Menuju konten utama

Potensi Konflik Agraria di Balik Kebijakan Satu Peta ala Jokowi

Sekjen KPA menilai kebijakan satu peta tidak akan menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan.

Potensi Konflik Agraria di Balik Kebijakan Satu Peta ala Jokowi
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam Peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta dan Buku Kemajuan Infrastruktur Nasional Tahun 2018, di Jakarta, Selasa (11/12/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.

tirto.id - Kebijakan satu peta ala Presiden Joko Widodo diharapkan mampu mengatasi tumpang tindih pemanfaatan lahan di sejumlah daerah. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi acuan perbaikan data kementerian atau lembaga, serta perencanaan pemanfaatan ruang.

Selain bisa menyelesaikan tumpang tindih pemanfaatan lahan, kata Jokowi, kebijakan satu peta akan membuat perencanaan pembangunan bisa lebih akurat, bukan hanya berdasarkan data, tetapi juga berdasarkan peta yang detail.

“Satu referensi, satu basis data, dan satu geoportal, yang intinya agar tidak ada tumpang tindih, agar ada kepastian, agar ada kejelasan, dan ada konsistensi kita dalam membangun negara ini,” kata Jokowi seperti dikutip laman resmi Setkab.

Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo mengapresiasi upaya itu. Menurutnya, kebijakan satu peta ini dapat menjadi salah satu instrumen untuk mengatasi tumpang tindih lahan yang selama ini terjadi.

Hal itu, kata Hariadi, dimungkinkan melalui kehadiran suatu sistem informasi yang mencegah masing-masing instansi dari kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah membuat peta wilayahnya sendiri-sendiri.

Namun demikan, kata Hariadi, bagaimana cara pemerintah menyelesaikan hak kepemilikan dan kelola lahan yang mengalami tumpang tindih selama ini masih belum terjawab.

Sebab, saat data tunggal pemanfaatan lahan itu resmi dipublikasikan, maka pengelola lahan baik untuk pertambangan dan perkebunan akan ketahuan secara jelas. Sehingga diperlukan perencanaan dan prosedur yang baik dalam menyelesaikan lokasi lahan yang selama ini bermasalah.

Hariadi menyarankan agar pemanfaatan lahan yang telah berizin, pemerintah dapat mempertegas legalitasnya. Misalnya dengan mengurus dokumen pelepasan kawasan hutan. Sementara bagi pemanfaatan lahan yang menyalahi aturan dengan sengaja, maka perlu dibawa ke ranah hukum.

“Klaimnya, kan, bisa ada ratusan juta hektar hutan, tapi bisa saja ternyata sudah ada izin pertambangan atau perkebunan serta perkembangan kota dan desa. Itu harus dikoreksi,” kata Hariadi.

Selain itu, Hariadi juga berpesan agar kebijakan satu peta ini membuka diri terhadap keberadaan masyarakat lokal dan adat.

Menurutnya, pemerintah seharusnya juga memetakan kawasan desa dan hutan adat yang telah ditempati masyarakat dalam waktu yang lama sehingga tidak lagi disebut ilegal.

“Peta-peta yang dibuat masyarakat harus diadopsi dan diverifikasi. Kan pemerintah memang tidak cukup besar kapasitasnya untuk membuat peta itu. Jadi mesti terbuka,” kata Hariadi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengingatkan kebijakan satu peta yang dicanangkan Jokowi tidak akan menyelesaikan masalah tumpang tindih kepemilikan lahan apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam perumusan peta tematik terintegrasi itu.

“Apabila usulan peta masyarakat tadi tidak diakui oleh Kebijakan Satu Peta maka nanti akan ada diskriminasi terhadap petani dan masyarakat,” kata Dewi kepada reporter Tirto.

Dewi menuturkan selama ini konflik agraria kerap terjadi saat ada tumpang tindih kepemilikan lahan, terutama di kasus pemanfaatan lahan perkebunan, pertambangan, dan perhutanan.

Menurut dia, pada banyak kasus, seringkali lahan yang telah lama ditempati oleh masyarakat diklaim pihak lain untuk keperluan bisnis perkebunan, pertambangan, dan pemanfaatan hutan.

Padahal, kata Dewi, lahan itu seringkali telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat.

Belum lagi, dia mencatat pemerintah seringkali berpihak pada pengusaha ketika terjadi konflik soal kepemilikan lahan.

Selain itu, Dewi juga mengatakan sejauh ini peta kepemilikan lahan buatan masyarakat kerap dinilai buruk dari segi metode dan teknik pemetaan. Menurutnya, hal itu selalu dipersoalkan pemerintah sehingga berujung pada tidak diakuinya peta buatan masyarakat.

“Peta partisipatif masyarakat dianggap tidak sesuai standar. Padahal itu kan bukan tugas petani dan masyarakat adat untuk memiliki teknologi seperti pemerintah,” ucap Dewi.

Respons Kementerian ATR

Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Sekretariat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Harison Mocodompis mengatakan, penyelesaian permasalahan tumpang tindih lahan bergantung pada keterkaitan data tersebut dengan ranah kementerian lain.

Sebab, kata dia, hal ini tidak hanya terbatas pada kepemilikan lahan, tetapi pada sumber daya alam.

Harison juga menjamin penyelesaian yang dilakukan pemerintah nantinya akan imparsial. Ia mengklaim kebijakan satu peta ini akan memudahkan upaya penghapusan masalah tumpang tindih lahan.

“Di atas peta kawasan akan ada satu data. Jadi penyelesainnya lebih mudah daripada masing-masing kementerian punya peta yang berbeda,” kata Harison kepada reporter Tirto, Kamis (13/12/2018) malam.

Kendati demikian, Harison meminta perkara penyelesaian tumpang tindih lahan tidak dikaitkan dengan konflik kepemilikan lahan yang seringkali terjadi antara pemerintah-korporasi dan masyarakat.

Ia mengklaim kebijakan satu peta cukup dipandang sebagai upaya penyusunan database berupa peta wilayah dalam satu tema tunggal.

Harison juga mengklarifikasi mengapa lembaganya belum menerima peta yang dibuat secara partisipatif oleh masyarakat. Menurutnya, hal itu lebih disebabkan karena perbedaan metode, seperti skala yang digunakan.

“Kami bukannya tidak menerima, tetapi teknik yang digunakan dalam pemetaan itu harus cocok dulu agar dapat masuk ke pemetaan kementerian/lembaga,” kata Harison.

Selai itu, ia pun menekankan temuan yang disodorkan LSM yang mendampingi masyarakat harus melalui proses klarifikasi. Dalam artian, kata dia, hasil pemetaan wilayah masyarakat itu, perlu dicocokkan dan diverifikasi dengan peta kepemilikan lahan kementeriannya.

Kendati demikian, Harison mengaku optimistis bila kebijakan satu peta ini dapat mengatasi persoalan agrarian yang terjadi di masyarakat. Sebab, peta tunggal itu akan memuat lokasi konflik yang dapat mempercepat pengambilan keputusan untuk menyelesaikannya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz