Menuju konten utama

PON Pertama di Tengah Kecamuk Perang Kemerdekaan

Gagal ikut Olimpiade London 1948, Indonesia menggelar PON I sebagai gantinya. Punya nilai politis menjawab blokade Belanda dan membuktikan kedaulatan.

PON Pertama di Tengah Kecamuk Perang Kemerdekaan
Ilustrasi Mozaik PON Solo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam kondisi perang dan diblokade Belanda, pemerintah Indonesia tak gentar menggelar hajatan besar Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama. Presiden Sukarno sendiri hadir dalam pembukaannya pada 9 September 1948. Suasana tegang ternyata juga tak menyurutkan antusiasme warga Surakarta untuk menyaksikan pembukaannya di Stadion Sriwedari.

Sejumlah tamu penting juga hadir, di antaranya Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Susuhunan Pakubuwono XI, dan Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Turut hadir pula anggota-anggota Komisi Tiga Negara (KTN)—komisi bentukan Dewan Keamanan PBB untuk menengahi konflik Indonesia-Belanda—yakni Merle Cochran (mewakili Amerika Serikat), Thomas Critchley (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia); Konsul Jenderal Inggris Shepherd; serta Konsul Jenderal India Raghavan beserta wakilnya Mohammad Yunus.

Penyelenggaraan PON I juga mengandung pesan politik: menunjukkan kepada Belanda bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Soal ini pun disinggung pula oleh Presiden Sukarno dalam pidato pembukaannya.

“Pertama-tama mengucap syukur kepada Allah Subhanahuwata’ala bahwa PON berlangsung di alam merdeka bebas. Kemudian menyatakan perasaan bangga atas ikut serta pahlawan-pahlawan dari daerah-daerah pendudukan. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi datang di Solo ini tidak untuk berolahraga saja, tapi terutama untuk menunjukkan semangat kemerdekaan yang menyala-nyala,” ujar Presiden Sukarno sebagaimana dikutip Merdeka 10 September 1948.

Usai pidato pembukaan Sukarno itu, pesta pembukaan pun dimulai dengan 13 kali dentuman meriam dan defile kontingen daerah peserta. Warga Surakarta yang menyemut di Stadion Sriwedari juga dihibur dengan senam pencak silat massal oleh murid-murid sekolah dasar.

Bertahun kemudian, peristiwa itu diabadikan sebagai Hari Olahraga Nasional yang diperingati setiap tahun.

Akibat Menolak Olimpiade

PON I di Surakarta digelar sebagai antitesis Olimpiade London 1948. Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang terbentuk pada Januari 1946 sebelumnya berupaya agar Indonesia bisa ikut dalam Olimpiade. Untuk menunjukkan keseriusan Indonesia, PORI pun membentuk Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI), yang diketuai Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sayang, PORI kala itu belum menjadi anggota International Olympic Committee (IOC). Indonesia pun belum memenuhi satu syarat lainnya: terdaftar sebagai anggota PBB. Pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia pun masih minim, sehingga tipis harapan bisa berkompetisi di Olimpiade.

Meski demikian, Indonesia tetap mendapat undangan IOC sebagai observer (peninjau). Menindaklanjuti undangan itu KORI dan PORI membentuk delegasi yang terdiri dari Sultan Hamengkubuwono IX, Letkol Azis Saleh (wakil ketua bagian atletik PORI), dan Mayor Maladi (ketua bagian sepakbola PORI).

Namun, lagi-lagi keberangkatan delegasi terganjal karena diharuskan menggunakan paspor Belanda. Delegasi Indonesia akhirnya memilih tak berangkat daripada harus menggunakan paspor Belanda.

Sorip Harahap dalam Pekan Olahraga Nasional I-X: Sejarah Ringkas dan Perkembangannya (1985) menyebutkan bahwa masalah ini kelak dibahas dalam konferensi darurat PORI pada Mei 1948. Bertempat di kediaman Soerio Hamidjojo—anggota BP KNIP mewakili keraton Surakarta yang juga ketua seksi tenis PORI—acara itu dihadiri wakil-wakil PORI daerah, Menteri Pembangunan dan Pemuda Wikana, serta Menteri Pengajaran dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo.

Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan: jika Indonesia tak bisa ikut olimpiade, maka suatu pekan olahraga level nasional akan diadakan. PORI bisa berkaca pada ISI sportweek yang pernah diadakan Ikatan Sport Indonesia di Solo pada 1938. Keputusan pun diambil: PORI akan mengadakan PON di Surakarta antara bulan Agustus atau September tahun itu juga.

“Ditilik dari penyediaan sarana olahraga, Solo dapat memenuhi persyaratan pokok, dengan adanya stadion Sriwedari serta kolam renang, dengan catatan Sriwedari pada masa itu, termasuk yang terbaik di Indonesia,” tulis Sorip Harahap (hlm. 2).

Pesta Olahraga di Kota Koboi

Pemilihan Surakarta sebenarnya cukup riskan. Pasalnya, kota itu menjadi basis beberapa satuan tentara dan laskar dengan beragam aliran politik. Tak jarang, ketegangan merebak di antara mereka. Kebijakan rasionalisasi yang dilakukan Perdana Menteri Mohammad Hatta mempertajam gesekan itu.

Dua hari menjelang pembukaan PON I, suasana Surakarta justru memanas. Beberapa perwira Divisi IV Panembahan Senopati diculik. Penculiknya diduga dari satuan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Suasana tambah tegang karena komandan Divisi Penembahan Senopati Letkol Soeadi mengultimatum Divisi Siliwangi.

“Selambat-lambatnya pada 13 September pukul 14.00 orang-orang yang hilang harus dibebaskan. Jika tidak, serangan akan dilakukan,” demikian bunyi ultimatum itu sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011, hlm. 115).

Batas ultimatum sengaja ditetapkan sehari setelah PON I berakhir untuk menjaga situasi tetap kondusif. Yang terang, suasana gelisah itu tak menyurutkan persiapan PON I. Bung Karno sendiri meminta PON I tetap dilaksanakan sesuai rencana.

Infografik Mozaik Sejarah Pekan Olahraga Nasional

Guna mengamankan pelaksanaan PON I, pemerintah menugaskan tentara Siliwangi. Harry A. Poeze mencatat, “Komandan Militer Kota Achmadi mengkonsinyasi semua pasukan di kesatrian masing-masing; ia juga melarang semua pengunjung PON membawa senjata, namun pengawasan tidak dilakukan dengan cukup memadai.”

Menumpuknya satuan-satuan tentara dan laskar di Surakarta dan sekitarnya membawa masalah tersendiri karena kebanyakan mereka tidak mengindahkan perintah Achmadi. Banyak tentara masuk Stadion Sriwedari dengan tetap membawa senjata.

Menurut Padmosumasto, atlet lompat tinggi yang juga panitia PON I, tak jarang ada saja Tentara Pelajar yang menembak ke udara di tengah pertandingan tanpa jelas sebabnya. “Konon pernah terjadi, pasukan dari Jawa Timur melepas tembakan menembus atap seng stadion. Ini terjadi karena sementara menonton, mereka mendengar Belanda menyerbu Malang Selatan,” ujar Padmosumasto sebagaimana dikutip Kompas (9/9/1983).

Kejadian semacam itu tentu saja bikin penonton panik dan membuat petugas keamanan repot. Bahkan, Jenderal Sudirman pernah harus turun tangan untuk menenangkan pasukan Tentara Pelajar yang gugup dan kacau-balau. “Dengan insiden ini acara berjalan terus; namun di dalam kota sendiri, untuk sementara, tidak terdengar suara senjata,” tulis Harry A. Poeze (hlm. 114).

Berakhir Mulus

Dwi Suprandari dalam artikel “Mengenang Pekan Olahraga Nasional Pertama di Solo” yang tayang di Kompas (8/9/1983) menyebutkan, PON I diikuti oleh 13 daerah. Semuanya dari Jawa karena blokade Belanda membuat perwakilan daerah luar mustahil diundang dan datang. Daerah-daerah peserta PON I di antaranya adalah Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kedu, Magelang, Banyumas, Bandung, dan Jakarta.

Ada sembilan cabang olahraga dipertandingkan dalam PON I: atletik, bola keranjang (korfball), bulutangkis, tenis, renang, panahan, sepakbola, basket, dan anggar.

Pada 12 September 1948, sesuai jadwal yang ditetapkan, PON I secara resmi berakhir dengan Surakarta tampil sebagai juara umum. Tuan rumah merajai cabang sepakbola, bulutangkis, renang, panahan, dan pencak silat. Juara kedua ditempati Yogyakarta, disusul Kediri sebagai juara ketiga.

Secara umum PON I berlangsung aman meskipun sempat terjadi insiden-insiden kecil di lapangan. Penonton pun antusias menonton pesta olahraga nasional pertama di Indonesia itu.

“Sambutan luar biasa terhadap PON I terbukti dari jumlah sekitar 40.000 penonton, yang setia mempersaksikan pertandingan, [...] Banyak dari penonton ini yang datang dari daerah-daerah di luar Surakarta dan semuanya telah menjadi saksi atas kemeriahan upacara pembukaan PON I” tulis Sorip Harahap (hlm. 7).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Olahraga
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf