Menuju konten utama

Politik Kolonial Inggris di Balik Pemisahan India dan Pakistan

Pada 1947, dengan latar konflik agama, India terpecah menjadi dua, India dan Pakistan. Inggris sang penguasa memberikan lampu hijau untuk hal tersebut.

Politik Kolonial Inggris di Balik Pemisahan India dan Pakistan
Header Mozaik India Dan Pakistan. tirto.id/Fuad

tirto.id - Memasuki pertengahan abad ke-20, konflik antara Hindu, Islam, dan Sikh di India terus mencapai titik tertinggi. Lucy P. Chester dalam Borders and Conflict in South Asia (2009) menyebut situasi tersebut "mendorong Inggris sebagai penguasa India, atau kala itu bernama British Raj, cepat-cepat berupaya melakukan dekolonisasi."

Memiliki India juga lama-lama terasa berat karena ketika itu, pasca Perang Dunia Kedua, ekonomi Inggris memburuk. India yang terus diguncang konflik golongan mengikis keuangan sang imperialis. Selain itu India juga tak bisa lagi dijadikan pasar bagi produk-produk Inggris.

Kehendak untuk segera memerdekakan jajahan di Asia Selatan tersebut juga karena terjadi pergeseran kekuasaan di Inggris, tepatnya dari tangan Partai Konservatif ke Partai Buruh. Sejak masa kampanye, Partai Buruh telah secara eksplisit menjanjikan "kemajuan India menuju pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab". Jauh sebelumnya, pada 1928-1929, Partai Buruh juga mendorong terbentuknya reformasi konstitusi India.

Di saat bersamaan, Inggris yang berubah statusnya dari "penguasa dunia" menjadi "sekutu Amerika Serikat" di akhir Perang Dunia Kedua ditekan Paman Sam untuk menanggalkan India. Musababnya, tulis Chester, "AS (dan Rusia sebagai kekuatan besar lain) melihat kolonialisasi sebagai 'penindasan' yang wajib diakhiri negara mana pun yang melakukannya."

Alasan itu sebenarnya hanya bunga-bunga. India hendak dilepas bukan karena penjajahan itu tak berperikemanusiaan, tetapi sebab saat itu Inggris dan AS tengah memegang Mandat Palestina (nama Palestina antara 1920-1948). Rencana memerdekakan India adalah upaya untuk menenangkan dunia Arab atau Islam dengan harapan kekuasaan atas Palestina tetap berada di tangan mereka.

Namun India tidak dilepas dalam bentuk satu negara utuh, melainkan dua: India versi Hindu (India) dan India versi Islam (Pakistan).

Langkah pertama yang dilakukan Inggris untuk merealisasikan niat itu adalah mengganti orang yang dimandatkan mengurus India, Lord Archibald Wavell, pada 1947.

Sejak menjabat pada 1943, Wavell selalu memperingatkan London bahwa India diperlakukan tidak baik, terutama dalam mengatasi konflik antara Hindu, Islam, dan Sikh. Untuk mengatasi hal tersebut, dia mencoba mengotak-ngotakkan pemeluk tiga agama itu berdasarkan wilayah. Wavell adalah petinggi Inggris pertama yang melakukan ini.

Wavell kemudian melahirkan "ABC Plan". Di dalamnya India dibagi tiga: utara-selatan dan utara-barat didominasi Islam, serta selatan-tengah didominasi Hindu. Sementara Sikh, karena berstatus minoritas, tidak diberikan wilayah sendiri tetapi disebar ke dalam tiga wilayah tersebut.

Sayangnya kerja Wavell dicampakkan. Penyebabnya adalah karena dia melakukan hal tersebut sebelum Perang Dunia Kedua berakhir dan karenanya ekonomi Inggris masih kuat untuk membiayai India secara keseluruhan. Inggris juga masih membutuhkan India sebagai pangkalan militer bersama sekutu.

Wavell digantikan oleh Lord Louis Mountbatten, petinggi Angkatan laut, jabatan yang diperoleh sedikit banyak berkat statusnya sebagai sepupu Raja.

Mountbatten menilai konflik terlalu rumit dan memisahkan kelompok agama memang merupakan rute tercepat untuk Inggris menarik diri. Dalam hitungan hari sejak tiba pada Maret 1947, Mountbattentelah menetapkan India, dalam bentuk dua negara, harus merdeka pada 15 Agustus 1947.

Untuk benar-benar dapat melepas India hanya dalam waktu enam bulan, Mountbatten kemudian membentuk Boundary Commission yang dikepalai Sir Cyril Radcliffe. Melalui tangan Radcliffe, terciptalah peta segregasi berbasis agama yang didasarkan pada The Survey of India yang memang memuat data agama seluruh penduduk. Peta ini kemudian dijadikan patokan Inggris merilis The Indian Independence Act yang merupakan dasar hukum terbentuknya India dan Pakistan, tepat pada tanggal yang ditetapkan Mountbatten.

Maka demikianlah India bertransformasi menjadi dunia negara, negara Hindu dan negara Islam, India dan Pakistan.

Tentu saja proses bersejarah ini tidak mulus. Menurut Prashant Bharadwaj dalam "The Big March" (Economic & Political Weekly, Agustus 2008), pemisahan menghasilkan migrasi besar-besaran. Penduduk yang memeluk agama yang berbeda dengan "agama negara", semisal muslim yang tinggal di India atau pemeluk Hindu yang tinggal di Pakistan, terpaksa pindah ke negara yang sesuai.

Tercatat, India dan Pakistan menerima sekitar 14,5 juta jiwa "warga baru" dan ditinggalkan 17,9 juta "warga lama". Dengan kata lain, ada ketidaksesuaian jumlah warga yang bermigrasi dengan basis data seluruh penduduk "India lama". Setidaknya 3,4 juta orang "hilang".

Kemungkinan, jutaan orang hilang ini menjadi korban kerusuhan yang terjadi pascapartisi di seantero India.

Jauh sebelum Inggris tiba, India merupakan negeri yang tak terlalu peduli dengan agama yang dianut penduduknya. Bahkan jamak saja sebuah keluarga memiliki anggota lintas agama. Baru di penghujung kekuasaan Inggris agama menjadi pokok utama pemisah kehidupan harmonis ini.

Sebabnya, tentu, Inggris sendiri. Dalam Muslim and India Nationalism (1977) Uma Kaura menjelaskan awal konflik antar agama di India adalah ketika Inggris melakukan penilaian terhadap situasi penduduk berdasarkan agama di negara jajahannya dan respons kebijakan mereka terhadap hal tersebut.

Di akhir abad ke-19, Inggris menilai pemeluk Hindu jauh lebih berkembang dibandingkan muslim. Masalahnya penilaian tersebut hanya berdasarkan apa yang terjadi di Bengal yang mayoritas penduduknya memang beragama Hindu. Di sana pemeluk Hindu memang lebih maju. Umat Hindu banyak yang bekerja sebagai abdi negara dan anak-anak mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah ala Inggris. Sementara muslim lebih banyak bekerja di bidang pertanian, dan sedikit yang mengenyam pendidikan Barat.

Atas kenyataan ini, tatkala berkuasa di Bengal pada 1871, William Hunter menyusun laporan untuk London bertajuk "Musalman India". Salah satu rekomendasi di dalamnya adalah memodifikasi sistem pendidikan untuk menarik orang Islam ke dalam sistem sehingga menjauhkan mereka dari sikap tidak setia terhadap negara. Hunter juga menyatakan bahwa umat Islam merupakan kaum yang "bertentangan dengan tradisi [India]."

Padahal, di wilayah lain, misalnya Provinsi Barat Laut dan Oudh (UP) yang didominasi Islam, muslim lebih maju dibandingkan pemeluk Hindu. Muslim mengisi pos-pos pemerintahan, bahkan di bidang yuridis. Daerah-daerah lain pun demikian. Kadang Hindu lebih maju, kadang Islam, dan kadang Sikh.

Infografik Mozaik India Dan Pakistan

Infografik Mozaik India Dan Pakistan. tirto.id/Fuad

Namun laporan Hunter yang selektif itu tetap saja terngiang dalam kepala penguasa-penguasa Inggris. Kala waktu berlalu, akhirnya Inggris menerapkan praktik segregasi, yakni dengan mengutamakan Hindu, bukan Islam apalagi Sikh.

Tidak heran dalam literatur nama Hunter dianggap sebagai nenek moyang politik separasi berbasis agama di India.

Akhirnya, sejak awal abad ke-20, Inggris melakukan perubahan besar-besaran lewat serangkaian reformasi bertajuk Morley-Minto atau yang bernama resmi Undang Undang Dewan India 1909. Inti dari peraturan ini adalah menciptakan pemilih terpisah untuk masing-masing komunitas agama.

Kebijakan inilah yang perlahan menjadi bibit perpecahan berbasis agama, untuk akhirnya menggiring terpecahnya negara menjadi dua, India dan Pakistan (lalu Pakistan terbagi dua, antara Pakistan dan Bangladesh).

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino