Menuju konten utama

Politik Identitas di Pidato Kenegaraan: Jokowi Sebut 3 Kali "Ulama"

Bila dibandingkan 2016 dan 2017, pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun ini lebih banyak menyinggung identitas keagamaan.

Politik Identitas di Pidato Kenegaraan: Jokowi Sebut 3 Kali
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan saat Sidang Bersama DPR-DPD di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Pada pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka hari ulang tahun (HUT) ke-73 Republik Indonesia, Kamis (16/8/2018), di gedung MPR/DPR, kita akan mendapati kesan bahwa negara sedang baik-baik saja. Jokowi berkali-kali menyampaikan sejumlah capaian setelah empat tahun memimpin.

Kalaupun ada tantangan, setidaknya hal itu akan segera bisa diselesaikan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia sedang berada di jalur yang benar. Narasi-narasi semacam ini tentu wajar sebagai pemerintah yang sedang berkuasa.

Namun, bila dibandingkan pada pidato kenegaraan tahun-tahun sebelumnya, ada yang berbeda apa yang disampaikan oleh Jokowi kali ini. Jokowi memberikan porsi pembahasan yang lebih besar bagi apa saja yang terkait dengan Islam. Hal ini minim ditemukan dalam pidato kenegaraan, setidaknya sejak 2016.

Hal ini bisa dibuktikan lewat pencarian beberapa kata kunci terkait seperti "muslim", "Alquran", "ulama", "umat", dan "pesantren". Kata-kata ini lebih banyak ditemukan pada pidato tahun ini ketimbang dua pidato sebelumnya. Pada pidato kenegaraan 2018, ada dua kata "muslim, satu kata "Alquran", tiga kata "ulama", dua kata "umat", dan dua kata "pesantren".

Kata "muslim" tak bakal kita temukan pada pidato kenegaraan pada 2016, pun dengan "Islam". Sementara pada 2017 dan 2018, konteks penggunaan katanya sama: bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Bedanya, tahun ini Jokowi menyebut dalam kondisi itu "kita patut bersyukur." Sementara tahun lalu kalimatnya tak menggunakan embel-embel bersyukur. Jokowi hanya menyebut, "sebagai bangsa yang besar dengan penduduk Muslim terbesar di dunia[...] bangsa Indonesia harus percaya diri untuk meraih kemajuan."

Kemudian kata "ulama". Ketika menggunakan kata "ulama" pada pidato kenegaraan tahun ini, Jokowi menyebut bahwa mereka harus didukung untuk menghadang "paparan ajaran radikal kepada generasi muda." Jokowi tak menyebut satu pun kata "ulama" pada tahun 2016.

Sementara pada 2017, Jokowi menyebut dua kali kata "ulama". Pertama ketika bicara ulama sebagai salah satu kelompok masyarakat yang berjuang memerdekakan Indonesia, satu lagi ketika mengatakan bahwa ulama adalah salah satu kelompok yang harus maju dan sejahtera bersama.

Total ada tiga kali kata "ulama" disebut Jokowi pada pidato ini. Sisanya ketika menyinggung persoalan diplomasi Indonesia yang menurutnya "sangat menonjol."

"Indonesia telah menjadi tuan rumah pertemuan trilateral Ulama Indonesia-Afghanistan-Pakistan sebagai sumbangsih untuk menciptakan perdamaian di Afganistan. Indonesia juga menjadi tuan rumah dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia yang membahas Wasathiyyah Islam sebagai poros utama Islam dunia dan, untuk pertama kalinya, kita juga menyelenggarakan Indonesia-Afrika Forum."

Kata "umat" juga disinggung. Jokowi mengatakan pembentukan lembaga keuangan Bank Wakaf Mikro adalah solusi yang diperlukan "usaha ultra mikro dan sekaligus sebagai pemberdayaan ekonomi umat." Kata "umat" tidak ada pada pidato kenegaraan tahun 2016, juga pada 2017.

Begitu pula dengan kata "pesantren" yang tak ada pada pidato 2016 dan 2017. Pada pidato tahun ini ada satu kata "pesantren", tepatnya ketika ia menyinggung, "pemerintah memberikan penghargaan yang tinggi atas peran penting lembaga keagamaan dalam pembentukan karakter bangsa seperti pondok pesantren."

Pernyataan-pernyataan inilah yang menurut Hendardi, aktivis Hak Asasi Manusia sekaligus Ketua Badan Pengurus Setara Institute, mengarah apa yang umum disebut sebagai "politik identitas." Politik identitas—terjemahan dari identity politics—secara cair berarti politik yang merekatkan hanya pada kelompoknya sendiri dan memandang remeh kelompok luar.

Dalam konteks Indonesia sentimen paling umum adalah kesamaan agama dan suku. "Pernyataan Jokowi yang dianggap mengandung pesan merangkul umat Islam pada batas-batas tertentu tetap dikualifikasi sebagai politik identitas," kata Hendardi kepada Tirto, Kamis (16/8/2018) sore.

Hendardi menyebut pada dasarnya identitas itu tak bisa dihindari, tapi akan jadi hal berbahaya jika itu dieksploitasi untuk kepentingan politik. "Sebab praktik ini menegasikan politik gagasan yang semestinya jadi variabel utama penentu pilihan dalam Pemilu," katanya.

Menguat Sejak 2016

Politik identitas tak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta yang mulai berlangsung pada 2016 lalu. Politik yang lebih mengedepankan identitas keagamaan, alih-alih gagasan yang lebih konkret untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari, kerap dikaitkan dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno—pasangan yang akhirnya memenangkan kontes.

Selama ini isu identitas dikaitkan dengan partai pendukung Anies-Sandi, terutama Gerindra dan PKS, termasuk untuk Pemilu tahun depan. Namun, Joko Widodo (Jokowi) juga terindikasi melakukan itu ketika memilih Ma'ruf Amin sebagai pendampingnya untuk melawan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pemilu.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyebut Ma'ruf Amin punya pandangan keislaman yang konservatif, dan dengan demikian dekat dengan langgam politik identitas.

"Dalam perspektif kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), sebagai hak dasar yang dijamin UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, rekam jejak Ma'ruf Amin cenderung menunjukkan beban dan rintangan bagi pemenuhan hak-hak KBB dan pemajuan toleransi pada umumnya," kata Naipospos, Sabtu akhir pekan lalu.

Ma'ruf Amin pada 2005 turut terlibat mengeluarkan fatwa Ahmadiyah sebagai "aliran sesat dan menyesatkan" dan mendesak pemerintah Indonesia "… melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya."

Ma'ruf juga ikut terlibat dalam fatwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah, serta Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah aliran sesat. Yang paling fenomenal, Ma'ruf adalah orang yang berada di balik fatwa penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke penjara pada 2016.

Melihat konfigurasi capres-cawapres beserta tim/partai pendukungnya ini, tidak mengherankan jika kemudian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) menyebut politik identitas adalah salah satu faktor yang dapat mengganggu jalannya pemilu tahun depan.

Baca juga artikel terkait PIDATO KENEGARAAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino