Menuju konten utama

Populasi Laki-Laki Lampaui Perempuan, Uang Mahar di Cina Kian Mahal

Patriarki plus kebijakan satu anak bikin aborsi bayi perempuan marak di Cina era 1980-1990-an.

Populasi Laki-Laki Lampaui Perempuan, Uang Mahar di Cina Kian Mahal
Ilustrasi pernikahan tionghoa dengan baju adat budaya cina. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Derek Wei tiba di rumah calon pengantinnya bernama Lucy Wang. Kedua orang itu sedang menjalani tradisi tawar-menawar mahar bernama “chuangmen”. Dari luar, dalam kondisi pintu depan masih terkunci, Wei meneriakkan nominal uang. Anggota keluarga Wang tak langsung menerima. Mereka juga meneriakkan angka yang lebih tinggi.

“Aku cinta kamu, istriku! Biarkan aku masuk!” pinta Wei, yang ditanggapi oleh Wang dengan permintaan sebuah lagu. Wei patuh. Ia mendendangkan sebuah lagu lawas, sementara pengiring mempelai pria di sampingnya menahan tawa. Pengiring mempelai wanita tertawa lebih kencang, terdengar hingga luar rumah.

“Ini seperti negosiasi. Apa yang kamu butuhkan agar bisa menikah? Apa yang bisa kamu sediakan? Saat kesepakatan tercapai, kita diskusikan: apa mau keluargamu? Apa yang keluargaku harus sediakan?” kata Wei kepada NPR, pertengahan April 2013.

Wang adalah pekerja kantoran di Beijing. Di tempat asalnya, Provinsi Shanxi, uang mahar pernikahan yang harus disediakan pihak laki-laki cukup besar. Modal Wei sebesar kurang lebih 70.000 yuan atau sekitar Rp140 juta. Namun, Wang tak terlalu kagum dengan mahar itu. Banyak pemilik tambang batubara dari provinsi yang sama yang bisa menawarkan mahar lebih tinggi. Mahar sebesar 70.000 yuan adalah harga rata-rata, katanya.

Sikap Wang kini sedang jadi fenomena di Cina dalam beberapa tahun terakhir. Bibitnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1990-an, ketika populasi kaum Hawa di Cina kalah oleh kaum Adam. Jumlah yang lebih sedikit membuat para perempuan berani meninggikan daya tawar dalam konteks uang mahar pernikahan. Seolah persis hukum ekonomi.

Menurut studi “Global Gender Gap Report” yang disusun oleh World Economic Forum dan dikutip South China Morning Post, pada 1994 perbandingannya 115 bayi laki-laki yang lahir untuk tiap 100 bayi perempuan secara nasional. Angkanya naik pada 2004 yakni 121,2 untuk bayi laki-laki. Di beberapa provinsi ada yang rasionya mencapai 130 bayi laki-laki.

Beranjak ke 2008, rasionya naik sedikit menjadi 122 kelahiran bayi laki-laki untuk 100 bayi perempuan. Pada 2010, kali ini merujuk data Biro Statistik Nasional Cina, angkanya menurun menjadi 119 bayi laki-laki. Dua tahun setelahnya menjadi 118 bayi laki-laki. Tren penurunan terus terjadi, hingga pada 2015 bertahan di angka 113,5 bayi laki-laki.

Economist melaporkan di Provinsi Shandong, Cina bagian timur, rasionya sangat tidak seimbang. Pada 2010 tercatat 123 bayi laki-laki lahir per 100 bayi perempuan. Para perempuannya tak bertahan untuk menunggu lamaran pria lokal, melainkan memutuskan untuk pergi ke kota. Sebagaimana Wang, selain mencari kerja, mereka juga paham bahwa tawaran mahar laki-laki urban jauh lebih tinggi.

Kenaikan uang mahar di seantero Negeri Tirai Bambu bak harga tanah di pinggiran kota. Wang punya teman, Frank Zhang, yang menikah pada 2001. Kepada NPR Zhang mengaku kaget dengan lonjakan yang terjadi dalam jangka waktu satu dekade saja. Dulu ia membawa sang istri ke pelaminan hanya dengan modal 888 yuan atau sekitar Rp1,7 juta. Hampir 80 kali lebih murah dibanding mahar yang diterima Wang.

Di Zhongdenglou, sebuah desa di Shandong bagian barat, pada pertengahan 2000-an kaum laki-lakinya bisa menikah dengan modal 2.000 hingga 3.000 yuan. Namun, satu dekade kemudian nominalnya sudah melonjak jadi 200.000 yuan hingga 300.000 yuan, atau 100 kali lipat. Angka ini tergolong rata-rata. Ada juga laki-laki yang menyerahkan mahar hingga 500.000 yuan atau lebih.

Melamar = Punya Jaminan Masa Depan

Sistem transaksi jodoh yang berkembang di Cina nyatanya kurang lebih demikian: pihak perempuan harus diberi jaminan masa depan selayak-layaknya dari pihak laki-laki. Jadi hak laki-laki juga harus membiayai pernikahan, dan uang mahar biasanya satu paket dengan apartemen (rumah), mobil, dan properti lainnya.

Pada 2012 Komite Industri Jasa Perjodohan yang dikelola Asosiasi Pekerja Sosial Cina dan situs Baihe merilis hasil survei yang bertajuk “Situasi Perkawinan di Cina”. Ada lebih dari 50.000 kuisioner yang disebar ke responden. Hasilnya, sebagaimana dilaporkan situs All-China Women's Federation, menunjukkan bahwa 92 persen perempuan Cina memandang laki-laki idealnya menikah setelah punya properti sendiri.

Sebanyak 80 persen responden menilai gaji laki-laki yang berniat kawin minimal harus mencapai 4.000 yuan (nominalnya naik ketimbang hasil survei pada tahun 2010). Dari 80 persen itu, sebanyak 27,1 persen mematok angka yang lebih fantastis lagi: di atas 10.000 yuan atau sekitar Rp100 juta. Di sisi lain, 57 persen responden sepakat bahwa suami yang baik penting untuk membangun kariernya.

Situasinya sangat tak menguntungkan bagi laki-laki miskin, terutama yang tinggal di pedesaan. Dalam kondisi masih banyak yang buta huruf, mereka terjebak di kampung dengan pekerjaan seadanya. Hanya cukup untuk makan sehari-hari serta menopang hidup orangtua. Orangtua ala Cina punya visi seragam: anak adalah investasi yang kelak akan mengurus mereka saat usia senja.

Kembali menyitir laporan Economist, gerombolan laki-laki yang membujang pun terkonsentrasi dobel: secara kelas ekonomis dan geografis. Para sosiolog khawatir, di masa depan fenomena ini akan berdampak pada lahirnya epidemik prostitusi, perdagangan manusia, penculikan, kerusuhan massal, kejahatan yang terorganisir, hingga penyebaran penyakit kelamin.

Dampaknya telah berkembang hingga ke negara tetangga. Di pedesaan Cina bagian selatan, laki-laki yang putus asa dikabarkan mencari perempuan untuk dikawini hingga ke Vietnam. Jika ngotot ingin menggaet perempuan lokal, maka orangtua yang paling direpotkan. Dalam beberapa kasus, orangtua bahkan bisa jadi “korban”.

Beberapa dari mereka ada yang meninggikan bangunan rumah, sekadar untuk menarik perhatian perempuan-perempuan tetangga. Tentu sembari menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang mampu. Lainnya memberikan uang dalam jumlah besar ke si anak laki-laki untuk membeli perhiasan emas atau biaya foto pra-nikah yang mahal.

Mereka bekerja banting tulang agar bisa menabung banyak, mengingat usia pernikahan anak kesayangannya makin menjauhi angka ideal. Tak jarang harus menumpuk utang. Ini semua tak menjamin keberhasilan jika uang yang dikumpulkan tetap belum sesuai standar mahar yang terus melambung, atau saat populasi perempuan-usia-menikah-lokal habis duluan.

Konsekuensi Patriarki + Kebijakan Satu Anak

Jika ditarik mundur generasi tua Cina juga korban dari kultur dan kebijakan negara. Menurut analisis Rachel Murphy dkk yang bertajuk Son Preference in Rural China: Patrilineal Families and Socioeconomic Change (2011), masyarakat Cina menganut sistem patriarki. Preferensi tradisional sesuai ajaran Konfusianisme menetapkan anak laki-laki sebagai penerus garis keluarga. Anak laki-laki juga lebih disukai karena upah lebih tinggi.

Infografik Cintaku Berat di Mahar

Anak laki-laki jadi penerima warisan, sementara anak perempuan lebih dipandang sebagai beban ekonomi. Anak perempuan juga biasanya akan melebur menjadi anggota keluarga suami dan tidak memiliki tanggung jawab untuk merawat orangtua di usia senja atau ketika mulai sakit-sakitan. Anak laki-laki dapat keuntungan banyak, tapi juga diberi tanggung jawab yang cukup besar.

Kebijakan negara yang dimaksud adalah program satu anak yang mulai diterapkan sejak 1979. Pasangan yang kedapatan memiliki lebih dari satu anak akan dihukum. Tujuannya agar populasi anak di Cina lebih terkontrol, terutama di perkotaan. Di pedesaan aturan ini kurang dijalankan dengan tegas untuk etnis minoritas, dan ada beberapa pengecualian untuk mayoritas penduduk Han.

Kombinasi patriarki yang mengakar kuat dan program satu anak yang dijalankan dengan ketat membuat orangtua cenderung tak menginginkan anak perempuan. Populasi kaum hawa pelan-pelan menipis, dan jaraknya kian menjauhi kaum adam.

Dudley L. Poston dan Karen S. Glover dalam artikel ilmiahnya berjudul Too Many Males: Marriage Market Implications of Gender Imbalances in China (2005) menjelaskan dampak pedih dari situasi itu: praktik aborsi anak perempuan meningkat. Aborsi di Cina legal, dan populer pada era 1980-an ketika teknologi pendeteksi janin mulai berkembang, juga teknologi yang merangsang potensi punya anak laki-laki lebih besar.

Selain gagal lahir ke dunia, tercatat juga bayi-bayi perempuan di Cina era 1980-an dan 1990-an jadi korban kematian dini. Penyebabnya macam-macam. Ada yang karena sengaja tak mengurus sehingga jabang bayi terkena masalah gizi akut lalu meninggal, bahkan ada pula yang melakukan praktik pembunuhan kepada bayinya sendiri. Angka kematian bayi perempuan kala itu jauh lebih tinggi ketimbang bayi laki-laki.

Kini, itu semua bermuara pada fenomena susah kawin bagi kaum adam. Jumlah pria yang melajang diprediksikan mencapai 24 juta pada akhir dekade ini. Perjuangan makin terjal sebab, pertama si laki-laki turut dituntut mengurus orangtua, kedua perempuan Cina modern yang punya karier bagus, mandiri, serta disibukkan oleh pekerjaan juga makin percaya diri untuk melajang.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf