Menuju konten utama
Kasus Pembunuhan Brigadir J

Potensi Bharada E Kena Pasal 51 KUHP: Bisakah Bebas Jerat Pidana?

Bharada E diperintah menembak Brigadir J oleh Irjen Pol Ferdy Sambo ditengarai bisa bebas dari jerat pidana jika dikenakan pasal 51 KUHP. Mengapa demikian?

Potensi Bharada E Kena Pasal 51 KUHP: Bisakah Bebas Jerat Pidana?
Ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E (kiri) berjalan memasuki ruangan saat tiba di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.

tirto.id - Kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J semakin menunjukkan titik terang. Terakhir, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka baru kasus kematian Brigadir Yosua.

Penetapan Ferdy Sambo menjadi tersangka ini usai Bharada Richard Eliezer atau Bharada E mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).

Terkait dengan kronologi peristiwa dari kejadian penembakan Brigadir J pada 8 Juli 2022 hingga penetapan empat tersangka kasus ini, bisa dirunut di link berikut ini.

Keempat tersangka yang diumumkan Kapolri Sigit ini yakni Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal (RR), KM dan Irjen Pol Ferdy Sambo (FS). Empat tersangka ini memiliki peran masing-masing.

“Bharada RE menembak korban, RR turut membantu dan menyaksikan penembakan korban, KM turut membantu dan menyaksikan penembakan korban, Irjen FS menyuruh melakukan dan membuat skenario peristiwa seolah-olah terjadi tembak-menembak di rumah dinas,” kata Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto.

Saat pemeriksaan, Eliezer pun bersaksi secara tertulis. Ia menorehkan pengakuan sebagai penembak Yoshua; bahkan ia menyatakan ada instruksi dari atasan untuk menembak rekannya.

Pengakuan Bharada E bahwa ia diperintah atasannya ini dinilai bisa membuatnya bebas dari jerat hukum pidana. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD saat jumpa pers, Selasa (9/8/2022).

“Mungkin saja jika dia diperintah, bisa saja dia bebas," ujar Mahfud. Namun, Mahfud menambahkan jika menimbang pelaku dan pemberi instruksi penembakan dalam kasus ini rasanya tidak bisa bebas.

Merujuk penyidikan Tim Khusus Polri, Eliezer dan ketiga tersangka lainnya dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Bisakah Bharada E Lepas dari Jerat Pidana?

Potensi Eliezer bisa bebas dari jerat hukuman pidana juga dinyatakan pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan, sebagaimana disiarkan Youtube Kompas TV. Kala itu dia menyatakan Eliezer bisa dibebaskan lantaran menembak karena diperintah atasan yakni Irjen Pol Ferdy Sambo. Alasan Asep yang juga mantan hakim PN Jakpus, hal itu bisa terjadi jika pasal yang dikenakan yakni Pasal 51 KUHP.

Pasal 51 KUHP berbunyi:

(1) Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan iktikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Namun, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berpendapat lain. “Bharada E tahu disuruh menembak orang itu tidak boleh,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Apalagi perintah Irjen Ferdy Sambo itu menyebabkan sesama polisi tewas. Bahkan tidak ada undang-undang yang mengatur bahwa polisi boleh menembak sesama anggota polisi dengan tujuan sengaja menghabisi nyawa.

Hal lain yang disoroti soal poin ‘iktikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.' Pada kasus ini, Sambo menyuruh anak buahnya untuk menembak sesama rekannya, apakah ini bisa dibilang iktikad baik?

Di sisi lain, ada Pasal 48 KUHP yang mengatur tidak ada pidana bagi pelaku pidana. Pasal itu berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

Penerapan pasal ini harus juga mempertimbangkan fakta peristiwa. Penyidik harus membuktikan adanya daya paksa. Ini juga berkaitan dengan Pasal 55 KUHP yang mencoba memastikan apakah Sambo sebagai pelaku penyuruh atau pelaku penganjur.

Bila Sambo berstatus sebagai pelaku penyuruh, Eliezer tidak dapat dipidana. “Tidak bisa dipidana karena daya paksa, misalnya, FS mengacungkan pistol ke kening E. Kalau tidak melakukan perintah FS, dia akan terancam jiwanya,” terang Fachrizal.

Terkait soal pelaku penganjur, pihak yang dianjurkan pun dapat dipidana. Sebagai contoh, pelaku penganjur, misalnya Sambo mengiming-imingi Eliezer dengan promosi jabatan atau membiayai kehidupan keluarga Eliezer jika mau menembak Yosua; lantas Eliezer menerima tawaran itu dan benar menghabisi rekannya, maka Eliezer tetap dipidana.

“Harus dilihat apakah benar-benar ada daya paksa? Daya paksa dan anjuran itu berbeda,” kata Fachrizal.

Eliezer pun sebenarnya punya kesempatan untuk menolak arahan atasannya, Irjen Ferdy Sambo. Hal ini termaktub dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Isi pasal tersebut yakni setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.

“Seharusnya dia (Eliezer) menolak. Kalau dia menerima, tidak bisa disebut daya paksa. Pun dia menolak, dia dilindungi oleh undang-undang,” tutur Fachrizal.

Potensi Pasal 51 KUHP pada Kasus Bharada E

Ketika rangkaian penyidikan polisi rampung, proses selanjutnya giliran jaksa yang bekerja. Untuk menetapkan Pasal 48 KUHP atau Pasal 51 KUHP, kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Ini juga berkaitan dengan penyidik kepolisian menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan, korban maupun tersangka, paling lambat tujuh hari kepada jaksa penuntut umum. Jika tidak, kejaksaan berhak mencoret kasus tersebut dari register perkara.

Fachrizal menyatakan ini momen kejaksaan sebagai pengendali perkara dan bukan ‘tukang pos’. “Dia (kejaksaan) seharusnya mengendalikan kasus ini. Apakah nanti diterapkan Pasal 48 KUHP atau Pasal 51 KUHP, itu (urusan) jaksa, bukan polisi. Misalnya, jaksa melihat diperlukan Pasal 48 KUHP atau Pasal 51 KUHP, ya, jaksa akan memberi petunjuk,” kata dia.

“Ketika ada SPDP, jaksa menunjuk jaksa peneliti. Jaksa peneliti ini harus aktif, mengikuti perkembangan, menanyakan penyidik bagaimana prosesnya,” lanjut Fachrizal.

Kemudian, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan tidak masuk akal jika Pasal 51 KUHP disematkan kepada Elizer.

“Jelas tidak. Bukan hanya tidak masuk akal, secara teoritis juga tidak dimungkinkan. Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi definisi perintah,” ucap Julius kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Pada Pasal 51 KUHP, suatu perbuatan dapat dikategorikan perintah jabatan (ambtelijk bevel) dan menjadi salah satu dasar pembenar untuk menghapus pidana, apabila memenuhi unsur:

1. Bahwa perbuatan tersebut diperintahkan oleh penguasa yang berwenang.

2. Bahwa perintah untuk melakukan perbuatan tersebut betul-betul merupakan kewenangan penguasa dimaksud.

Julius menegaskan mesti dianalisis lebih detail apa saja perbuatan Eliezer saat kejadian, apalagi hingga sekarang dia menilai masih simpang siur. Ketika ditanya apakah jaksa bisa mencantumkan Pasal 51 KUHP, Julius mengatakan “Tidak. Ini bukan tupoksi resmi dari undang-undang mana pun.”

Ia melanjutkan, perlu dicermati kronologis sebenarnya karena konstruksi hukum berdasar kronologis kejadian. Kronologis yang selama ini berkembang tidak memungkinkan menggunakan Pasal 51 KUHP. Harus pastikan kronologisnya, baru bisa ditentukan pasal pembelaannya.”

Sementara itu, Deolipa Yumara, kuasa hukum Eliezer mengaku akan mengupayakan penerapan Pasal 51 KUHP. “Nanti kami akan perjuangkan di pengadilan. Kami lakukan pembelaan, kami ajukan pasal itu. Hakim (bakal) berpikir memutus permintaan jaksa atau pengacara,” ucap dia kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Baca juga artikel terkait KASUS BRIGADIR J atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri