Menuju konten utama
14 September 1960

Politik Minyak Bumi OPEC dalam Perang Yom Kippur

OPEC memberlakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat karena mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur.

Politik Minyak Bumi OPEC dalam Perang Yom Kippur
Ilustrasi Mozaik OPEC. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tahun 1973-1974 adalah salah satu warsa kelam dalam sektor energi Amerika Serikat. Saat itu, Paman Sam meratapi kenyataan pahit bahwa negaranya mengalami krisis minyak akibat organisasi negara-negara pengeskpor minyak bumi atau Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) memotong produksi minyak dunia dan melakukan embargo terhadap beberapa negara, termasuk AS. Hal ini terjadi sebagai reaksi atas meningkatnya tensi politik di Timur Tengah.

Masyarakat AS terpaksa mengantre hingga berjam-jam untuk mengisi bahan bakar kendaraannya. Di Detroit, misalnya, antrean mobil mengular hingga memenuhi jalanan kota. Hal serupa juga terjadi di beberapa kota besar lainnya di AS. Banyak tempat pengisian bahan bakar yang memasang selebaran bertuliskan: “Sorry, No Gas”, “No More Gas Today”, dan lain-lain. Kondisi ini berlangsung hingga berbulan-bulan.

Merespons kondisi ini, Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) meneken peraturan ihwal penurunan batas maksimal kecepatan kendaraan. Sementara masyarakat yang mobilitasnya tinggi terpaksa membeli mobil baru yang lebih kecil. Tujuannya agar mereka mengirit konsumsi bahan bakar.

Minyak sebagai Alat Politik

Kekisruhan ini bermula pada 6 Oktober 1973. Kala itu, puluhan ribu pasukan Mesir dan Suriah menyerang Israel secara bersamaan dan mendadak. Mereka menggempur basis-basis pertahanan Israel dengan alutsista dan pasukan terbaik yang dimiliki. Serangan yang kelak dikenal sebagai Perang Yom Kippur itu bertujuan untuk mengambil alih kembali wilayah Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel, sekaligus sebagai aksi balas dendam atas kekalahan dalam Perang Enam Hari (1967).

Situasi ini membuat beberapa negara turun tangan dan membuat konflik semakin melebar. AS mendukung penuh Israel dengan menggelontorkan dana dan persenjataan yang besar. Hal ini membuat pasukan Israel semakin percaya diri dapat membalas kekuatan Mesir dan Suriah. Dan benar saja, tidak sampai seminggu sejak serangan pertama dimulai, militer Israel sukses membuat pasukan Mesir dan Suriah kalang kabut.

Sementara itu, koalisi negara Arab langsung menyatakan dukungan terhadap Mesir dan Suriah. Karena sadar bahwa serangan balik Israel akan mengalahkan tentara Mesir dan Suriah, maka mereka menjalankan strategi lain dalam bentuk non-militer: menggunakan minyak sebagai senjata politik melalui keanggotaan dalam OPEC.

Sejak didirikan oleh Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan Venezuela pada 14 September 1960, tepat hari ini 61 tahun silam, OPEC menjelma menjadi badan yang mengontrol dinamika harga minyak. Apalagi, anggota mayoritas OPEC kala itu didominasi oleh koalisi negara Arab yang menyatakan dukungannya terhadap Mesir-Suriah, sehingga mereka juga memegang kendali atas "senjata minyak".

Menurut David S. Painter dalam “Oil And Geopolitics: The Oil Crises Of The 1970s And The Cold War” (2014), sejak tahun 1970 AS dan negara-negara Eropa sangat bergantung atas pengiriman minyak dari Timur Tengah yang sudah menjadi episentrum pasar minyak dunia. Kenyataan inilah yang menjadi senjata pemungkas sejumlah negara Arab. Artinya, mereka dapat memainkan kontrol atas minyak dunia untuk melawan AS dan sekutunya dalam perang melawan Israel

Terhitung sepuluh hari sejak serangan mendadak Mesir-Suriah, OPEC—sumber lain menyebut OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries [Organisasi Negara Arab Pengekspor Minyak Bumi])—memutuskan memotong pasokan minyak selama Israel masih menduduki wilayah sengketa dan hak rakyat Palestina tidak dipenuhi. Uniknya mereka justru menunjukkan ancamannya kepada negara Eropa dan Jepang dengan tujuan menekan AS agar mengubah kebijakannya dalam konflik Timur Tengah.

Tidak lama berselang, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, UEA, Iran, dan Irak secara resmi menaikkan harga produksi minyaknya menjadi $3,65 per barel. Tindakan ini juga secara khusus ditunjukkan kepada seluruh pendukung Israel, bukan hanya AS tetapi juga Afrika Selatan, Rhodesia, dan Portugal.

Menurunnya produksi minyak yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan membuat harga minyak melambung tinggi dan langsung membuat seluruh dunia ketar-ketir. Puncaknya terjadi pada Desember 1973 ketika harga minyak dunia mencapai titik tertingginya: $11,65 per barel. Di sisi lain, kondisi ini menjadi berkah bagi beberapa negara produsen minyak yang tidak ikut berperang, termasuk Indonesia.

Pada situasi sulit seperti ini, tidak mengherankan apabila Walter Lacquer dalam Confrontation: The Middle East and World Politics (1974, hlm 248) menyebut, “siapa saja yang menguasai minyak berpotensi dapat memerintah Eropa, Jepang, bahkan seluruh dunia”.

Infografik Mozaik OPEC

Infografik Mozaik Senjata Minyak Ala OPEC. tirto.id/Sabit

Kegagalan atau Kesuksesan?

Meski perang hanya berlangsung kurang dari satu bulan, embargo dan pembatasan produksi minyak terus dilakukan agar tujuan pembebasan Palestina dapat tercapai. AS dan negara-negara Eropa lainnya harus menelan pil pahit lebih lama.

Pada masa-masa runyam itu, Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, memainkan peranan penting dalam membebaskan negara-negara tersebut dari jeratan embargo. Ia melakukan kunjungan ke beberapa negara Timur Tengah. Akhirnya pada Maret 1974 embargo terhadap AS dan negara-negara lainnya dicabut usai Kissinger sepakat untuk membahas pelepasan tawanan militer antara Suriah dan Israel.

Lalu muncul pertanyaan: Apakah embargo OPEC berakhir dengan kegagalan atau kesuksesan?

Banyak ahli mengatakan bahwa embargo OPEC sedari awal sudah tercium akan gagal. Salah satunya ialah Roy E. Licklider dalam “The Failure of the Arab Oil Weapon in 1973–1974” (1982). Ia menyatakan bahwa penggunaan "senjata minyak" untuk memaksa negara lain sebagai tuntuan politik telah gagal total. Pasalnya, AS tidak mengubah kebijakannya terkait konflik Arab-Israel dan masalah Palestina dalam jangka panjang. Hal ini terbukti beberapa tahun setelahnya, permasalahan Palestina tidak kunjung diselesaikan.

Selain itu, tindakan negara-negara Arab di OPEC yang menargetkan negara-negara Eropa dan Jepang adalah salah sasaran. Eropa dan Jepang tidak memiliki pengaruh langsung pada Israel. Bahkan, Jepang cenderung tak acuh terhadap permasalahan di Timur Tengah. Apalagi mereka juga tidak mengirimkan bala bantuan kepada Israel yang sedang berkonflik.

Sementara Colin Shindler dalam A History of Modern Israel (2013, hlm. 155) menyebut, tindakan embargo ini sukses karena sudah mencapai tujuan strategis Presiden Mesir Anwar Sadat (1970-1981) dan memaksa AS memulai diplomasi dengan Mesir serta negara Timur Tengah lainnya ihwal permasalahan Palestina.

Pernyataan Shindler tidak terlepas dari kenyataan bahwa Mesir dan Suriah secara politis memang sukses memenangkan perang, meskipun secara militer dinyatakan kalah. Pasalnya, kedua negara ini berhasil mengambil kembali wilayah Semenanjung Sinai dan sebagian Dataran Tinggi Golan dari tangan Israel.

Selain itu, sejumlah ahli juga menyebut bahwa embargo berhasil memulihkan kedudukan Arab dalam panggung politik internasional, sekaligus menunjukkan kemampuan mereka untuk menggunakan minyak sebagai instrumen diplomasi internasional guna mencapai kepentingan dunia Arab.

Baca juga artikel terkait OPEC atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh