalkan transaksi jual-beli senjata dan amunisi? Cahyo menilai itu adalah dua hal yang berbeda. "Senjata dan pemekaran tidak berkaitan."

Tidak ada yang tahu apakah pemekaran wilayah memengaruhi perdagangan senjata ini di masa mendatang. Sepanjang konflik tidak dirampungkan, pemekaran tidak akan memecahkan masalah-masalah di Papua. Selama dialog tidak menjadi cara, kata Cahyo, maka bisa saja perdagangan senjata dan amunisi bakal tetap berjalan; pemekaran juga tetap berlangsung.

Berdasar laporan investigasi Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang berjudul “Jejak Perdagangan Senjata Api dan Amunisi Ilegal di Tanah Papua,” meningkatnya konflik berkaitan erat dengan meningkatnya perdagangan senjata api dan amunisi secara ilegal, setidaknya dalam 11 tahun terakhir (2011-2021).

Direktur ALDP, Latifah Anum Siregar menyatakan, perdagangan senjata api dan amunisi ilegal melibatkan banyak pihak dari berbagai profesi seperti aparat TNI dan Polri, pelajar, mahasiswa, petani, anggota Komite Nasional Papua Barat, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, legislator, Aparatur Sipil Negara dan pekerja swasta.

“Kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal yang terungkap dan diproses secara hukum diyakini tidak sebanyak dari kasus yang sesungguhnya terjadi. Perdagangan ini menjanjikan secara ekonomi karena nilai transaksi yang fantastis mulai dari ratusan ribu hingga miliaran rupiah," kata dia kepada Tirto, Rabu (6/7/2022).

Menurut dia, ada dugaan motif lain seperti strategi untuk menguasai sumber daya alam, karier dan kekuasaan.

Kuat dugaan, sejumlah bantuan dana dari pemerintah Indonesia menjadi sumber utama pembelian senjata api dan amunisi. Banyaknya senjata api laras pendek yang beredar di Papua dapat dilihat pada data yang dimiliki Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Papua, diketahui saat ini ada sekitar 500-an senjata ilegal jenis air soft gun beredar di Papua.

Indonesia berada di negara-negara pasca perang seperti Myanmar dan Filipina, sementara Papua (setelah Aceh, Timor Leste, Ambon dan Poso) menjadi wilayah konflik terpanjang yang terus bergejolak hingga saat ini. PSAA yang ilegal bukan saja terjadi dari luar negara Indonesia, namun juga merupakan hasil transaksi dalam negeri yang melibatkan TNI dan Polri, terutama sebagai penyedia senjata api laras panjang.

Hal ini dikarenakan permintaan senjata api laras panjang lebih tinggi daripada senjata api laras pendek. Anum melanjutkan, tidak menutup kemungkinan peredaran senjata api laras pendek ilegal cukup banyak beredar di kota-kota di Papua yang dipakai oleh pihak tertentu dengan alasan untuk jaga diri, namun penanganannya ‘tidak seserius’ ketika transaksi senjata api yang diindikasikan ada hubungannya dengan kelompok bersenjata yakni TPNPB dari Organisasi Papua Merdeka.

Yang Tidak Panas, Mulai Mendidih

Direktur PAHAM Papua, Gustaf Kawer berujar, selama pemerintah Indonesia masih salah mengambil kebijakan di Papua, potensi konflik di sana meningkat. Apalagi kebijakan seperti Otonomi Khusus dan pembuatan daerah otonom baru (DOB) di Papua tidak melibatkan aspirasi rakyat Papua, itu pun berpeluang menelurkan permasalahan baru.

“DOB ini peluang konflik, terkait peredaran amunisi dan senjata," ujar Gustaf kepada reporter Tirto, Rabu (6/7/2022).

Jika regulasi otonomi khusus Papua betul dijalankan sebaik-baiknya, maka semestinya transaksi perdagangan bedil dan pelor ilegal serta konflik bersenjata berkurang. Yang terjadi sekarang malah sebaliknya. "Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah ada konflik bersenjata, sekarang malah ada. Yang terkini itu di Maybrat. Juga ada di Yalimo, Pegunungan Bintang.”

Gustaf menilai bila negara tidak serius mengawasi peredaran senjata dan amunisi ilegal, bahkan tak menyelesaikan konflik senjata, maka calon DOB justru bisa jadi area potensi peredaran bedil dan pelor tak berizin. Bukan pemekaran wilayah yang dijadikan solusi penyelesaian konflik.

"Selesaikan dahulu histori, pelanggaran HAM, baru bicara soal kesejahteraan," kata dia.

Sementara, pemerintah bisa saja menerjemahkan DOB Papua untuk mempersempit ruang gerak kelompok bersenjata, padahal urgensi masalah Papua adalah penyelesaian yang komprehensif.

Baca juga artikel terkait DOB PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz