Menuju konten utama

Polisi Virtual Tindak Penyindir Gibran: Konyol, Tak Substansial

Ada sejumlah kekeliruan polisi saat mengkritik netizen yang mengomentari Gibran. Salah satunya karena itu sama sekali tak prioritas.

Polisi Virtual Tindak Penyindir Gibran: Konyol, Tak Substansial
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka saat menghadiri upacara pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo di kantor DPRD Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (26/2/2021). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/rwa.

tirto.id - Pria berinisial AM mesti berurusan dengan Polres Surakarta setelah mengomentari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Ia menulis menggunakan akun @arkham_87 di Instagram @garudarevolution: “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja.”

Komentar tersebut terkait keinginan Gibran, anak sulung Presiden Joko Widodo, untuk menggelar semifinal dan final Piala Menpora di Kota Solo.

Kapolresta Surakarta Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan AM diciduk polisi virtual karena komentarnya mengandung hoaks. Ia menafsirkan pernyataan “dikasih jabatan saja” secara letterlijk alias semata tekstual: Gibran tidak diberikan jabatan, namun menjadi wali kota melewati serangkaian prosedur pemilihan.

Ade Safri mengklaim ini adalah pendekatan keadilan restoratif yang diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pengguna media sosial lainnya agar bijak di dunia digital.

“Langkah-langkah yang kami lakukan merupakan tindak lanjut dari implementasi Program Prioritas Kapolri dan Instruksi Kapolri yang tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021, untuk memastikan penegakan hukum yang berkeadilan dengan cara mengedepankan edukasi dan persuasif dalam menangani perkara berkaitan UU ITE,” ujar Ade ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (15/3/2021).

AM sendiri setelah diciduk akhirnya meminta maaf.

Memprihatinkan

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai tindakan Polresta Surakarta terhadap AM sebagai tindakan sia-sia dan jauh dari substansi penegakan hukum. Semestinya polisi fokus pada hal-hal yang benar-benar merugikan masyarakat seperti penipuan dan investasi bodong yang kerap berawal dari dunia maya.

“Sangat memprihatinkan. Anggaran besar negara hanya untuk membiayai kekonyolan-kekonyolan yang tak substansial,” ujar Bambang kepada reporter Tirto, Selasa (16/3/2021).

Kejadian AM ini menurutnya adalah implikasi dari kegagapan pelaksanaan UU ITE, regulasi yang menurutnya belum matang dan masih menjadi polemik namun kini menjadi alat untuk bisa menciduk seseorang secara langsung. “Menjadi semakin ironis ketika pasal-pasal delik aduan UU ITE yang mensyaratkan aduan dari korban diterjemahkan menjadi delik hukum biasa sehingga polisi bisa langsung menciduk seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran UU ITE,” ujarnya.

Tindakan kepolisian ini, menurut Bambang, justru menempatkan mereka “semakin tampak tebang pilih dan susah untuk konsisten.” “Ini jelas-jelas blunder bagi polisi sendiri. Bila diteruskan polisi akan menjadi hantu yang menakuti tatanan masyarakat demokratis yang menjadi amanat reformasi 1998,” imbuh Bambang.

Kekeliruan lain dari tindakan tersebut adalah polisi jadi juru tafsir dengan mengatasnamakan para tenaga ahli. “Bagaimana menjaga ahli yang sudah di-hire oleh kepolisian objektif? Transparansinya di mana?” ujarnya, lalu mengatakan oleh karena itulah selama ini pendapat ahli itu hanya digunakan dalam sidang di pengadilan yang terbuka yang dapat dinilai publik.

Hal ini menurutnya tidak sesuai dengan semangat slogan ‘Presisi Kapolri’. Presisi adalah singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan--digagas oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Pendekatan tersebut dicita-citakan akan membuat pelayanan kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat.

Sementara peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menilai tindakan polisi Solo menegasikan pernyataan Presiden perihal kebebasan berpendapat dan demokrasi. Saat rapat pimpinan TNI-Polri pada 15 Februari 2021, Jokowi meminta TNI-Polri menjunjung tinggi demokrasi dan menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi.

ICJR menilai biang keladi pelanggaran demokrasi ialah UU ITE dan mesti segera diselesaikan dengan cara direvisi; dibuang semua pasal-pasal multitafsir alias karet.

Selain itu, perlu juga dibarengi dengan memperbaiki pemahaman aparat dalam penerapan UU ITE. “Pasal yang diduga oleh kepolisian dalam hal ini tidak berdasar dan tidak memiliki keterhubungan dengan peristiwa,” ujar Dirga dalam keterangan tertulis, Selasa.

Apabila pasal yang digunakan kepolisian ialah Pasal 27 ayat (3) UU ITE, maka yang boleh melakukan pelaporan hanya korban. ICJR mempertanyakan terkait pelapor tersebut. “Apakah Gibran membuat pengaduan? Jika tidak, kepolisian telah salah dalam menerapkan pasal 27 ayat 3,” imbuhnya.

Dilaporkan Kompas, Gibran sendiri mengaku “tidak pernah melaporkan satu pun ke polisi.” Bukan hanya AM, tapi juga semua orang yang menurutnya menghina dirinya dari keluarganya termasuk Jokowi.

Jika kepolisian menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang kerap digunakan untuk mengatasi ujaran kebencian terhadap kelompok, ICJR menilai komentar AM pun jelas tidak termasuk.

Lebih dari itu, menurutnya perlu dipahami para penegak hukum bahwa “UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara, dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya” karena itu termasuk mekanisme checks and balances dalam demokrasi.

Baca juga artikel terkait POLISI VIRTUAL atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino