Menuju konten utama

Posisi Terburuk di Silicon Valley adalah Milik Sundar Pichai

Sundar Pichai kini menjadi CEO Alphabet, induk Google.

Posisi Terburuk di Silicon Valley adalah Milik Sundar Pichai
CEO Google Sundar Pichai muncul di hadapan Komite Kehakiman House untuk ditanyai tentang keamanan privasi dan pengumpulan data raksasa internet, di Capitol Hill di Washington, Selasa, 11 Desember 2018. AP / J. Scott Applewhite

tirto.id - “Google bukanlah perusahaan konvensional,” tulis Larry Page dan Sergey Brin dalam A Letter from Larry and Sergey. “Dan kami sungguh tidak ingin menjadi seperti itu.”

Secara umum, tatkala seseorang mendirikan perusahaan, ia akan menjadi figur sentral seumur hidup bagi perusahaan itu. Menentukan dan memengaruhi kebijakan apapun yang dibuat perusahaan. Namun, Page dan Brin berbeda. Google, perusahaan yang mereka dirikan pada 4 September 1998, tidak ingin menjadi “seperti perusahaan lain”.

Maka, di awal Desember ini, kedua pendiri Google mundur. Page mundur dari posisi Chief Executive Officer (CEO) Alphabet, induk usaha Google. Sementara Brin mundur dari posisi President of Alphabet. Aksi serupa juga dilakukan Eric Schmidt, mentor sekaligus bos profesional pertama Google. Schimdt mundur dari dewan direksi Alphabet pada Juni lalu.

Sundar Pichai, yang semula menjabat sebagai Pemimpin Eksekutif Google, kemudian terpilih menjadi penguasa baru Alphabet.

Dieter Bohn, Redaktur Eksekutif The Verge, menyebut naiknya Pichai merupakan penanda dimulainya era ke-3 bagi perusahaan tersebut. Namun, berbeda dengan dua Page dan Schmidt, Pichai harus memimpin Google di era yang paling menantang.

IIT Boy

Sundar Pichai lahir pada 12 Juli 1972 di Madurai, Negara Bagian Tamil Nadu, India. Sang ayah, Regunatha, berprofesi sebagai teknisi. Sedang Laksmi, ibunya, merupakan seorang stenographer. Pichai kecil tinggal di Chennai, ibukota Tamil Nadu.

Keluarga Pichai bukanlah keluarga kaya. Di rumah, ruang keluarga mereka bahkan juga berfungsi sebagai kamar tidur Pichai beserta seorang adiknya. Namun, Jagmohan S. Bhanver, dalam bukunya yang berjudul “Pichai: The Future of Google” menyebut bahwa orang tua Pichai sangat peduli pendidikan.

Mereka rela menjual berbagai barang rumah tangga, seperti mobil dan televisi yang cuma satu-satunya, untuk membiayai pendidikan Pichai. Tatkala Pichai diterima di Stanford University untuk program S2, mereka turut menguras seluruh tabungan keluarga hanya untuk membelikan tiket Chennai-California.

Semasa di Chennai, Pichai bersekolah di Jawahar Vidyalaya School. Tak berselang lama, ia kemudian berlabuh pada Vanavani Matriculation Higher Secondary School, sekolah yang menuntun murid-muridnya berkuliah di Indian Institute of Technology (IIT) Kharagpur. IIT merupakan perguruan tinggi yang kerap disebut-sebut sebagai MIT (Massachusetts Institute of Technology) versi India.

Cikal bakal IIT Kharagpur bermuara pada 1946. Kala itu, tokoh pendidikan India bernama Humayun Kabir dan Jagendra Sign meminta B.C Roy, penguasa Bengal, untuk meminta Jawaharlal Nehru mendirikan lembaga pendidikan teknik yang dapat ikut serta membangun India.

Nehru mengiyakan. Lalu, berdirilah IIT pada 1950, yang kampus pertamanya terletak di Kalkuta. Tak berselang lama, IIT membuka kampus lain di Hilji, distrik kecil yang ada di Kharagpur. Saat membuka IIT, Nehru mengatakan: “Di sinilah berdiri monumen India yang sebenarnya, yang suatu saat akan merepresentasikan kekuatan India, masa depan India.”

Pichai masuk IIT pada 1989. Ia pun resmi didapuk sebagai IIT boy.

Masih dalam bukunya, Bhanver menjelaskan, meski Pichai mengambil jurusan metalurgi, minatnya justru tersemat pada teknik elektro. Profesor Sanet Roy, salah seorang pengajar di IIT, menyebut bahwa Pichai sering kali membuatnya takjub dengan melakukan kerja-kerja akademik di bidang elektro yang bahkan tidak ada dalam kurikulum IIT.

Kecerdasan Pichai ketika menjadi mahasiswa membuatnya sering memperoleh beasiswa seperti Siebel Scholar Programme hingga Palmer Scholar Programme. Dengan catatan tersebut, Pichai berkesempatan melanjutkan studi Master of Science di University of Stanford, kampus di mana Larry Page dan Sergey Brin, yang kelak menjadi bosnya, bertemu.

Selepas kuliah, dan beberapa tahun bekerja untuk Applied Materials dan McKinsey & Company, Pichai bergabung dengan Google pada 2004. Dalam sebuah kesempatan, keinginannya bergabung ke Google terjadi karena “Google menampilkan kesetaraan yang besar di tubuhnya.”

Dan Pichai, sosok yang konon ketika masih remaja sanggup mengingat seluruh nomor telepon keluarga dan teman-temannya, ingin merasakan itu. Terlebih karena ia merupakan orang India yang notabene termasuk minoritas di Amerika.

Chrome: Kejelian Pichai

Setiap 1 April, hari yang kerap disebut April Fools Day karena orang-orang “diizinkan” berbohong, Google merilis Gmail, layanan email berbasis web. Di saat bersamaan, Pichai menjadi karyawan Google dan menempati posisi sebagai Product Manager.

Awalnya Pichai ditugasi untuk mengurus layanan-layanan “kelas kedua” Google, seperti iGoogle, fitur yang menjadikan halaman kosong atau blank page di peramban untuk menjadi shortcut Google. Barulah setelahnya ia mengurus fitur Search, yang tak lain merupakan layanan “kelas atas,” Google.

Akan tetapi, masih menurut Bhanver dalam “Pichai: The Future of Google”, peruntungan Pichai bermula ketika mengurus layanan bernama Google Toolbar: add-on yang menambahkan bagian paling atas peramban Internet Explore hingga Firefox sebuah shortcut pada layanan Google. Selain itu, Google Toolbar juga dapat digunakan untuk membuat mesin pencari bawaan (default) Internet Explore dan Firefox menjadi Google, bukan yang lain.

Sekitar tahun 2005, selepas cukup lama mengurusi Google Toolbar, Pichai khawatir jika Google akan dienyahkan oleh Microsoft, sang pemilik Internet Explore, peramban yang kala itu menjadi pilihan utama warga maya. Terlebih di kemudian hari, Microsoft betul-betul menyematkan mesin pencari dari rival Google sebagai default di Internet Explore. Atas tindakan Microsoft tersebut, pengguna Google turun hingga 300 juta.

Menurut Pichai, situasi tersebut dapat membuat Google menjadi Netscape, perusahaan di balik peramban Netscape Navigator yang akhirnya mati lantaran Microsoft menjadikan Internet Explore sebagai aplikasi bawaan Windows. Pichai pun mendesak bahwa Google harus bergerak dengan membuat peramban sendiri.

Schmidt, bos Google kala itu, mengiyakan keinginan Pichai. Tahun 2006, Chrome pun lahir.

Untuk mempercepat pertumbuhan Chrome, Pichai segera menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan pembuat komputer, salah satunya pada HP. Kerja sama itu dilakukan untuk menyematkan Chrome sebagai peramban bawaan.

Tiga tahun berjalan, upaya tersebut masih jauh panggang dari api. Chrome hanya memiliki pangsa pasar 1,38 persen. Kalah jauh dibandingkan Internet Explore yang memiliki 65,41 persen pangsa pasar. Namun, pada 2012 kemujuran berbalik: Chrome memperoleh 33,81 persen pangsa pasar, sementara pengguna Internet Explore terpangkas menjadi 32,04 persen.

Tahun terus berlalu dan Chrome menjadi perambah utama bagi warga maya.

Strategi jitu Pichai hingga menghadirkan Chorme kelak diterapkan pula ketika ia menangani Android, divisi yang kemudian diambilnya selepas Andy Rubin hengkang. Namun begitu, ia berpendapat bahwa Chrome dan Android bukanlah tujuan kesuksesan Google, melainkan sekadar gerbang untuk menuai keuntungan secara finansial.

Dari kedua produk tersebut, Google menyematkan layanan-layanan pendulang uang mereka secara otomatis. Akhirnya, Gmail, Youtube, Maps, dan berbagai layanan Google lainnya, sukses karena pondasi Chrome dan Android yang diinisiasi Pichai.

Pada 2015, Google melakukan restrukturisasi perusahaan dengan membentuk induk bernama Alphabet. Page, yang kemudian memimpin Alphabet, lantas mempromosikan Pichai untuk menempati jabatan tertinggi Google.

Tahun Menantang

Sebagaimana telah dijelaskan, para pendiri Google tidak ingin perusahaannya menjadi perusahaan konvensional. Hanya saja, menurut Dieter Bohn dalam tulisannya yang tayang di The Verge, menyebut Google sebetulnya tidak jauh berbeda dibandingkan perusahaan lain. Pasalnya, sekali pun Page dan Brin telah menyatakan mundur, mereka tetap mengawasi Google dengan menjadi anggota dewan direksi.

Bohn menilai, mundurnya Page dan Brin tidak akan mengubah Google secara fundamental. Malahan, dengan Page dan Brin tetap ada di tubuh Google sebagai anggota direksi, Google akan berada di posisi “aneh”.

“Pichai menjadi pemimpin Google, sayangnya ia tidak memiliki kekuatan yang utuh. Di satu sisi, Page dan Brin tidak lagi mengurusi Google, tetapi merekalah yang memegang kendali Google,” tulis Bohn.

Infografik Sundar Pichai

Infografik Sundar Pichai. tirto.id/Sabit

Pichai, dengan demikian, seperti terjebak dengan posisinya sendiri. Repotnya, ini adalah masa yang genting bagi Google juga perusahaan digital lain. Tak lain karena warga dunia telah sadar dengan hak-hak digital mereka, khususnya privasi.

Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, Google juga sering tergelincir di berbagai skandal. Sebagai contoh, “Dragonfly”, misi penciptaan mesin pencari khusus pasar Cina, yang informasinya disajikan sesuai kehendak Beijing. Lalu kasus monopoli pasar di Eropa. Hingga tentang penyalahgunaan data di AS.

Google pun juga memiliki masalah dengan karyawannya sendiri. Pada akhir 2018 lalu, 20.000 karyawan Google turun berdemonstrasi, memprotes kelakukan perusahaan yang dituding melindungi pelaku pelecehan seksual hingga ketidakbebasan politik.

Hal tersebut membuat Steve Kovach, Editor CNBC, merasa iba dengan Pichai. Katanya: Pichai kini disuruh bekerja pada posisi pekerjaan terburuk di seantero Silicon Valley.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy