Menuju konten utama

Ponsel Lokal Indonesia Masih Sebatas "Tukang Jahit" Barang Impor

Penurunan impor produk ponsel dibarengi dengan peningkatan impor komponen. Ini menunjukkan produsen di Indonesia masih sebagai "tukang jahit" produk komponen ponsel negara lain.

Ponsel Lokal Indonesia Masih Sebatas
Sejumlah telepon selular dengan berbagai merek dipasarkan di Bandung Electronic Centre, Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/2/2018). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

tirto.id - Pada satu hari, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba menunjukkan sebuah ponsel layar sentuh berwarna hitam di depan para awak media. Jokowi baru saja berkeliling melihat pameran teknologi dan inovasi di Puspitek Serpong, di Tangerang Selatan.

"Yang penting ini nih. Saya ketemu HP produk dalam negeri, dari Batam," ujar Jokowi seperti dikutip dari Kompas, April 2015 lalu.

Terbesit adanya kebanggaan dari Jokowi bagaimana Indonesia punya ponsel atau HP yang diproduksi dalam negeri. Satu dekade lalu Indonesia memang dibanjiri produk ponsel impor. Pemerintah tak tinggal diam, dengan menelurkan beberapa regulasi agar ada proses perakitan dan produksi ponsel di dalam negeri.

Empat tahun lalu, pihak Kementerian Perindustrian sempat memperkirakan ponsel lokal akan mendominasi hingga 80 persen di pasar dalam negeri pada 2019. Benarkah demikian?

Mari kita telisik dari apa yang terjadi belakangan ini di jagat ponsel baru. Pada awal Februari, OPPO meluncurkan versi 2018 dari varian A71. Sehari berselang, perusahaan itu merilis versi baru F5, yakni OPPO F5 Dashing Blue. Aksi OPPO itu, kemudian diikuti oleh HMD Global yang meluncurkan Nokia 8 pada Selasa (13/2) dan Xiaomi yang meluncurkan Redmi 5 pada Rabu (14/2) di Indonesia.

Semua yang disebutkan di atas merupakan ponsel atau smartphone yang masih didominasi oleh vendor asing. Namun, pada Selasa (20/2), PT Supertone Indonesia merilis ponsel merek “SPC Mobile”. Smartphone dengan nama SPC L53 disebut-sebut sebagai "ponsel lokal". SPC Mobile meramaikan nama-nama sejenis lainnya yang lebih dulu hadir seperti Evercoss, Elevate, Advan, Luna, Andromax, Polytron, Mito, Aldo, Axioo, dan Zyrex.

Raymond Tedjokusumo, Chief Operating Officer PT Supertone Indonesia, dalam peluncuran produknya itu mengatakan smartphone SPC Mobile sudah 100 persen diproduksi di dalam negeri, di pabrik mereka di Tangerang. PT Supertone menargetkan penjualan antara 1,2 juta unit hingga 1,5 juta unit per tahun.

“Semua produk, termasuk smartphone, produk CCTV, semua produk LED, sudah diproduksi dalam negeri,” katanya.

Secara spesifikasi, SPC L53 masuk dalam kategori pasar segmen bawah. Smartphone ini hadir dengan ukuran layar 5 inci dan mengusung chipset Spreadtrum SC9850—unit chipset yang mengusung Cortex A7 dan Mali 820 sebagai kekuatannya. Pada SPC L53 disematkan RAM dengan kapasitas 2GB dan media penyimpanan sebesar 16GB. Baterai berkapasitas 2.500 mAh serta fitur kamera ganda di depan.

Kehadiran nama baru seperti SPC Mobile, tentu membuat pemerintah semakin yakin upaya lokalisasi produk ponsel bisa mulus. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto punya klaim di atas kertas yang seolah-seolah cukup membanggakan.

“Tahun 2017, impor ponsel turun menjadi 11,4 juta unit, sedangkan produksi ponsel di dalam negeri (meningkat menjadi) 60,5 juta unit untuk 34 merek, sebelas di antaranya adalah merek lokal,” kata Airlangga akhir pekan lalu.

Bila merujuk pada data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), apa yang dikatakan menteri asal Partai Golkar ini tak meleset. Nilai impor untuk kategori telepon untuk jaringan selular atau jaringan tanpa kabel dalam tren menurun dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang berasal dari Cina.

Pada 2015, nilai impor ponsel dari Cina mencapai bernilai $1,4 miliar, kemudian pada 2016 nilainya turun menjadi hanya $494 juta. Hal serupa juga terjadi dengan ponsel dari Korea Selatan.

Penurunan nilai impor produk jadi ponsel memang dibarengi dengan peningkatan impor komponen suku cadang telepon selular yang trennya terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses perakitan di dalam negeri. Proses perakitan yang belum sampai tahap manufaktur tentu punya konsekuensi nilai tambahnya yang relatif rendah. Apakah cukup sebagai "tukang jahit" saja?

Infografik Impor Telepon dan Suku Cadang Rev

Jurus TKDN

Beberapa peraturan dibuat pemerintah lintas kementerian seperti perindustrian, komunikasi dan informatika untuk merangsang berkembangnya komponen lokal pada produk ponsel yang dirakit di dalam negeri. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi target dari desain besar membangun industri ponsel lokal.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet, merinci besaran persentase kandungan lokal pada suatu perangkat berbasis jaringan 4G. TKDN tak hanya melulu soal kandungan perangkat keras. Perangkat lunak (software) maupun tenaga manusia, bisa menjadi poin penilaian TKDN. Selain itu, investasi dengan nilai tertentu, mendapat penilaian khusus TKDN.

Peraturan itu secara tegas mewajibkan TKDN untuk ponsel 4G adalah 20 persen pada tahun 2016 dan 30 persen pada 2017. TKDN terdiri tiga aspek: manufaktur, pengembangan, dan aplikasi, dengan masing-masing bobot nilai 70 persen, 20 persen, dan 10 persen.

Adanya aturan TKDN, membuat produsen-produsen global bisa mengalihkan basis produksinya di Indonesia. Selain itu, suku cadang produk-produk dengan label merek lokal perlahan bisa dikurangi komponen impornya. Namun, pada kenyataannya memang tak mudah, PT Supertone Indonesia dengan produk SPC L53 baru bisa memenuhi batas minimal soal TKDN.

“Untuk angka TKDN sendiri, SPC L53 kurang lebih 30,6 persen. Dari sisi komponen hardware masih banyak dari luar. Ekosistem dalam negeri belum mendukung. Tapi dari sisi desain, software, perakitannya, aksesoris, itu dibuat di pabrik sendiri,” kata Raymond.

Kata kunci yang cukup menggelitik dari apa yang dikatakan oleh Raymond adalah "ekosistem yang belum mendukung". Ini memberi pesan bahwa segala ketentuan soal TKDN belum dibarengi dengan penguatan di sisi industri pendukung ponsel, khususnya para pemasok komponen.

Wijaya Kusuma, Manajer Pemasaran PT Mito Mobile tak menipis soal kenyataan bahwa dominasi komponen impor masih terjadi dalam proses perakitan ponsel bermerek lokal di Indonesia. “Semua rata-rata begitu, semua dalam bentuk part komponen. Brand-brand besar pun sama, semua yang branded,” kata Wijaya.

Membangun industri ponsel bukan pekerjaan yang membalik telapak tangan. Upaya ketentuan soal TKDN hanya permulaan sebagai rangsangan agar investor perlahan memaksimalkan komponen lokal. Perlu dukungan pemerintah menghidupkan industri di sisi hulu dari ponsel bila ingin benar-benar membangun industri "ponsel lokal" yang bernilai tambah. Kecuali, bila pemerintah memang hanya sebatas ingin punya nama merek "lokal" sebatas kebanggaan.

Baca juga artikel terkait PONSEL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra